Merancang Masa Depan Kopi Arabika Amungme Gold

Rumah Kopi Amungme Gold di Jalan Budi Utomo menjadi pemberhentian pertama Kompas dalam kunjungan ke Timika, Jumat (17/3/2022). Rumah kopi itu baru saja diresmikan tiga hari sebelumnya untuk menandai pemindahan pusat penjualan kopi produksi suku Amungme dari basecamp PTFI di dekat bandara ke tengah kota.

Ini perwujudan dari Koperasi Serba Usaha (KSU) Amungme Gold yang dirintis PTFI bagi suku Amungme. Koperasi beranggotakan 154 petani kopi arabika di dataran tinggi Distrik Jila dan Tembagapura, tepatnya di Kampung Tsinga, Hoea, Aroanop, Banti, dan Opitawak. Mereka merawat lebih kurang 45.700 pohon di lahan seluas 34,7 hektar.

Jeremias Enggartmang (55), Ketua KSU Amungme Gold, mengatakan, rumah kopi itu menjadi tempat berlabuh bagi kopi gabah (parchment) yang dipanen masyarakat. ”Kami cuma (bertugas) menanam, petik, lalu jual ke koperasi. Sekarang 1 kilogram (kopi gabah) kena Rp 80.000,” katanya.

Karena jarak yang jauh dan sulitnya akses jalur darat, sebuah helikopter milik PTFI dikerahkan khusus untuk mengangkut kopi gabah yang dipanen masyarakat ke Timika, tepatnya ke Rumah Kopi Amungme Gold. Di sanalah petugas yang juga dari kalangan petani mengolahnya menjadi green bean, memanggang, menggiling, lalu mengemasnya sebelum dijual.

Kompas/Wisnu Widiantoro
Ketua Koperasi Amungme Gold, Jeremias Enggartmang.

Produksi kopi bermerek dagang Amungme Gold ini dirintis pada 1998 oleh Profesor Carolyn Cook, karyawan PTFI asal Amerika Serikat, yang berhasil mengidentifikasi potensi kopi arabika di Pegunungan Dugunduguoo alias Barisan Sudirman. Tanaman kopi arabika varietas Lini-S yang didatangkan dari daerah seperti Wamena dan Paniai terbukti tumbuh subur.

Suku Amungme, yang tadinya hanya menanam kelapagunung (Pandanus sp) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, pun diajak untuk beralih menanam kopi yang bernilai ekonomis. Kini, koperasi Amungme Gold dalam naungan program Pengembangan Pertanian Dataran Tinggi (Highland Agriculture Development/HAD) PTFI.

Penanggung jawab program HAD Arnoldus Sanadi mengatakan, para petani mulai menuai untung dari penjualan kopi. PTFI pun berupaya mempertahankan keadaan ini dengan memberikan fasilitas berupa bibit pohon dan alat pertanian kecil, seperti sekop dan parang. Di samping itu, keahlian para petani juga terus diasah melalui beragam pelatihan.

”Kami latih mereka berbudidaya, mulai dari teknik memilih lahan, memilih benih yang baik, hingga merawat tanaman dengan pupuk organik. Kami tidak menggunakan bahan kimia sama sekali, baik pupuk maupun pestisida. Kami juga beri pelatihan pascapanen,” ujar Arnoldus.

Ignasius Ukago (51), pembina KSU Amungme Gold, mengatakan, para petani Amungme sudah mampu mengupas buah ceri sendiri, memfermentasikan biji selama 2-3 hari, serta mencucinya. ”Ketika menjemur, mereka pisahkan biji kopi dari sisa makanan di ladang, lalu disimpan di tempat yang jauh dari jangkauan hewan ternak,” katanya.

Kini, Amungme Gold menjadi salah satu kopi asli Papua yang diminati di Timika. Kemasan 100 gram dijual Rp 50.000, sedangkan yang 250 gram Rp 100.000. Dengan kemampuan produksi kopi panggang sekitar 800 kilogram per tahun, KSU Amungme Gold dapat menghasilkan Rp 40 juta-Rp 80 juta per bulan atau sekitar Rp 1 miliar per tahun dari penjualan kopi kemasan saja.

Pemindahan rumah kopi dari basecamp ke tengah Kota Timika pun menjadi bagian dari upaya menyasar pasar yang lebih luas, yaitu masyarakat umum, bukan lagi hanya karyawan PTFI. Arnoldus berharap nantinya para anggota koperasi dapat mengelola sendiri rumah kopi itu layaknya kafe-kafe modern.

Namun, angan itu menghadapi rintangan. Pertama, kapasitas produksi 800 kilogram roasted bean produksi KSU Amungme Gold masih jauh dari permintaan pasar yang mencapai 4,5 hingga 5 ton setiap tahun. Arnoldus mengakui para petani masih perlu terus diberi motivasi untuk merevitalisasi kebun dan lebih intensif menanam agar produksi meningkat.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Warga suku Amungme saat menggelar upacara Bakar Batu di Lapangan Pasar Lama Kota Timika, Kabupaten Mimika, Papua, Jumat (8/10/2021). Upacara Bakar Batu ini menjadi simbol kebersamaan dan keterbukaan sesama warga.

Kedua, ketergantungan pada subsidi perusahaan dalam produksi kopi masih sangat besar. Menurut Arnoldus, biaya chopper untuk transportasi biji kopi dari pegunungan mencapai Rp 33 juta sekali terbang. Apalagi, penerbangan sering terganggu akibat aktivitas kelompok kriminal bersenjata di pegunungan.

Di samping itu, masih ada 10 dari 154 anggota koperasi yang masih digaji oleh PTFI, masing-masing Rp 3,6 juta per bulan. Biaya lain seperti hibah bibit, alat pertanian, serta suku cadang mesin huler dan pemanggang pun masih disubsidi oleh perusahaan.

Ketiga, Rumah Kopi Amungme Gold belum memiliki pengelola yang mengerti akuntansi, pembukuan, dan keuangan. Beberapa anggota belum familiar dengan konsep uang. ”Tantangan terbesar kami sebagai pembina adalah mengubah mindset pengurus koperasi. Kami perlu menggencarkan pelatihan yang bernuansa manajerial koperasi,” ujar Arnoldus.

Tenggat 2041 yang kian dekat, mendorong Divisi Community Affairs PTFI menyusun rencana strategis jangka panjang hingga 2025 demi memandirikan KSU Amungme Gold. Setiap tahun, subsidi perusahaan secara bertahap diperkecil agar koperasi semakin mampu membiayai bisnisnya sendiri.

”Gol jangka panjang perusahaan adalah memandirikan koperasi sampai betul-betul mampu berjalan di atas kaki sendiri tanpa tergantung pada perusahaan,” ujar Arnoldus.
Unduh Pola Halaman Kompas