Chery QQ menjadi pionir masuknya merek-merek otomotif China di Tanah Air. Setelah itu, akhir 2006 masuk merek Foton yang membawa truk engkel, mobil pikap, dan mobil dobel kabin. Tak lama kemudian menyusul produsen mobil SUV, Great Wall, dan Geely pada 2008.
Sebagai catatan, Geely Automobile adalah salah satu perusahaan otomotif terbesar di China yang berpusat di Hangzhou, Zheijiang. Geely menggebrak dunia dengan membeli Volvo dari Ford Motor Company senilai 1,8 miliar dollar AS pada 28 Maret 2010. Geely kemudian juga membeli produsen mobil sport asal Inggris, Lotus, dan mobil nasional Malaysia, Proton, pada 2017.
Di Indonesia, mobil-mobil Geely sempat dirakit di pabrik perakitan PT Gaya Motor di Sunter pada 2010. Namun, kemudian mobil merek tersebut seperti hilang ditelan waktu.
Komisaris PT Indomobil Sukses International (ISI) Tbk Gunadi Sindhuwinata, yang pernah merintis masuknya mobil Chery QQ pada 2006, mengakui, semua pemain otomotif mengejar pangsa pasar, kualitas, dan layanan purnajual. Menurut dia, membangun merek tidaklah mudah, membutuhkan waktu. Ada pasang surutnya sehingga merek otomotif mempunyai kemantapan di hati dan pikiran konsumen.
Dahulu, dunia otomotif Indonesia pun menghadapi kondisi serupa. Sebelum mobil-mobil Jepang diterima konsumen, mobil-mobil yang dikenal di sini adalah mobil-mobil Jerman, seperti Volkswagen dan Mercedes-Benz, atau mobil-mobil Amerika buatan kelompok General Motors (GM) atau Ford.
Setelah pemain otomotif Jepang masuk ke Indonesia, mereka pun selangkah demi selangkah membangun modal berdasarkan merek. ”Saat pabrikan Jepang masuk pun, pasar Indonesia boleh terbilang kecil, cuma 48.000 unit per tahun. Jadi, satu bulan hanya 4.000 unit.” kata Gunadi.
Salah satu kunci Jepang bisa bertahan dan mengembangkan industri otomotif di Indonesia adalah melakukan investasi sesuai dengan peraturan pengembangan industri otomotif. Waktu itu, kata Gunadi, antara volume produksi dan TKDN (tingkat komponen dalam negeri) sangat dikaitkan sebagai prasyarat.
Saat itu, sekitar akhir 1960-an hingga awal 1970-an, mobil rakitan luar negeri atau impor CBU tidak diperbolehkan masuk ke Indonesia. Satu-satunya merek Jerman yang bisa masuk saat itu adalah Mercedes-Benz karena mau mengikuti aturan industri.
Tidak semua komponennya dibuat di dalam negeri, tetapi paling tidak, mereka mau mengikuti aturan CKD (completely knock down) dengan membangun pabrik perakitan di Wanaherang, Bogor, yang masih berproduksi sampai hari ini.
Merek China pun harus demikian. Di samping harus bersaing dengan harga murah, tetapi tidak murahan, otomotif China harus melakukan investasi pabrik supaya bisa meningkatkan TKDN. Inilah kunci bisa bersaing dengan mereka yang sudah ada dan mapan di Tanah Air.
”Harus punya napas panjang dan juga modal. Membangun showroom dengan sarana penjualan, suku cadang dan servis atau dikenal sebagai 3S (sales, sparepart, service). Juga membangun sistem aftersales yang benar. Bukan hanya bengkel saja. Tidak mudah membangun hubungan dengan konsumen untuk benar-benar memercayai merek otomotif,” ujar Gunadi.
Yang terjadi saat pemasaran mobil China dahulu, seperti Chery QQ, industri otomotif China tidak memiliki kesabaran dalam menggarap pasar Indonesia sehingga akhirnya tenggelam di tengah arus kompetisi.
Hal itu disadari para pemain baru dari China saat ini. Franz Wang, Direktur Pemasaran PT Sokonindo Automobile sebagai produsen mobil-mobil DFSK di Indonesia, mengakui, banyak pemain otomotif dunia yang sudah lebih dulu eksis di Indonesia.
”Ada banyak merek (otomotif) di pasar Indonesia, beberapa di antaranya sudah lama di sini, tetapi ada juga para pemain baru. Namun, kami meyakini, selama kami membawa produk-produk terbaik, teknologi dan pelayanan paling maju, pada akhirnya kami akan mendapat pengakuan dari para pengguna di Indonesia,” ujar Wang.
Mereka pun berusaha keras menunjukkan kualitas mobil-mobil China saat ini sudah berbeda dibandingkan yang dulu. Kampanye branding-nya juga digarap secara lebih serius, dengan peluncuran mobil di mal bergengsi, program uji kendara eksklusif untuk media, hingga tampilan iklan yang elegan di media cetak ataupun elektronik.
Dimulai tahun 2016, para pemain China, yakni Wuling Motors dan Dong Feng-Sokon (DFSK), mulai menancapkan komitmennya dengan berinvestasi besar-besaran di Indonesia. Wuling membangun pabrik di Cikarang, sementara DFSK sudah mengoperasikan pabrik di Cikande, Serang, Banten.
Gunadi mengatakan, Wuling yang memiliki kaitan dengan GM, dari sisi merek ataupun komponen sudah diuntungkan dengan volume cukup besar. Penjualan mobil-mobil Wuling di China sudah melampaui 1 juta unit pada 2011 dan saat ini mereka mengejar penjualan 2 juta unit per tahun.
Ada lompatan teknologi dan faktor penunjangnya kuat. Penguasaan teknologi dan permesinan gencar dibangun otomotif China sehingga produksinya semakin bagus dan kualitasnya semakin meningkat, serta ditunjang dengan pasar otomotif yang besar.
Franz Wang dari DFSK memaparkan, pihaknya telah menerapkan prinsip Industry 4.0 di pabriknya di Cikande. Ini artinya pabrik tersebut telah menerapkan tingkat otomatisasi yang tinggi hampir di seluruh prosesnya, mulai dari pencetakan, pengelasan, pengecatan, hingga perakitan.
”Contohnya, seluruh titik pengelasan dikerjakan secara robotik dan seluruh proses penyemprotan cat juga dilakukan robot untuk memastikan ketebalan cat dan kualitas cat,” ujar Wang.
”Lompatan inilah yang terasa cepat. Namun, apakah mereka mampu menjadi pesaing merek-merek otomotif yang sudah menjadi incumbent di Indonesia? Saya kira, tetap dibutuhkan waktu, bukti (kualitas), dan dana permodalan yang memiliki ’napas panjang’. Mereka harus mempunyai fasilitas produksi, seperti merek-merek Jepang, supaya bisa bersaing. Kita lihat saja keberhasilannya,” ujar Gunadi.
Sepengetahuan Gunadi, Wuling berinvestasi di Indonesia dengan cara-cara yang dilakukan kompetitor merek-merek incumbent. Dia membawa supplier industrinya yang belum tentu sebanyak yang dilakukan para pemain petahana. Ini dilakukan, antara lain, untuk menekan biaya produksi.
Namun, bagi konsumen, rakitan dalam negeri atau tidak, ekspektasi konsumen akan kualitas mobil dan layanan purnajual jauh lebih penting. Menggugah kepercayaan konsumen Indonesia adalah dengan bukti-bukti layanan purnajual, termasuk harga jual kembalinya.
Sebuah ”nafas panjang” sedang dimulai. Keterbukaan industri dan keyakinan akan potensi pasar otomotif yang masih berkembang membuat Wuling Motors memberanikan diri melebarkan sayap dengan berinvestasi industri otomotif di Indonesia.
Decak kagum pun diungkapkan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat meresmikan pabrik mobil milik PT SAIC-GM-Wuling Automobile Company Limited (SGMW) Motors Indonesia di Cikarang, Jawa Barat, pada 11 Juli 2017. Dari total luas pabrik 60 hektar, separuhnya diperuntukkan bagi industri pemasok suku cadang, baik dari dalam maupun luar negeri. Saat ini, kandungan lokal Wuling berada pada level 56 persen.
Presiden PT SGMW Motors Indonesia Xu Feiyun mengatakan, pabrik ini menjadi basis produksi Wuling untuk memasok pasar di Asia Tenggara. Sementara ini, fokus produksinya untuk memenuhi kebutuhan pasar Indonesia.
Mobil-mobil MPV Wuling dipasarkan melalui jaringan 50 dealer di seluruh Indonesia dengan 19 di antaranya berada di Jakarta dan sekitarnya. Xu mengatakan, tahun 2018 akan mulai diproduksi tipe dan varian lain untuk memperkaya produk yang sudah ada (Kompas, 12 Juli 2017).
Terbukti, hanya kurang dari enam bulan, produk medium MPV dengan kapasitas lebih besar pun mulai dipasarkan, yakni Wuling Cortez. Tidak tanggung-tanggung, kelengkapan fiturnya dirancang untuk menghadang kompetitor lainnya, terlebih lagi harga jualnya yang sangat kompetitif. Saat ini pun sudah cukup sering kita temui Wuling Confero di jalanan.
Wakil Presiden Penjualan, Layanan, dan Pemasaran Kendaraan Wuling Motors Cindy Cai dalam peluncuran Wuling Cortez di Jakarta, Kamis (8/2), menegaskan, ”Market Indonesia sangat besar, begitu pula opportunity yang tersedia di Indonesia sangat bagus. Produk Wuling (diyakini) sangat cocok dengan pasar Indonesia.”
Keyakinan lain yang dimiliki Wuling hingga siap menggempur pasar otomotif Indonesia adalah kemampuan memproduksi kendaraan MPV yang sangat digemari masyarakat Indonesia.
Soal harga yang sangat kompetitif dibandingkan dengan kompetitor, Cindy lebih menunjukkan alasan efisiensi produksi yang sanggup dilakukan oleh industri China selama ini. ”Kita sudah pengalaman produksi (otomotif) selama lebih dari 30 tahun. Lagi pula, kita sudah mempunyai sistem produksi yang bagus sehingga bisa meminimalisasi biaya produksinya. Platform sparepart pun sudah dimiliki sendiri sehingga jangan heran bisa membuat cost lebih rendah,” ujar Cindy.
Cindy menegaskan, Wuling berupaya melakukan investasi industri otomotif secara selangkah demi selangkah. Tujuannya tak lain adalah bisnis jangka panjang. Semua dibangun dengan pertimbangan jangka panjang.
Senada dengan Cindy, Franz Wang mengaku optimistis dengan penetrasinya ke pasar Indonesia. Menurut dia, keputusan menjadikan Indonesia sebagai pusat riset dan pengembangan serta manufaktur pertama DFSK di luar China adalah sebuah keputusan strategis yang dilakukan setelah melalui riset dan seleksi mendalam.
”Indonesia adalah pasar otomotif terbesar di ASEAN, negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, tetapi angka kepemilikan mobil per seribu penduduk masih relatif rendah, dan potensi pasarnya sangat besar. Diperkirakan jika pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa dipertahankan, pasar otomotif Indonesia akan sangat kaya peluang,” ujarnya.
Sumber : Litbang Kompas/YOG, dari pemberitaan Kompas dan Gaikindo
Berbeda dengan Wuling yang akan fokus pada produk MPV, DFSK, menurut Wang, akan fokus pada pengembangan produk-produk SUV keluarga. Dia juga menjanjikan produk berkualitas dengan memadukan standar produksi mobil Eropa dan standar industri otomotif di Indonesia, termasuk dengan merangkul para supplier lokal.
Wang menambahkan, layanan purnajual juga akan menjadi salah satu fokus utama pihaknya. Saat ini, DFSK telah membuat jaringan pemasaran dan servis di Jabodetabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan akan terus mengembangkan jaringannya nanti.
Kita lihat bersama, apakah ”invasi” kedua mobil-mobil China ini akan berhasil memikat hati masyarakat Tanah Air.
Penulis: Dahono Fitrianto, Stefanus Osa Triyatna | Fotografer: Riza Fathoni, Dahono Fitrianto | Penyelaras Bahasa: Lucia Dwi Puspita Sari | Videografer: Rony B kuncoro, Stefanus Osa Triyatna | Infografik: Arjendro Darpito | Desainer dan Pengembang: Yulius Giann, Elga Yuda Pranata | Produser: Pandu Lazuardy, Haryo Damardono
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.