”Otto”, Kebanggaan Mercedes yang Akrab dengan Indonesia

”Otto”, Kebanggaan Mercedes yang Akrab dengan Indonesia

Tak berlebihan menyebut mobil ini sebagai kebanggaan Mercedes-Benz. Pabrikan mobil premium asal Jerman itu tak mungkin memajangnya di Mercedes-Benz Museum di Stuttgart jika tak bangga dengan jip warna biru muda ini. Perkenalkan: Otto, si penjelajah dunia yang menyimpan berbagai kejutan.

sumber foto dari ottosreise.de/Gunther Holtorf

O tto adalah nama kesayangan yang disematkan pada sebuah Mercedes-Benz 300GD, mobil utilitas legendaris buatan Mercedes. Pemiliknya, Gunther Holtorf, membelinya pada 1988, kemudian membawanya berjalan keliling dunia selama 26 tahun, menempuh jarak tak kurang dari 897.000 kilometer.

Rabu (25/4/2018), Kompas berjumpa dengan mobil bersejarah ini di Chateau de Lastours, kastel pembuat anggur terkenal di kawasan Occitan, Perancis selatan. Di tempat itu, selama hampir dua minggu berturut-turut, jurnalis otomotif dari seluruh dunia diundang bergantian untuk merasakan generasi terbaru Mercedes-Benz G-Class, yakni Mercedes-Benz G500 dan versi sportnya, Mercedes-AMG G63.

Di sana dijejerkan sejumlah mobil, yang di Indonesia dikenal dengan sebutan ”Jip Mercy”, dari berbagai generasi, termasuk Otto. ”Kami membawanya langsung dari Mercedes-Benz Museum di Stuttgart dengan truk khusus untuk ditampilkan di sini. Jadi, untuk sementara pengunjung museum tidak bisa melihat mobil ini karena kami akan membawanya berkeliling ke sejumlah acara penting,” tutur Ralph Wagenknecht dari Divisi Mercedes-Benz Classic, yang bertanggung jawab pada perawatan mobil-mobil G-Class klasik.

Begitu pentingnya mobil ini bagi Mercedes-Benz sehingga perlakuannya pun sangat istimewa, nyaris seperti barang keramat. Tidak sembarangan orang boleh menyalakan mesin atau mengemudikannya. Sekadar untuk menggeser posisinya agar bisa difoto dalam pose yang lebih baik pun tidak diperbolehkan. ”Maaf, tetapi mobil ini sangat bersejarah bagi kami,” ujar Wagenknecht.

KOMPAS/DAHONO FITRIANTO

Jip Mercedes-Benz 300GD ini diberi nama "Otto" oleh pemiliknya, Gunther Holtorf, dan telah menempuh jarak hampir 900.000 kilometer menjelajah seluruh dunia selama 26 tahun sejak 1989. Mobil ini sekarang menjadi koleksi Mercedes-Benz Museum di Stuttgart, dan dipajang dalam acara-acara khusus, seperti pada pengenalan dan uji kendara global New Mercedes-Benz G-Class di Perancis selatan, akhir April 2018 lalu.

Mobil tersebut juga dibiarkan dalam kondisi orisinal seperti saat Holtorf berkeliling dunia dan akhirnya menyerahkan mobil tersebut ke Mercedes-Benz Museum pada Oktober 2014. ”Ada perasaan sedih saat menyerahkan mobil itu ke museum. Itu hari terakhir saya bersama Otto setelah 26 tahun bersama,” kata Holtorf dalam wawancara dengan stasiun televisi Deutsche-Welle (DW) pada 2015.

Menurut Wagenknecht, pihak Mercedes-Benz menukar Otto dengan sebuah G-Class terbaru pada 2014. ”Yang saya dengar, dia (Holtorf) kini memulai lagi perjalanan keliling dunia dengan G-Class barunya itu,” ujarnya sambil tersenyum.

Kompas dipersilakan membuka pintu belakang Otto untuk melihat interiornya. Dan terlihat bagaimana mobil itu dulu menjadi ”tempat tinggal��� bagi Holtorf dan istrinya, Christine, saat berkeliling dunia.

KOMPAS/DAHONO FITRIANTO

Otto dan bagian dalam kabinnya yang dipakai sebagai tempat tidur oleh Gunther Holtorf dan istrinya, Christine, saat berkeliling dunia sejak 1989.

Kabin belakang mobil telah diubah menjadi tempat tidur darurat untuk dua orang, lengkap dengan bantal dan selimut tipis. Jendela-jendelanya ditutup kain sebagai gorden. Di langit-langit mobil digantung jaring untuk menyimpan berbagai kebutuhan pribadi, mulai dari baju ganti sampai kabel-kabel. Di bawah tempat tidur yang dialasi papan, tersimpan sejumlah kotak, isinya antara lain peralatan memasak.

Di pintu dan jendela belakang, ditempel puluhan stiker dari sejumlah negara, yang menunjukkan tempat-tempat yang sudah pernah dikunjungi Holtorf bersama Otto. Saat Kompas memeriksa satu per satu stiker-stiker itu, ternyata cukup banyak stiker dari Indonesia. Termasuk stiker dua dealer Mercedes-Benz di Jakarta, yakni NV Mass dan Dipo, yang ditempel di kaca belakang mobil legendaris itu.

Sumber: Litbang Kompas/L02/L04, diolah dari laman Otto’s Reise (http://www.ottosreise.de)
”Pak Peta” yang berjasa

Ya, tentu saja, Otto pun pernah menjelajahi jalanan Indonesia. Sesuatu yang sangat wajar mengingat pemiliknya, Gunther Holtorf, adalah orang yang sangat dekat dengan Indonesia, bahkan bisa disebut pernah sangat berjasa bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya.

Holtorf-lah orang yang membuat peta komprehensif jalanan di Jakarta yang kemudian dirangkum dalam buku Peta Jakarta dan Jabotabek. Inilah peta paling baik dan detail yang menggambarkan hampir seluruh jalan hingga gang-gang kecil di seluruh Jakarta dan kota-kota di sekitarnya.

”Peta ini 100 persen persis dengan sebenarnya…. Kota-kota di Eropa saja belum mempunyai peta sebagus dan selengkap ini,” ujar Holtorf saat berkunjung ke Kantor Redaksi Kompas di Jakarta, 23 Agustus 2001 ( Kompas , 24/8/2001).

Di era sebelum Google Map menjadi acuan peta di gawai-gawai kita, buku Peta Jakarta buatan Holtorf ini adalah ”bekal wajib” bagi mereka yang ingin menjelajah Jakarta. Hingga awal dekade 2000-an, para wartawan baru di Kompas pun masih selalu mengacu pada buku peta ini setiap ditugaskan ke sudut-sudut Jabodetabek.

Holtorf menyusun peta ini sejak 1974, saat ia bertugas di kantor cabang maskapai penerbangan Jerman, Lufthansa, di Jakarta. Pada masa itu, Holtorf, yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama Gunther, selalu kesulitan apabila akan mengundang klien atau relasi untuk datang ke rumahnya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Diawali dengan membuat peta jalan menuju rumahnya, kemudian ia mulai menyusun peta Jakarta secara keseluruhan (Kompas, 3/11/2006).

ottosreise.de/Gunther Holtorf

Otto tengah berada di sebuah ferry saat menjelajah di Indonesia.

Gunther pun melakukan proyek pemetaan ini benar-benar secara manual, yakni dengan menyusuri satu per satu setiap jalan dan gang yang ada di Jakarta. ”Gagasan dasar untuk membuat peta semacam ini sendiri ialah mempermudah orang Jakarta yang mempunyai mobil sampai ke tujuannya,” kata Gunther dalam wawancara dengan wartawan Kompas, Norman Edwin, November 1991.

Untuk menyusun peta ini, Gunther menyusuri jalan-jalan di Jakarta dengan mobilnya. Sebelum masuk kantor, dia menggulirkan roda mobilnya berkeliling kota jam 6 sampai 9 pagi. Hari Sabtu dan Minggu tak selalu diisinya dengan piknik, tetapi lebih banyak dimanfaatkannya untuk mengelilingi kota. Dia berusaha mengecek jalan-jalan yang tertera di peta buatan Pemerintah DKI Jakarta. Ternyata tak gampang kerjanya ini. Banyak jalan yang tak tertera di peta itu (Kompas, 28/11/1991).

Peta pertamanya ia terbitkan pada 1977, saat ia masih tinggal di Jakarta. Bertahun-tahun kemudian, Gunther rutin kembali ke Jakarta untuk memperbarui peta ini dan memperluas cakupan wilayah dan mempertajam skalanya.

Pada peta edisi ke-12 tahun 2001, misalnya, buku setebal 388 halaman tersebut sudah mencakup kawasan kota Tangerang, Depok, Bekasi, dan Bogor. Malah, dalam paparan umumnya di halaman AA, terpampang Balaraja, Cisoka, dan Jasinga di sisi lembar kiri. Cibadak, Cianjur, sampai Padalarang dan Cimahi di sisi lembar bawah. Purwakarta, Cikampek, dan Cilamaya serta Rengasdengklok di sisi lembaran kanan.

Begitu fenomenalnya hasil kerja Gunther ini sehingga dia di Indonesia dijuluki ”Pak Peta Jakarta”. Kompas pun beberapa kali mewawancara dan memuat profil pria ramah yang bisa berbahasa Indonesia ini sejak 1991 hingga 2006.

Tahun 2006 itulah Gunther mengajak Otto dan Christine ke Indonesia. Dalam paparan perjalanannya yang kini didokumentasikan di laman resmi http://www.ottosreise.de, episode perjalanan ke Indonesia itu ia beri judul ”Reunion with an Old Friend”. Di laman ini pula bisa dinikmati foto-foto perjalanan Otto selama di Indonesia.

ottosreise.de/Gunther Holtorf

Otto di halaman sebuah rumah khas Minangkabau, Sumatera Barat.

Tepatnya Otto dan Gunther masuk ke Indonesia pada 29 September 2006 dari Timor Leste setelah menyelesaikan perjalanan berkeliling Australia. Mereka kemudian berjalan ke barat melalui pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa, dan Sumatera hingga Kota Bukittinggi di Sumatera Barat.

Dalam perjalanan kembali dari Bukittinggi, Gunther dan rombongannya mampir di kantor DaimlerChrysler Indonesia (agen pemegang merek Mercedes-Benz di Indonesia waktu itu) di Jakarta pada 31 Oktober 2006. Ia bercerita tentang perjalanannya itu kepada wartawan Kompas, James Luhulima.

Setelah dari Jakarta, Otto pun diajak menyeberang ke Sulawesi untuk menyusuri jalanan dari Makassar ke Manado pergi pulang, sebelum menyeberang ke Kalimantan untuk menjelajah Balikpapan dan Banjarmasin, kemudian Pontianak.

KOMPAS/DAHONO FITRIANTO

Stiker yang menunjukkan sebagian negara yang pernah dilewati Gunther Holtorf bersama mobilnya yang diberi nama Otto. Perhatikan stiker beberapa dealer mobil Mercedes-Benz di Jakarta yang ditempel di kaca belakang Otto ini.

ottosreise.de/Gunther Holtorf

Otto saat menjelajah di Timor Leste.

Perjalanan pembuktian

Dalam siaran pers resmi Daimler AG pada 13 Oktober 2014, Gunther mengenang saat pertama membeli Otto pada 1988, ia skeptis dengan slogan promosi Mercedes-Benz G-Class yang berbunyi ”Where there’s a G, there’s a way” (Di mana ada G-Class, pasti ada jalan). Mercedes-Benz memang awalnya memproduksi G-Class sebagai mobil utilitas militer dengan fokus pada kemampuan offroad.

”Bagaimanapun, saya sudah melihat beberapa sudut dunia sebelumnya dan punya bayangan kasar kira-kira apa yang akan dihadapi mobil ini jika benar-benar diajak tur keliling dunia,” ujarnya. Laman resmi http://www.ottosreise.de menyebutkan, Otto awalnya adalah mobil test drive yang digunakan sebuah dealer mobil di Oldenburg, Jerman. Gunther membelinya pada September 1988.

Awalnya, Gunther dan istrinya, Christine U Boehme, hanya berniat mengajak Otto menjelajah Afrika yang eksotik pada 1989. Gunther sudah berusia 52 tahun saat itu. Namun, setelah merasakan asyiknya bertualang dengan mobil offroad bermesin diesel tersebut, pasangan itu kemudian melanjutkan perjalanan ke benua-benua lain. Sejarah pun tertoreh semenjak itu.

Daimler.com

Peta dunia dengan rute Otto

Mereka melanjutkan ke Amerika Selatan karena Gunther pernah tinggal di wilayah itu. Perjalanan dimulai dari Uruguay, dilanjutkan ke Amerika Serikat, Kanada, dan kembali ke Uruguay. Dari sana, ia melanjutkan petualangannya ke Selandia Baru dan Australia.

Selama 26 tahun, berdasarkan catatan resmi Daimler AG, Gunther telah menjelajahi tak kurang dari 215 negara, termasuk negara-negara tertutup di era itu, seperti Myanmar dan Korea Utara. Total jarak 897.000 kilometer yang dia tempuh disebut Daimler setara dengan jarak Bumi ke Bulan pp, ditambah dua kali keliling Bumi.

Dari total jarak itu, 250.000 km adalah medan offroad dengan beragam kondisi, mulai dari kawasan gurun yang panas dan kering di China dan Australia hingga kawasan tropis yang lembab dan basah, sampai iklim dingin ekstrem, seperti di Irkutsk, Siberia, dengan suhu minus 27 derajat celsius dan basecamp pendakian puncak Everest di kawasan Himalaya.

Daimler AG

Otto tengah berada di Aljazair, dengan latar belakang Gurun Sahara, pada 1990.

Kepada James Luhulima dari Kompas, pria kelahiran Gottingen, Jerman, 4 Juli 1937, itu mengatakan memang tidak melakukan perjalanan keliling dunianya itu seperti Phileas Fogg, tokoh fiksi dalam buku Around the World in 80 Days karangan Jules Verne, yang berjalan memutari Bumi dalam satu perjalanan. Perjalanan Gunther dan Otto dilakukan setahap demi setahap menyusuri jalanan dari satu kota ke kota lain di sejumlah benua.

Salah satu alasan perjalanannya memakan waktu 26 tahun karena dia juga tidak sepanjang tahun bertualang bersama Otto. ”Ia hanya menggunakan waktu enam bulan dalam satu tahun untuk berkeliling dunia. Setengah tahun sisanya ia menghabiskan waktu di Muenchen, Jerman, atau menyempurnakan peta kota Jakarta di Indonesia. Dan, selama enam bulan tersebut, mobilnya dititipkan di suatu tempat,” tulis James dalam artikelnya berjudul ”Keliling Dunia dengan G-Class” pada Kompas edisi 3 November 2006.

Perjalanan Gunther dan Christine bersama Otto itu sepenuhnya dilakukan dengan biaya sendiri. Hasil yang diperoleh dari kesuksesan buku Peta Jakarta dan Jabotabek (pada puncaknya dicetak hingga 150.000 kopi) turut menyumbang biaya perjalanan.

Untuk berhemat, suami-istri itu menghindari tidur di hotel dan selalu memasak sendiri makanan mereka dan menggunakan mobil sebagai tempat tinggalnya. Untuk tidur, jika tidak tidur di dalam mobil, mereka menggantung hammock di pohon dekat mobil mereka.

Saat pintu belakang dibuka, tampak di bagian belakang pintu tergantung rak kain untuk menyimpan berbagai peralatan makan dan masak. Dengan membuka meja kecil dan menempatkan kompor, jadilah bagian belakang mobil itu sebagai dapur darurat. Gunther juga memiliki meja lipat yang bisa berfungsi sebagai meja makan. ”Kami sering makan pop mi,” kata Gunther sambil tertawa.

Jika ingin mandi, ia tinggal mengeluarkan jeriken dan menggantungnya di kaitan rak atap, buka keran, dan jadilah shower darurat.

Daimler AG

Otto berada di Sydney, Australia, pada 2002.

Daimler AG

Gunther Holtorf dan Otto tengah beristirahat saat melintasi Tibet pada 2011.

Kelebihan beban

Dengan segala barang bawaannya itu, ujar Gunther, mobilnya hampir selalu dalam keadaan kelebihan beban. Di luar barang-barang kebutuhan pribadi sehari-hari, seperti pakaian, makanan, dan logistik lain, mobil itu juga harus membawa peralatan bengkel, suku cadang, dan ban-ban cadangan. Bobot total mobil pun hampir selalu mencapai 3,3 ton, atau 500 kg di atas bobot maksimum yang sebenarnya diperbolehkan. Bahkan, barang bawaan yang ditaruh di atap pun rata-rata seberat 400 kg.

”Mobil ini selalu dalam keadaan kelebihan beban. Itu sebabnya, saya menambahkan per khusus yang diperkuat dan peredam kejut khusus untuk jalanan jelek. Di luar itu, Otto sama saja dengan mobil sejenisnya. Seluruh drivetrain, mulai dari mesin, transmisi, dan kaki-kaki, semuanya masih orisinal,” ungkapnya dalam dokumentasi resmi Daimler AG.

Walau demikian, ia menyebutkan tak pernah menemukan masalah besar dengan mobil selama perjalanannya. Hanya sekali ia pernah mengalami kecelakaan, yakni saat berada di Madagaskar. ”Mobil saya terguling 1,5 kali,” ujarnya dalam wawancara dengan Deutsche-Welle.

Daimler AG

Otto di India pada 2005.

Ia pun pernah merasakan mengikuti arus mudik Lebaran saat menyusuri Pulau Jawa dari Bromo, Jawa Timur, menuju Jakarta. Ia bercerita pernah berpapasan dengan ratusan sepeda motor yang mudik beriringan.

Setelah lebih dari 20 tahun bertualang bersama, perjalanan Gunther dan Christine terhenti pada 2010 karena kanker yang diderita Christine. Istri keempat Gunther itu pun meninggal tak lama kemudian.

Namun, itu bukan akhir perjalanan Otto. Sepeninggal istri tercintanya, Gunther melanjutkan perjalanan dengan Otto bersama anak Christine yang ia adopsi, Martin. Kemudian, sejak 2013, ia berjalan bersama Elke Dreweck, teman keluarga Holtorf.

Kini, menurut orang-orang di Mercedes-Benz Classic, Gunther tengah berada di perjalanan lagi dengan G-Class barunya. Penjelajah sejati memang tak pernah berhenti.

Daimler AG

Otto di kaki gunung tertinggi dunia, Everest, pada 2011.

Daimler AG

Otto saat diserahkan ke Mercedes-Benz Museum di Stuttgart, Jerman, Oktober 2014

Kerabat Kerja

Penulis: Dahono Fitrianto | Fotografer: Dahono Fitrianto | Infografik: Septa Inigopatria Gunarso, Dicky Indratno | Desainer & Pengembang: Elga Yuda Pranata, Yulius Giann | Produser: Dahono Fitrianto, Prasetyo Eko Prihananto

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.