Kisah Ken Dedes bukan sekadar tentang kecantikan, bukan pula soal perebutan kekuasaan, atau tentang karma yang jadi nyata. Lebih dari itu, Ken Dedes mewariskan pelajaran kehidupan. Kaum milenial pun mengejar Ken Dedes ke Malang.
Kisah Ken Dedes bukan sekadar tentang kecantikan yang bersinar-sinar, bukan pula tentang perebutan kekuasaan, atau tentang karma yang menjadi nyata. Lebih jauh dari itu, Ken Dedes mewariskan pelajaran kehidupan. Sungguh, Ken Dedes adalah Pradnjaparamita, Sang Dewi Ilmu Pengetahuan. Tak heran, kaum milenial pun mengejar ”Ken Dedes” ke Malang.
…Satekanira ring taman sira Ken Dedes tumurun saking padati, katuwon pagawening widhi, kengis wetisira kongkab tekeng rahasyanira, neher katon murub denira Ken Angrok, kawengan sira tumingal, pituwi dening hayunira anulus, tan hanamadani ring listu-hayunira, kasmaran sira ken Angrok tan wruh ring tingkahira…
Penggalan kisah dalam Serat Pararaton tersebut menggambarkan bagaimana Ken Dedes saat tiba di Taman Baboji bersama suaminya, Tunggul Ametung. Begitu turun dari kereta kuda, kain yang dikenakannya tersingkap sehingga betis dan bagian rahasianya kelihatan bersinar dan terlihat oleh Ken Angrok (Arok). Sejak itu, Ken Arok tergila-gila kepada Ken Dedes.
Ibarat Ken Arok yang mengejar Ken Dedes, anak-anak muda dari berbagai pelosok Nusantara pun mengejar ”Ken Dedes” hingga Malang. Mereka menimba ilmu di puluhan kampus di Kota Malang. Jumlah pelajar milenial itu pun terus naik dari tahun ke tahun. Jika tidak ada pembatasan dari kampus, bisa jadi jumlahnya akan terus naik dari waktu ke waktu.
Di Universitas Brawijaya (UB), misalnya, dari tahun ke tahun, jumlah mahasiswa asal luar Jawa Timur terus naik. ”Antusiasme masyarakat untuk kuliah di UB memang terus tinggi dari tahun ke tahun. Bisa jadi karena mereka melihat beberapa kelebihan di UB, misalnya kualitas pendidikannya bagus, iklimnya bagus, dan harga makanan masih murah,” ujar Kepala Bagian Perencanaan, Akademik, dan Kerja Sama UB Heri Prawoto Widodo.
Salah satu kelebihan UB, misalnya, menurut Heri, UB memiliki pusat studi bagus seperti Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) yang tidak dimiliki kampus lain. Adanya PSLD membuat UB menjadi kampus dengan layanan terbaik bagi mahasiswa disabilitas. Bisa jadi, menurut dia, hal itu menjadi pertimbangan mahasiswa dari luar Jawa Timur memilih belajar ke UB.
”Setiap tahun, saya diundang ke Jakarta oleh sebuah lembaga kursus untuk mempromosikan UB di hadapan orangtua siswa,” kata Heri.
UB hanya salah satu kampus penerima mahasiswa setiap tahun. Laman Pemerintah Kota Malang mencatat, setidaknya ada 60-an perguruan tinggi di Kota Malang, terdiri dari universitas negeri, universitas swasta, politeknik, sekolah tinggi, akademi, dan institut.
”Saya dulu memilih kuliah di luar kota sebenarnya hanya ingin belajar mandiri. Ingin belajar hidup lepas dari orangtua. Sebab, sejak SD hingga SMA saya hidup bersama keluarga terus. Lalu, saat kuliah, saya ingin belajar mengurusi hidup sendiri, jauh dari orangtua. Pilihannya, ya, ke Malang ini,” tutur Daffa Anzunatama (20), mahasiswa Jurusan Teknik Industri UB angkatan 2018.
Menurut Daffa, dirinya memilih Kota Malang karena salah satunya cuaca di Malang dinilai nyaman. ”Di sini cuacanya lebih nyaman daripada kota besar seperti Jakarta. Mirip-mirip Bandung. Yang jelas, di sini juga banyak tempat wisata sehingga kalau saya mau main dengan teman-teman lebih gampang,” kata mahasiswa asal Bandung itu.
Selain itu, Daffa mempertimbangkan tipikal masyarakat Malang yang masih ramah. Hal itu, menurut dia, membuat hidup jauh dari orangtua terasa lebih nyaman.
Untuk mengenal sosok Ken Dedes, tidak semudah mengintip akun media sosial seseorang di zaman sekarang—yang penuh dengan publikasi kehidupan. Kisah tertulis Ken Dedes hanya ditemukan dalam Serat Pararaton di dua penggalan singkat, yaitu saat muda dan menikah. Adapun masa tua hingga kematiannya nyaris tidak banyak data diperoleh selain tradisi lisan lokal di Polowijen, Kota Malang.
Dalam Serat Pararaton, Ken Dedes disebut sebagai perempuan yang mendapat amamadangi atau tercerahkan (dengan pengetahuan). Putri tunggal Mpu Purwa, pendeta agama Buddha Mahayana, itu hidup pada abad ke-12 hingga abad ke-13. Ia kemudian menjadi istri Akuwu Tumapel bernama Tunggul Ametung dan kemudian menjadi prameswari pendiri Kerajaan Singosari, yaitu Sri Ranggah Rajasa Amurwabhumi atau Ken Arok.
Membaca kisah Ken Dedes, kita akan diajak belajar memahami hidup. Ada tiga fase hidup Ken Dedes yang bisa dijadikan pelajaran, yaitu sebelum menikah, setelah menikah, dan menjelang kematian. Semua itu terekam dalam bentuk tekstual (Serat Pararaton), artefak (prasasti, arca), serta kisah lisan lokal.
Sebagai sosok tercerahkan, sejak kecil hingga sebelum menikah, Ken Dedes mempelajari 10 jalan perbuatan baik (dasa purnnakirya) dalam ajaran Buddha. Sebagian menyebut pelajaran itu sebagai paramitayana (jalan ajaran kebaikan hidup).
Sepuluh ajaran kebaikan itu adalah dana (gemar menolong orang dan murah hati), sila (berbuat, berucap, dan mencari mata pencarian yang benar), bhavana (mengheningkan cipta untk membersihkan kekotoran pikiran), apacayana (rendah hati dan menghormati orang), beyyavacca (memberikan jasa baik bagi orang agar juga ikut berbuat baik), prattidana (suka berbagi kebahagiaan, tidak kikir), prattanumodana (turut bahagia melihat orang lain bahagia/tidak iri), dharmasavana (mempelajari dharma dan dengar ceramah), dharmadesana (menyebarkan dharma yang dipelajari), dan dirtihiyukarma (pandangan hidup yang benar daripada mendengarkan ceramah atau semedi).
Saat menjelang nikah, hidup Ken Dedes digambarkan mulai diwarnai drama. Sejarawan Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono, mengutip kisah lokal masyarakat Desa Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, mengatakan bahwa saat muda sebenarnya Ken Dedes hendak dilamar oleh pemuda asal Dinoyo bernama Joko Lulo. Ken Dedes meminta syarat agar dibuatkan sumur dalam kepada Joko Lulo, dengan syarat sumur harus sudah selesai sebelum pagi.
Dengan kesaktiannya, Joko Lulo hampir menyelesaikan pembuatan sumur yang diminta (Sumur Windu/Sendang Dedes). Namun, sebelum pagi tiba, keluarga Dedes bersiasat dengan memukul wadah nasi, menyebabkan ayam berkokok dan disangka hari sudah pagi. Joko Lulo pun dianggap gagal. Joko Lulo lalu mengumpat marah dan mengutuk bahwa suami Ken Dedes nantinya akan terbunuh.
Pada perjalanan berikutnya, justru Ken Dedes akhirnya terpaksa menikah dengan orang yang membawanya lari, yaitu Tunggul Ametung. Hal ini menyebabkan Mpu Purwa marah kepada warga Polowijen yang dianggap membiarkan hal itu terjadi, dengan mengutuk Sumur/Sendang Windu mengering. Kutuk itu dirasakan sekarang, air dari Sendang Dedes tak semelimpah sebelum-sebelumnya.
Drama tragis hidup Ken Dedes tidak berhenti di sana. Saat hamil muda (mengandung Anusapati), ia harus mendapati kenyataan bahwa suaminya, Tunggul Ametung, dibunuh oleh Ken Arok. Saat Anusapati beranjak dewasa, ia kemudian ganti membunuh Ken Arok untuk membalas dendam.
Di balik kedudukannya sebagai prameswari, berlimpah pujian dan kecantikan, tetapi hidup Ken Dedes tak lebih dari pusaran drama kehidupan. Kematian demi kematian mengitari. Persis seperti kutukan Joko Lulo yang dahulu pernah dikecewakannya.
Cerita hidup Ken Dedes menjelang akhir hayatnya kembali didapati dalam kisah tutur lokal warga Polowijen. Pada akhirnya, dengan membawa kesedihan, Ken Dedes kembali ke rumahnya di Polowijen. Merenung di depan Sendang Windu. Di sana ia mengungkapkan penyesalan dan minta maaf atas apa yang dialami Joko Lulo, hingga akhirnya kemudian ia dikisahkan moksa (menghilang) di sendang yang hingga kini terus dikenal sebagai Sendang Dedes.
Kembalinya Ken Dedes ke Sendang Dedes seolah menutup drama hidup Ken Dedes selama ini. Kisahnya penuh dengan pelajaran kehidupan. Mulai dari melakukan kesalahan, menerima karma (hukuman), hingga akhirnya pasrah dan menemukan hikmah.
Ken Dedes sendiri disebut-sebut sebagai perwujudan Prajnaparamita, Sang Dewi Ilmu Pengetahuan tertinggi. Dwi Cahyono menyebut, dalam Pararaton, Ken Dedes dibandingkan dengan Prajnaparamita. Itu karena ia mendapat karma (ajaran) amamadangi dan menjalani paramitayana.
Pengarcaan Ken Dedes sebagai Prajnaparamita, menurut Dwi Cahyono, dikuatkan dengan paramitayana yang dijalani Ken Dedes. ”Oleh karena Ken Dedes pengikut paramitayana, wajar Dedes disebut sebagai pengikut Dewi Prajnaparamita. Maka, saat mati pun, dia diarcakan dengan Pradnjaparamita,” kata Dwi.
Menurut Yessi Blom (1976), sebagaimana dikutip oleh Suwardono dalam makalah ”Identifikasi Ken Dedes dalam Arca Perwujudan sebagai Dewi Prajnaparamita: Tinjauan Religi dan Ikonografi” (Mei, 2007), arca Prajnaparamita ditemukan di Candi Putri Singosari (sekitar 500 meter dari Candi Singosari), sekitar Jalan Bungkuk Gang II, Kelurahan Pagentan, Singosari. Daerah tersebut saat ini menjadi lingkungan pondok pesantren.
Pada Juli 2009, Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata melakukan penggalian situs di Desa Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Saat itu ditemukan jejak arkeologis permukiman kuno, pusat kota Singosari. Sayangnya, temuan itu tidak ditindaklanjuti.
Arca berbahan batu andesit tersebut kemudian dibawa ke rumah Residen Malang bernama Monnerau. Oleh Monnerau, arca itu dihubungkan dengan arca bermata satu Joko Lulo (Yessi Blom, 1976). Akhirnya arca itu disebut Ken Dedes hingga sekarang (ketimbang nama aslinya, Pradnjaparamita).
Postur arca temuan di Candi Putri Singosari tersebut setinggi 1,26 meter, dengan sikap duduk bersila di atas bantalan bunga teratai. Roman muka arca tenang, dengan pusat pandangan mata di ujung hidung.
Suwardono, pencinta sejarah dari Dinas Pendidikan Kota Malang, menyebut arca tersebut memiliki banyak persamaan dengan arca Siwa di Candi Kidal yang merupakan perwujudan Anusapati (Bernet Kempers, Ancient Indonesian Art, 1959). Dari sisi ikonografis, bentuk dan pahatannya dinilai berasal dari abad ke-13 (Stutteirheim, 1939).
Fakta itu dinilai menguatkan penyebutan bahwa arca Prajnaparamita adalah arca Ken Dedes, yaitu ditemukan di Candi Putri Singosari dan berasal dari abad ke-13.
”Dari semua gambaran di atas, tentang agama dan ajaran yang dianut Ken Dedes, tentang temuan arca Prajnaparamita di Candi Putri Singosari, dari bentuk dan pahatan arcanya yang sesuai dengan abad ke-13, serta kedudukan tingginya, maka dapat dikatakan bahwa arca Prajnaparamita adalah perwujudan Ken Dedes, permaisuri Sri Rajasa Amurwabhumi, raja Singosari,” tutur Suwardono.
Meski begitu, sebagian orang memercayai bahwa Prajnaparamita adalah perwujudan Gayatri Rajapatni (anak Raden Wijaya atau keturunan keempat dari Ken Arok).
Cerita Ken Dedes hanyalah salah satu kisah pelajaran masa lalu, yang menjadi akar budaya belajar/pembelajaran/pendidikan di Malang Raya. Bahkan, sejak zaman Hindu-Buddha, Malang Raya sudah menjadi sentra pembelajaran.
Prasasti Kanjuruhan (760 Masehi), yang ditemukan di Malang, menguatkan bahwa Malang khususnya memiliki sejarah panjang pembelajaran. Prasasti itu menunjukkan bahwa Malang menjadi awal tradisi literal tertua di Jawa Timur. Prasasti mengisahkan tentang pemujaan kepada Agastya (murid Dewa Siwa yang menjadi dewa ilmu pengetahuan).
Prasasti Kanjuruhan bukan prasasti biasa. Prasasti ini tonggak ”revolusi baca tulis” di Indonesia. Prasasti itu untuk pertama kalinya ditulis menggunakan huruf Jawa kuno dan bukan huruf Pallawa dari India. Sebelumnya, teks-teks prasasti ditulis dengan aksara Pallawa. Rupanya, tradisi literal berkembang baik di Malang.
Prasasti itu sekaligus menegaskan bahwa kultur baca tulis dan intelektualitas di Malang sudah lahir sejak abad ke-8 Masehi. Saat itu, Malang diketahui sebagai pusat pemerintahan. Sejumlah kadatuan (kedaton), seperti Kadatuan Kanjuruhan, Singasari, Majapahit, pusat pemerintahan negara bagian Tumapel dan Kabalan, serta Kadatuan Sengguruh, berkembang baik.
Sebagai pusat pemerintahan, sejarawan asal Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, menyebut daerah tersebut otomatis juga menjadi pusat kebudayaan, pembelajaran, dan peradaban.
Sejumlah prasasti banyak menyebut adanya mandala kadewaguruan (perguruan) atau pusat pembelajaran di Malang. Tahun 1400-an Masehi, dalam Prasasti Selobrojo di Ngantang, Malang, disebut adanya Mandala Sagara dan Awaban, sebagai pusat pendidikan dan pembelajaran kala itu. Sagara hingga kini masih diteliti tempatnya. Adapun Awaban merujuk pada toponimi wilayah Ngabab di Pujon, Malang.
Lokasi geografis Malang Raya dengan dikitari gunung-gunung suci, seperti Semeru, Kawi, Bromo-Tengger, dan Arjuna, seakan mengokohkan status Malang sebagai sentra pembelajaran sejak diciptakan.
Masih terdapat sejumlah mandala di Malang, seperti Mandala Panawidyan (disebut juga Panawijen atau Polowijen). Saat itu, Polowijen telah menjadi pusat pembelajaran murid-murid Siwa, sekaligus berkembangnya intelektualitas Ken Dedes, Sang Prajnaparamita.
Lokasi geografis Malang Raya dengan dikitari gunung-gunung suci, seperti Semeru, Kawi, Bromo-Tengger, dan Arjuna, seakan mengokohkan status Malang sebagai sentra pembelajaran sejak diciptakan. Menurut Dwi Cahyono, gunung-gunung suci itu menjadi lokasi pembelajaran, baik agama Hindu, Buddha, maupun karesian (karesian Turen, Sagara, Kawi, Tengger, dan lainnya).
Gambaran Malang sebagai pusat pembelajaran juga akan muncul dalam artefak berbentuk arca dan relief. Bentuk relief misalnya tampak di Candi Jago, yaitu tentang munculnya gambaran wanasrama (asrama di tengah hutan untuk pelajar putri) dalam rangkaian cerita Partayadnya.
Adapun gambaran berbentuk arca bisa diwakili dengan arca Agastya, arca Amogaphasa, dan arca Sudhanakumara (dewa pengiring Amogaphasa) yang memegang buku di bawah ketiaknya. Arca Sudhanakumara berasal dari Candi Jago, tetapi kini tersimpan di Museum Nasional. ”Arca itu menunjukkan bahwa Sudhanakumara benar-benar seorang pembelajar, yang ditunjukkan dengan mengempit sebuah buku besar,” kata Dwi Cahyono.
Arca Amogaphasa di halaman Candi Jago Tumpang Malang disebut-sebut juga menjadi ikon dunia pendidikan. Dwi Cahyono menyebut bagian arca Amogaphasa pun memiliki laksana (penanda khusus) berupa pusaka (lontar, seperti arca Pradnjaparamita). Catatan pada daun lontar adalah salah satu bentuk jejak literasi pada zaman itu.
Kisah Malang sentra pembelajaran tidak berhenti di era kerajaan. Pada era lebih modern, sejarah keilmuan, kreativitas, dan intelektualitas Malang terus terpancar, termasuk saat era kolonial.
Tjamboek Berdoeri, nama pena dari Kwee Thiam Tjing, salah satu wartawan dan penulis Tionghoa yang meramaikan tradisi literasi di Malang, merekam keping jejak Malang sebagai pusat pembelajaran.
Satu karya besar Kwee Thiam Tjing yang lahir dari Malang adalah buku Indonesia Dalem Api dan Bara, yang diterbitkan tahun 1947 oleh penerbit Perfectas, di Malang. Buku itu menceritakan sejarah Indonesia pada masa akhir penjajahan Belanda, bergeser saat pendudukan Jepang, hingga masa revolusi kemerdekaan. Karya tersebut memberikan sumbangsih besar pada dokumentasi sejarah bangsa Indonesia.
Melalui karya Kwee Thiam Tjing, tradisi keilmuan di Malang pun terekam. Si Tjamboek Berdoeri, misalnya, mencatat Malang berperan penting dalam terselenggaranya sidang pertama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 25 Februari 1947. Pada saat itu, Presiden Soekarno ikut berpidato.
KNIP adalah pemegang kekuasaan legislatif sebelum adanya MPR dan DPR. Sisa jejak sejarah itu saat ini diabadikan dengan sebuah monumen kecil. Adapun gedung yang dipakai sidang pertama KNIP tersebut adalah gedung Societeit Concordia, yang sekarang merupakan gedung Sarinah.
Bukan itu saja. Sebagaimana dituturkan kembali Bennedict ROG Anderson, Kwee Thiam Tjing juga mencatat tradisi literasi di Malang yang terus berkembang pada era 1900-an. Terdapat belasan hingga puluhan penerbitan koran dan majalah pada tahun 1910-1939 (meskipun tidak banyak yang bertahan lama).
Intelektualitas di Malang tidak pernah hilang meski melintasi zaman. Bukan hanya tradisi tulis-menulis, Malang pun melahirkan sosok kuat dalam drama dan film, yaitu Emil Sanossa (1960 hingga 1980-an). Emil merekam jejak perjalanan bangsa dalam beberapa serial, seperti Menyongsong Ufuk, Saat Tebu Telah Berbunga, Bertahan Dalam Badai, Yang Luruh dan Yang Tumbuh, Perjalanan Hati Nurani, Fajar Sidik, Tuan Kondektur, dan segudang karya emas lainnya di era 1960-an hingga 1980-an.
Secara fisik pun, Malang saat ini masih menjadi kota pendidikan. Terdapat ratusan bangunan sekolah ada di Kota Malang, mulai dari SD hingga perguruan tinggi.
Padahal, tahun 1914, saat itu hanya ada beberapa sekolah di Kota Malang. Di antaranya Meer Uitgebries Lager Onderwijs (MULO) atau pendidikan dasar diperluas—-setingkat SMP, 3 SD Europeesche Lagene School, 1 SD Hollandsch-Chineesche School, 3 SD untuk pribumi (inlandsche scholen der 2e klase atau Sekolah Ongko Loro), 4 sekolah di Celaket yang diasuh suster-suster Ursulin, serta sekolah berbahasa China di daerah pecinan bernama Tiong Hwa Hwee Kwan.
Sekarang, di Kota Malang saja terdapat 500-an sekolah negeri dan swasta, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Fisik sekolah ada yang dipertahankan dengan kekunoannya dan ada yang sudah dirombak menjadi lebih modern. Pelajar di Kota Malang pun berasal dari berbagai pelosok daerah di Nusantara.
Di luar sekolah, juga terdapat banyak kelompok atau komunitas pembelajaran dalam berbagai bidang. Misalnya Forum Pelangi (komunitas diskusi yang dibuat almarhumah sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim), Kelompok Belajar Menulis (Kobis) Merajut Sastra yang dibuat penulis cerpen Iman Suwongso, dan komunitas Sinau Desa.
Kelompok-kelompok pembelajar itu berkumpul di berbagai tempat, mulai dari rumah, kampus, hingga kafe. Tidak heran jika kemudian ruang-ruang sosial seperti kafe menjamur di Malang. Tak salah, kaum milenial itu mengejar ”sinar” Ken Dedes hingga Malang.