Baru-baru ini dunia seni rupa dikejutkan insiden mencengangkan yang menimpa salah satu lukisan karya Vincent Willem van Gogh, pelukis pascaimpresionis asal Belanda. Dua aktivis perubahan iklim melemparkan sup tomat ke lukisan “Sunflowers” senilai 1,3 triliun di Galeri Nasional London, Inggris. Salah seorang aktivis itu lantas menyerukan pernyataan pembuka; “apa yang lebih layak dihargai, seni atau hidup?”
Barangkali jika pertanyaan itu terlempar kepada Van Gogh yang menjalani kehidupan yang begitu pahit, bisa jadi ia tahu pasti jawabannya. Seperti yang ia buktikan di akhir hayatnya dengan mengorbankan hidupnya sendiri, setelah meninggalkan warisan karya-karya yang dicipta dengan penuh kecintaan.
Untung saja lukisan “Sunflowers” yang dilempar sup oleh kedua aktivis “Just Stop Oil” tersebut terlindungi kaca, sehingga tidak rusak. Beberapa hari lalu, lukisan itu telah terpasang kembali di Galeri Nasional London. Lukisan 15 kuntum bunga matahari yang malang tersebut merupakan satu dari lima versi lukisan bunga matahari karya Van Gogh yang dikenali di dunia, yang tersimpan di berbagai museum dan galeri di berbagai negara. Ada dua versi lukisan bunga matahari lagi yang pernah dibuatnya, satu dimiliki secara privat, satu lagi menghilang selama Perang Dunia II.
Beriringan dengan insiden yang menimpa lukisan Van Gogh tersebut, The Lume di Melbourne, Australia menggelar pameran seni multimedia berteknologi imersif dengan menampilkan karya-karya Van Gogh. Seperti dikutip dari surat kabar The Age, pameran yang digelar sejak 1 November 2021 hingga 9 Oktober 2022 lalu itu dikunjungi lebih dari 600.000 orang dengan perolehan pendapatan sekitar 27 juta dollar Australia (Rp 262 miliar) melalui tiket 39 AUD (Rp 379 ribu) per orang.
The Lume Melbourne merupakan galeri-seni digital permanen pertama di Australia, bahkan di belahan selatan Bumi. Lokasi galeri yang baru dibuka tahun 2021 itu berada di satu areal yang sama dengan Melbourne Convention and Exhibition Centre. Pameran seni-digital karya-karya Van Gogh tersebut merupakan pagelaran perdana yang menandai pembukaan The Lume jelang akhir tahun lalu. Mulai 26 Oktober nanti, giliran karya-karya dari pelukis impresionis Oscar-Claude Monet asal Perancis yang ditampilkan secara multimedia.
Teknologi imersif merupakan teknologi yang mengaburkan batasan antara dunia nyata dengan dunia simulasi (digital) sehingga manusia penikmatnya dibuat seperti tenggelam dalam dunia rekaan tersebut. Di The Lume, indera penglihatan pengunjung dibuai oleh penampakan bergerak secara perlahan lukisan-lukisan Van Gogh yang diproyeksikan dalam ukuran raksasa ke ruangan seluas 3000 meter persegi dengan dinding setinggi 11 meter. Jika termasuk luasan lantai, areal yang diproyeksikan karya lukis mencapai 4400 meter persegi.
Tak hanya stimulasi visual, pendengaran kita pun dibuai dengan stimulasi musik dan suara-suara yang seolah berasal dari lukisan-lukisan yang terhampar pada setiap jengkal dinding hingga lantai areal pameran. Seperti suara kicau burung, hujan, guntur, hingga piring pecah. Saat suara piring pecah terdengar ketika lukisan “The Night Cafe” tampil diproyeksikan, beberapa pengunjung tampak kaget terkelabui, mengira ada piring yang pecah sungguhan di sebuah kafe kecil yang berada di salah satu sudut ruang pameran.
Bahkan, menurut pendiri The Lume Bruce Peterson kepada The Age, tak hanya stimulasi suara dan visual dengan 143 unit proyektor berdaya tinggi, namun juga stimulasi dengan sensasi aroma juga bisa menjadi bagian integral dari eksplorasi pameran seni-digital yang dapat digarap di The Lume. Dengan demikian, pengunjung diajak untuk mengalami karya seni, tak sekadar menatap atau memandanginya semata.
Lukisan “Sunflowers” yang tersimpan di Galeri Nasional London itu tadi dihasilkan Van Gogh pada tahun 1888 saat ia bermukim di Arles, Perancis selatan. Di kota pesisir itu, Van Gogh ingin membentuk komunitas seniman. Lukisan bunga matahari itu ditengarai dihasilkan Van Gogh di masa-masa optimistis dan paling bahagia yang sempat sesaat dicicipinya kala tinggal di sana. Di Arles pula Van Gogh cukup produktif dan menghasilkan sekitar 200 lukisan. Lukisan-lukisan “Sunflowers” mencerminkan perjalanan eksperimen Van Gogh dalam mengeksplorasi warna-warna, salah satunya kuning, warna favoritnya.
Van Gogh melukis beberapa lukisan bunga matahari itu dalam rangka hendak menyambut kedatangan sobat yang dikaguminya, Paul Gauguin, pelukis asal Perancis. Ia melukis beberapa lukisan dalam rangka untuk menghias beberapa ruangan di Rumah Kuning, yang baru disewanya di Arles. Salah satu ruangan di rumah itu khusus ia siapkan untuk Gauguin. Di Arles mereka sempat melukis bersama. Inspirasi lukisan serial bunga matahari itu sendiri sebenarnya datang dari kebun Montmartre di Paris, kota yang sebelumnya juga sempat ditinggali Van Gogh.
Sayangnya saat di Arles itu pula, kesehatan mental Van Gogh kemudian perlahan menurun, seiring juga dengan hubungannya yang berangsur retak dengan sahabatnya, Gauguin. Keretakan itu memuncak pada 23 Desember 1888 yang ditandai insiden Van Gogh mengiris daun telinga kirinya sendiri dengan pisau cukur hingga ia dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan bersimbah darah. Insiden itu juga menandai pengalaman Van Gogh memasuki episode-pertama yang serius dalam penderitaan psikosis dan waham yang disandangnya.
Tindakan ekstrem Van Gogh itu karena ia mengalami halusinasi pendengaran setelah bertengkar dengan Gauguin yang menyatakan ingin meninggalkan Rumah Kuning, untuk kembali ke Paris. Setelah mengiris telinganya, Van Gogh mengirim irisan daun telinganya itu kepada Rachel, seorang pekerja seks komersial di rumah bordil di Arles. Setelah dirinya pulih dan kembali ke rumah, Van Gogh sempat menulis surat permintaan maaf kepada Gauguin atas insiden tersebut. Namun ia belum benar-benar menyadari kondisi mentalnya yang sedang tidak baik-baik saja.
Pada masa residensi di Arles itu, lukisan-lukisan Van Gogh lainnya yang dikenal selain Sunflowers yaitu misalnya, The Yellow House, The Red Vineyard, The Night Cafe, Vincent’s Bedroom in Arles, Cafe Terrace at Night, Starry Night Over The Rhone, Van Gogh’s Chair, Gauguin’s Chair, dan Self-portrait With Bandaged Ear. Yang disebut terakhir merupakan lukisan yang merekam babak drama terkait pengirisan daun telinga yang dialami Van Gogh.
Selain proyeksi imaji bergerak rangkaian lukisan Van Gogh, The Lume juga menghadirkan ruang tidur Van Gogh saat di Arles yang ia lukis dalam “Vincent’s Bedroom in Arles”. Perabot-perabot yang begitu mirip dengan lukisan tersebut juga diwujudkan nyata. Tak hanya itu, ruangan juga sengaja digarap dengan perspektif yang terdistorsi seperti dalam versi lukisannya. Para pengunjung dapat berfoto dengan duduk di kursi atau tiduran di ranjang dalam kamar tersebut.
Setelah kembali mengalami turbulensi mental, baru pada 8 Mei 1889, Van Gogh akhirnya memutuskan sendiri untuk masuk rumah sakit jiwa Saint Paul de Mausole di Saint-Remy, Perancis. Di masa-masa dirinya tinggal di rumah sakit tersebut, Van Gogh terus melukis dan sempat terjadi insiden ia keracunan akibat menelan cat lukisan. Di tengah masa sulit itu, Van Gogh menghasilkan karya besarnya, sebuah magnum opus, yakni “Starry Night”, lukisan yang mengembuskan kedamaian yang ganjil sekaligus magis..
Dalam surat kepada Theo (Theodorus van Gogh), saudara laki-lakinya, Van Gogh menulis, ia tak mampu mengetahui apapun dengan kepastian, namun saat memandangi bintang-bintang membuatnya bermimpi.. Theo, saudara kandungnya itu, amat setia mendukung perjalanan berkesenian Van Gogh hingga di akhir hayatnya.
Dalam pameran multimedia di The Lume Melbourne, imaji bergerak lukisan “Starry Night’ tampil begitu memukau selama sekitar hampir dua menit sendiri dalam pemutaran rangkaian lukisanĀ Van Gogh. Imaji langit malam biru indigo menyerupai pola spiral bergerak bergulung-bulung, bersama bulatan-bulatan kuning semburat cahaya gemintang, bulan, dan matahari menjelang pagi. Para pengunjung seperti terhipnotis, terhasut memasuki alam fantasi dan mimpi Van Gogh. Ditingkahi alunan musik yang lembut, “Starry Night” terasa mengembuskan rasa damai yang syahdu di kalbu. Pameran ini niscaya menjadi pengalaman imersif yang tak terlupakan..
Van Gogh melukis “Starry Night” tersebut pada Juni 1889, dari balik jendela kamarnya yang berjeruji besi menghadap Timur, di rumah sakit jiwa Saint-Remy. Pemandangan langit malam yang ia lukis tersebut adalah saat menjelang fajar, yang menampilkan hamparan langit biru indigo bertabur bintang dengan semburat cahaya kuning. Ia menambahkan gambaran sebuah desa sebagai bayangan idealnya. Goresan-goresan kuasnya yang menyerupai pola spiral teramat kuat dan khas dalam lukisan itu. Kekhasan pola spiral itu juga muncul dalam lukisan-lukisan yang dihasilkan Van Gogh di periode masa di Saint-Remy tersebut.
Pada akhir 1889, kondisi mental Van Gogh yang naik turun selama di Saint-Remy membuatnya kian ingin keluar dari rumah sakit jiwa itu. Temannya, Camille Pissaro dan Theo akhirnya memindahkannya ke Auvers-sur-Oise untuk tinggal di bawah perawatan Dr. Paul Gachet. Kondisi kesehatan mentalnya saat itu ditengarai tengah lebih buruk dari yang diakuinya. Masa di Auvers merupakan periode kecemasan liar yang merasuki dirinya termasuk lukisan-lukisan yang dihasilkannya pada saat itu.
Salah satu karyanya yang monumental pada periode itu adalah “Wheat Field with Crows” yang mengisyaratkan kekacauan kondisi mentalnya saat itu. Gambaran ladang gandum kuning dengan burung-burung gagak hitam berterbangan ditafsirkan sebagai penggambaran akan kesedihannya yang mendalam sekaligus kesendirian batin yang ekstrem.
Pada 27 Juli 1890, di usianya yang 37 tahun, Van Gogh berjalan di ladang gandum tersebut dan menembak dirinya sendiri. Akibat lukanya, ia lalu meninggal dua hari kemudian di lengan Theo, saudaranya. Kata-kata terakhir yang sempat terucap kepada Theo konon yaitu, “kesedihan akan kekal selama-lamanya..” Dan yang memang kemudian lebih menyedihkan, enam bulan kemudian, Theo juga jatuh sakit akibat gangguan mental, lalu meninggal dunia. Kedua kakak beradik itu dimakamkan berdampingan di Auvers..
Setelah kematiannya, berangsur-angsur karya-karya Van Gogh kian mendapatkan pengakuan besar dunia. Ia meninggalkan warisan karya yang mewakili paradoks memilukan tentang keindahan dan kepedihan dalam palet magnum opus yang megah. Seperti yang pernah ia sampaikan dalam suratnya kepada Theo pada Agustus 1883, “I have walked this earth for 30 years, and, out of gratitude, want to leave some souvenirs..”
Lantas pertanyaannya, apakah Van Gogh juga patut untuk ditanyai tentang apa yang lebih layak dihargai, seni atau hidup?