Mampukah Merdeka dari Resesi Ekonomi?

Tepat di tiga perempat abad kemerdekaannya, Indonesia berhadapan dengan musuh baru tak terlihat. Pandemi Covid-19 membawa perekonomian Indonesia ke dalam bayangan resesi. Meski demikian, Indonesia masih memiliki peluang untuk melepaskan diri dari ancaman keterpurukan ekonomi.

Empat bulan setelah Indonesia mengumumkan kasus pertama positif Covid-19, perekonomian langsung terdampak dan menunjukkan fakta keterpurukan. Awal Agustus lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data baru pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen secara tahunan.

Empat bulan setelah Indonesia mengumumkan kasus pertama positif Covid-19, perekonomian langsung terdampak dan menunjukkan fakta keterpurukan.

Pertumbuhan minus pada triwulan II-2020 adalah sebuah anomali konjungtur pertumbuhan. Baru pertama kali sejak tahun 2015, pertumbuhan pada triwulan II tercatat minus.

Sementara pada tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan triwulan II tidak jarang tercatat sebagai puncak tertinggi. Ini karena periode triwulan II bersamaan dengan momentum hari raya Lebaran.

kompas/rony ariyanto nugroho
Warga berbelanja di Pasar Baru Trade Centre, Bandung, Jawa Barat, menjelang Lebaran, Minggu (11/6/2017). Masa Lebaran biasanya mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada periode yang bersamaan.

Anomali yang terjadi, tak lain diakibatkan pandemi Covid-19 yang menjadikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penyusutan serius. Bencana kesehatan ini menekan perekonomian dari dua sisi. Dari sisi permintaan, terjadi penurunan permintaan akibat meluasnya pembatasan sosial sebagai upaya memutus rantai penularan Covid-19.

Distribusi dan mobilitas penduduk menjadi salah satu yang terdampak. Imbasnya tecermin pada kontraksi sejumlah sektor, antara lain transportasi serta penyediaan akomodasi dan makan-minum. BPS mencatat, kedua sektor tersebut mengalami pertumbuhan minus paling dalam, masing-masing 30,84 persen dan 22,02 persen.

Melemahnya permintaan di sejumlah sektor industri juga berujung pada penyusutan skala produksi perusahaan. Hal ini tergambar pada penurunan signifikan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor industri pengolahan.

Sektor penyumbang seperlima PDB nasional tersebut tercatat mengalami pertumbuhan minus 6,19 persen. Sebagai dampaknya, sektor perdagangan yang tidak lepas dari industri pengolahan turut merosot tajam hingga minus 7,57 persen. Dengan kata lain, gejolak pada sisi permintaan dengan segera diikuti oleh penyesuaian dari sisi penawaran. Kedua sisi tersebut saling memperkuat pertumbuhan ekonomi ke arah negatif.