Merawat “Gambar Idoep”

Masa kejayaan bioskop di Indonesia yang menggunakan proyektor film 35mm memudar ketika ekosistem bioskop terdisrupsi dengan perkembangan televisi dan masyarakat berpaling menonton melalui wahana cakram VCD (video compact disc), DVD (digital video disc), dan Blu-ray.

Terlebih lagi kini layanan over the top (OTT) semakin berkembang, di mana masyarakat dapat menonton film-film pilihan mereka dalam telepon genggam yang hanya berlayar sekitar 6 inci. Banyak film-film ditawarkan dalam layanan OTT, seperti oleh Netflix, Apple TV, Disney+ Hotstar, HBO, Hulu, dan Iflix.

Perputaran nasib sinematografi itu seperti kembali pada siklus titik nol dekade tahun 1900 saat pertama kali orang diperkenalkan dengan kinetoskop, di mana gambar bergerak hanya dapat ditonton oleh satu orang melalui lubang intip.

Hal itu membuat perusahaan gedung bioskop ketar-ketir. Bioskop-bioskop daerah di Indonesia mengalami kebangkrutan, misalnya di Jambi.

Kompas/Eddy Hasby
Kumpulan lukisan poster film di Cikindo Artgallery, Parung, Depok koleksi Museum Bioskop Jambi.

“Bioskop-bioskop di Jambi terpaksa tutup dan gulung tikar akibat berkurangnya minat penonton sehingga tak mampu menutup biaya operasional,” tutur Harkopo Lie, seniman pelukis poster film dari keluarga Lie, pengusaha bioskop di Jambi.

Kejayaan bioskop di Jambi tahun 70-an hingga 90-an memudar meninggalkan artefak rol film seluloid 35mm serta ribuan poster film dan proyektor.

Semua artefak ini dikumpulkan Harkopo Lie dan bekas gedung bioskop disulap menjadi Museum Film Jambi.