Peradaban manusia berderap menuju optimalisasi teknologi informasi, bioteknologi, nanoteknologi, dan kecerdasan buatan. Sebagai jantung penggerak adalah STEM alias sains, teknologi, engineering (rekayasa), dan matematika. Sayangnya, bidang penggerak ini masih jauh dari sentuhan peran dan perspektif perempuan.
Kondisi ini memicu konsekuensi serius, bukan sekadar kecilnya partisipasi. Desain dunia yang mengesampingkan perspektif perempuan tidak hanya berpengaruh pada kenyamanan, bahkan bisa mengancam kehidupan perempuan.
Ihwal kesenjangan jender dalam sains dibahas khusus dalam laporan UNESCO Institute for Statistics, seperti diunduh dari laman unesco.org pada Kamis (12/3/2020). Perempuan peneliti adalah minoritas.
Persentasenya bervariasi untuk setiap kawasan. Untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik (2016) persentasenya 23,9 persen. Di Asia Selatan dan Asia Barat 18,5 persen. Adapun di Amerika Utara dan Eropa Barat 32,7 persen. Sementara di seluruh dunia, rata-rata proporsi perempuan peneliti adalah 29,3 persen.
Meski demikian, menariknya, di sejumlah negara persentase perempuan peneliti (lebih) besar. Indonesia mencatat persentase 45,8 persen, Azerbaijan 59 persen, dan Myanmar 75,6 persen.
Akan tetapi, dalam artikel ”100 Women: Where do women outnumber men in science” yang dipublikasikan bbc.com pada 9 November 2017 disebutkan, persentase di Myanmar kemungkinan tidak mewakili hal sesungguhnya. Pasalnya, dari data yang dikumpulkan pada 2002 oleh Kementerian Sains dan Teknologi Myanmar, beberapa universitas di Myanmar mungkin memasukkan semua staf pengajar mereka alih-alih hanya mereka yang melakukan penelitian.
Posisi sebagai minoritas dalam bidang STEM yang dialami perempuan makin terkonfirmasi dalam laporan ”The Global Gender Gap 2018” yang dirilis World Economic Forum.