Morotai, “Mutiara Bibir Pasifik” yang Menanti Dipoles

Morotai, pulau dengan segudang potensi wisata. Pantai-pantai berpasir putih, pulau-pulau kecil nan indah, hingga keindahan bawah lautnya. Ada satu yang tidak dimiliki daerah lain, yakni narasi tentang Perang Dunia II.

Morotai menjadi kunci kemenangan Jenderal Douglas MacArthur dan sekutu untuk memukul balik Jepang dalam Perang Pasifik, bagian dari Perang Dunia II.

Jika saja Jenderal Douglas MacArthur tidak bersumpah, ”I shall return”, barangkali ia tidak akan pernah menginjakkan kakinya di Morotai. Setelah kalah total dari Jepang di Pearl Harbor, Hawaii, dan terpukul mundur dari Filipina, MacArthur mundur ke pulau-pulau karang di Australia. Ketika itulah ia bersumpah ”I shall return” untuk membalas kekalahan sekutu dan AS.

ARSIP NASIONAL AMERIKA SERIKAT
Jenderal Douglas MacArthur (tengah berkaca mata) tengah menginspeksi pantai di Pulau Morotai yang diiinvasi 15 September 1944.

Panglima Tertinggi Pasukan Amerika Serikat untuk Kawasan Pasifik  Barat Daya itu kemudian menerapkan strategi loncat katak untuk menyerang balik Jepang. Dari pulau-pulau karang, ia meloncat ke Guadalkanal, Kepulauan Solomon. Selanjutnya, meloncat ke Bougainville di Kepulauan Admiralty, lantas meloncat ke New Guinea.

Morotai menjadi batu loncatan berikutnya. Pulau ini hanya dijaga sedikit pasukan tentara Jepang sehingga dengan mudah direbut dan dikuasai. Morotai menjadi basis utama sekutu dan AS untuk menyerang Filipina dari laut dan udara. Setelah Filipina dikuasai kembali, MacArthur menyerang jantung pertahanan Jepang di Iwojima dan Okinawa.

Perang mengubah drastis pulau sunyi di bibir Samudra Pasifik ini. Malam ketika pasukan AS dan sekutu mendarat di Morotai pada 15 September 1944, ribuan pesawat tempur meraung-raung membelah angkasa Morotai yang dirasakan penduduk setempat bak hendak kiamat (Kompas, 25 Maret 1994).