Pada Rabu (15/9/2021), pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya mengumumkan, 56 pegawai dari 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan untuk alih status menjadi aparatur sipil negara diberhentikan. Keputusan itu diambil meskipun Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan malaadministrasi dan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan tes tersebut dan telah melaporkannya kepada Presiden.

Pemberhentian ini tak lepas dari revisi Undang-Undang KPK sebelumnya menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 yang menjadi pintu masuk terhadap alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Revisi UU KPK ini pun sejak awal telah dikritisi masyarakat sipil sebagai upaya pelemahan pemberantasan korupsi.

Penolakan keras terhadap UU No 19/2019 sudah terjadi sejak UU itu lahir sebagai hasil revisi UU No 30/2002 pada akhir 2019. Proses revisi UU itu pun berlangsung singkat, memakan waktu 12 hari pembahasan oleh pemerintah dan DPR sejak disetujui untuk direvisi di dalam Rapat Paripurna DPR pada 6 September 2019. Pada 11 September 2019, Presiden Joko Widodo mengeluarkan surat presiden menunjuk Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo sebagai perwakilan pemerintah untuk membahas RUU tersebut bersama DPR.

Dalam proses pembahasan RUU yang singkat itu, dan seakan tak mau kehilangan momentum, DPR pun meminta 10 calon pimpinan (capim) KPK periode 2019-2023 yang maju saat itu menandatangani surat pernyataan bermeterai setelah mereka terpilih menjadi pimpinan KPK. Hal itu sebagai bentuk kontrak politik.

Tepuk tangan pun membahana di ruang Komisi III saat Firli menyelesaikan uji kelayakan dan kepatutan. Hal yang sama tidak terjadi untuk calon lain.

Padahal, di tengah proses uji para calon pemimpin itu berlangsung, dilansir Kompas.com, Kamis (12/9/2019), KPK menyatakan Firli terbukti melakukan pelanggaran etik berat saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK. Muhammad Tsani Annafari yang kala itu menjabat sebagai Penasihat KPK mengatakan, pelanggaran etik berat itu adalah pertemuan Firli dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat M Zainul Majdi di Nusa Tenggara Barat pada 12 dan 13 Mei 2018.

Secara etik, Firli semestinya tidak bertemu Zainul Majdi yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) itu karena KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, pertemuan Firli dengan TGB tidak berhubungan dengan tugas Firli sebagai Deputi Penindakan KPK saat itu. ”F juga tidak pernah meminta izin melakukan pertemuan dengan pihak yang terkait perkara ataupun pihak yang memiliki risiko independensi dan tidak melaporkan seluruh pertemuan tersebut kepada pimpinan KPK,” ujar Saut.

Berdasarkan catatan Kompas, Firli menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK setidaknya hingga akhir Juni 2019. Ketika itu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengumumkan bahwa Firli kembali bertugas di Kepolisian Negara RI berdasarkan surat yang ditandatangani pimpinan KPK tertanggal 19 Juni 2019. Surat itu dibuat berdasarkan surat dari Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian tertanggal 11 Juni 2019 perihal pengembalian penugasan anggota Polri di lingkungan KPK. Dengan pemindahan itu, Firli hanya sekitar 14 bulan menjabat Deputi Penindakan KPK. Firli diangkat menjadi Deputi Penindakan KPK pada 6 April 2018 menggantikan Inspektur Jenderal Heru Winarko yang pindah tugas menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional.