Tidak hanya ijazah sarjana, keterampilan teknis dan sosial ini juga dituntut oleh para penyedia kerja.
Puluhan purnama dihabiskan Aulia (22) dengan mengirimkan ratusan lamaran. Namun, setahun sejak lulus dari jurusan psikologi sebuah universitas swasta di Bekasi, Jawa Barat, sampai kini masih jua ia menganggur.
[Ini adalah tulisan ke-12 dari rangkaian 12 tulisan “Mengapa Generasi Z Lebih Susah Cari Kerja?“]
Tidak kurang dari 250 lamaran ia kirimkan sejak lulus pada pertengahan 2023. Dari jumlah itu, hanya 5-7 perusahaan yang merespons hingga proses wawancara. Bahkan ada satu yang sampai proses penawaran kerja sebagai anggota staf sumber daya manusia, tetapi terpaksa ia tolak. ”Ayah tidak mengizinkan karena aku harus ngekos di dekat kantor di Jakarta Utara,” kata Aulia.
Pernah pula ia sudah sampai mengikuti pelatihan staf penjualan sebuah bank BUMN, tetapi kembali ia batalkan karena lokasinya jauh. Aulia mengaku sebenarnya tidak pilih-pilih soal pekerjaan. Posisi apa pun tidak ia permasalahkan. Namun, belum ada lagi tawaran pekerjaan.
Ia menduga ketiadaan pengalaman kerja membuat lamarannya jarang direspons. Saat kuliah, ia juga tidak sempat ikut magang kerja karena kampusnya kurang memfasilitasi. Ia juga tidak ikut organisasi mahasiswa yang kemudian ia sadari hal itu dapat membantu keterampilannya dalam berkomunikasi.
Setiap hari ia masih rajin mencari peluang kerja dan mengirimkan lamaran. Di sela-sela itu, sesekali ia membantu budenya yang bekerja di sebuah perusahaan ekspedisi. ”Kadang-kadang 2-3 kali seminggu, tetapi enggak rutin. Setiap kali datang dapat honor Rp 50.000-Rp 100.000. Tugasnya membantu pekerjaan administrasi,” kata Aulia.
Sesekali ia ikut pelatihan di bidang ketenagakerjaan dan beberapa pelatihan lain yang sekiranya dapat menunjang pekerjaannya kelak. Ia berharap pengalaman dan keterampilan barunya ini dapat menjadi poin plus di mata calon pemberi kerja.
Kondisi pasar kerja yang suram pada 2020 membuat Gabriella (26) yang saat itu baru lulus dari jurusan ekonomi pembangunan sebuah universitas negeri di Malang, Jawa Timur, memutuskan lanjut ke jenjang S-2 di tempat yang sama.
”Pas 2020, kan, pandemi Covid-19 sedang ekstrem. Pekerjaan sulit. Bahkan yang sudah bekerja pun banyak yang dirumahkan. Jadi, mendingan S-2 saja daripada sulit cari kerja,” kata Gabriella.
Sudah setahun ini, sejak ia menggenggam ijazah S-2 ilmu manajemen di tangan, tak terhitung lagi berapa lamaran yang sudah ia kirimkan. Beberapa perusahaan nasional pernah mengundangnya untuk tes seleksi, tetapi belum ada yang menerimanya.
Sebetulnya, ia merasa lebih percaya diri bersaing di pasar kerja karena punya ijazah S-2. Namun, ia juga sadar jika tidak diiringi pengalaman kerja, posisinya akan tetap dipandang sebagai fresh graduate. Sama-sama susah cari kerja.
“Tentu khawatir. Usia sudah segini, enggak punya penghasilan, masih hidup sama orangtua. Ada perasaan guilty,” kata Gabriella.
Kini ia tidak memiliki kegiatan khusus, hanya sesekali membuat usaha kecil, seperti membuat dan menjual puding, berjualan stiker dinding hingga masker di masa pandemi.
Mendapatkan pekerjaan tidak hanya butuh ijazah sarjana. Meskipun saat ini sudah banyak yang tidak mementingkan ijazah, semua perusahaan pasti mencari kandidat yang menguasai keterampilan teknis dan sosial yang memadai sebagai pegawai mereka kelak.
Oleh karena itu, penting bagi pencari kerja meningkatkan kapasitas diri agar mampu bersaing di tengah persaingan ketat pasar kerja demi pekerjaan impian. Kualitas pencari kerja seperti apa yang dicari oleh perusahaan? Para pakar dan praktisi ini berbagi pandangan dan pengalamannya, mulai dari persiapan masuk pasar kerja hingga metode mendapatkan pekerjaan dari luar negeri.
Tidak semua ingin mendapat pekerjaan yang jadwal dan jam kerjanya rigid. Sebagian orang lebih memilih pekerjaan yang watu dan tempatnya fleksibel. Namun, meskipun fleksibel, tetap butuh konsistensi untuk menjalaninya dan ada konsekuensi yang menyertai.
Beberapa pekerja lepas ini berbagi kisah suka dan duka serta tips dan trik dalam menjalani pekerjaannya, termasuk mendapatkan pekerjaan dari luar negeri.
Baca artikel lainnya seputar “Susah Cari Kerja”:
Generasi Z Lebih Susah Cari Kerja
Mengejar Lowongan Kerja: 300 Kali Berharap, 300 Kali Kecewa
Selamat Tinggal Era Padat Karya?
Lulusan Jurusan Apa yang Paling Cepat Dapat Kerja?
Kerja Tambahan Jadi Sekoci Pekerja
Pekerjaan Sambilanku Harapanku
Meloncat-loncat, Cara Cepat Mencapai Puncak Karier
Didorong Pemerintah, tetapi Tersandung Biaya Makelar
Generasi Z Lulusan SD dan SMP Terpinggirkan di Dunia Kerja
”Orang Dalam” yang Jadi Andalan Para Pencari Kerja