Dua puluh lima hotel disiapkan untuk menampung 1.448 peserta Musyawarah Nasional II Golkar pada bulan Oktober 1978. Puluhan hotel di Bali, terutama di seputaran Kuta, Bali, saat itu benar-benar dipesan habis untuk mewadahi peserta Munas Golkar.
Bali ketika itu memang belum disesaki hotel. Ketersediaan kamar di tiap hotel juga terbilang rendah. Tahun 1970-an akhir, Bali belum menjelma menjadi destinasi wisata kelas wahid.
Salah satu penginapan termewah saat itu adalah Pertamina Cottage, yang terletak di sisi utara Bandara Ngurah Rai dengan hanya ada 46 kamar. Pertamina Cottage tentu saja habis dipesan untuk Munas II Golkar.
Namun, untuk menghindari tuduhan pilih kasih, panitia Munas II memutuskan Pertamina Cottage, Bali, diperuntukkan bagi peserta Munas dari daerah paling pelosok di Indonesia. Kebijakan itu jitu. Peserta Munas tidak berani memprotes kebijakan tersebut.
Ketika Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar dimajuka demi kehadiran Presiden Joko Widodo pada tanggal 15-17 Mei 2016 di Nusa Dua, Bali; maka kini tidak lagi ada kendala berarti soal akomodasi maupun transportasi.
Walau diprediksi kehadiran sekitar 1.500 kader Golkar dalam forum pengambilan keputusan tertinggi di internal partai berlambang beringin itu, namun hal itu bukan masalah besar.
Di kawasan Nusa Dua, Bali, kini tersedia 4.500 kamar hotel. Seluruhnya kamar hotel bintang lima sehingga tidak perlu ada peserta Munas yang merasa iri hati. Ada sebuah ruang pertemuan di Nusa Dua yang bahkan dapat menampung 5.000 orang sekaligus.
Dulu, ada pula masanya ketika Golkar didukung penuh penguasa. Ada masanya ketika sebuah rezim pemerintahan mendukung penuh Golkar. Urusan logistik Musyawarah Nasional akhirnya menjadi hal mudah. Tidak pula ada perdebatan hingga ranah publik terkait pembiayaan Munas Golkar di masa silam terkecuali seruan penghematan. Singkat kata, Munas pasti beres!
Justru pergerakan masif peserta Munas Golkar di masa silam sempat mengganggu masyarakat. Menjelang Munas Golkar I di Surabaya, Kompas, Kamis (6/9/1973) melaporkan peserta Munas yang memenuhi rangkaian kereta Bima dan Mutiara. Pada masa itu, perjalanan dengan kereta api malam masih menjadi tulang punggung transportasi di Jawa.
Akibat kereta api malam dinaiki oleh ribuan peserta Munas Golkar I, maka PT Kereta Api Indonesia sempat menolak penumpang umum. Masyarakat yang tetap bersikeras pergi ke Surabaya akhirnya diarahkan naik Kereta Gaya Baru dari Stasiun Senen menuju Gubeng.
Seusai Munas II Golkar di Bali pada bulan Oktober 1978, para peserta Munas juga banyak yang tidak dapat langsung terbang menuju ke Jakarta. Akhirnya, sebagian peserta Munas harus lebih dulu jalan darat menuju Surabaya baru terbang ke Jakarta.
Urusan logistik untuk mempersiapkan Munas Golkar, sekali lagi, dulu tidak sulit. Kompas, Rabu (16/6/1971) melaporkan makan bersama antara Golkar, pengusaha nasional, dan para teknokrat menghasilkan uang Rp 100 juta bagi Golkar.
Menurut Amaluddin Gani, Sekretaris Jenderal Kamar Dagang Indonesia, sokongan dana diberikan bagi Golkar oleh karena Golkar merupakan golongan yang lebih menjamin perkembangan ekonomi termasuk didalamnya pengusaha nasional.
Uang Rp 100 juta itu besar di tahun 1971. Bila kita membandingkannya dengan kasar, dengan digunakan parameter ongkos bus kota. Ketika itu ongkos bus kota hanya Rp 10, bila dibandingkan tarif bus kota saat itu dengan tarif bus transjakarta saat ini, maka didapat kira-kira dana yang terkumpul saat makan bersama itu sebesar Rp 35 miliar.
Itu pun hanya jamuan makan bersama yang terekam oleh media. Ketika itu, patut diduga ada sumbangan-sumbangan langsung dari pengusaha ke Golkar. Dulu dalam penyelenggaraan Munas Golkar sempat pula beken istilah SHU alias Sisa Hasil Usaha, yang didapat dari penggalangan dana Munas Golkar.
Urusan dana Munaslub Golkar kini kembali mengemuka setelah para calon ketua umum diminta berkontribusi masing-masing sebesar Rp 1 miliar. Bila ada delapan calon ketua, umum maka terkumpul dana Rp 8 miliar.
Hal-ihwal iuran sebesar Rp 1 miliar akhirnya menjadi tidak mengikat. Artinya, bakal calon ketua umum tetap lolos verifikasi meski tidak menyumbang.
Sebelumnya, Panitia Pengarah berkonsultasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi oleh karena ada calon ketum Partai Golkar yang masih menjabat sehingga jangan sampai akhirnya terjerat oleh hukum setelah menyumbang untuk Munaslub.
Seandainya calon ketum Partai Golkar jadi mengumpulkan iuran, sesungguhnya masih ada selisih kebutuhan dana yang harus ditutupi. Pasalnya, total kebutuhan dana untuk Munaslub Golkar diprediksi mencapai Rp 50,7 miliar.
Kebutuhan dana pada akhirnya akan ditutup oleh pengurus partai, panitia Munaslub, dan kader Golkar lainnya.
Mengapa harus iuran? Ada pendapat beban pendanaan Munaslub jangan ditanggung oleh satu pihak karena dapat mengarahkan dukungan kader ke satu atau dua calon tertentu. Jadi, ada harapan supaya Munas Golkar lebih fair, adil.
Dihubungi Senin (2/5/2016) fungsionaris Partai Golkar Hajriyanto Thohari mengatakan, bila jadi dilaksanakan maka iuran dari para calon ketua umum lumayan untuk menampilkan semangat kebersamaan. “Ya, setidaknya simbolis lah,” ujar Hajriyanto, sambil tertawa.
Namun Hajriyanto justru mempertanyakan efektivitas hal tersebut. “Saya tidak tahu apakah akan efektif? Kan jumlahnya terlalu kecil. Patungan itu jauh dari mencukupi bila dilihat dari biaya Munas yang hampir lima puluh miliar rupiah,” katanya.
Bila urusan dana tidak jelas, kata Hajriyanto, jelas sangat sulit mencegah politik uang. “Mungkin kemampuan mendistribusikan “gizi” di partai politik lain hanya setali tiga uang saja. Tetapi di Partai Golkar kemampuan itu sangat fenomenal,” kata Hajriyanto.
Hajriyanto sempat mengingatkan, bila Partai Golkar sebagai partai politik tidak mempunyai cadangan dana, maka sebaiknya menggelar Munaslub di tempat-tempat yang sederhana. Tidak di hotel-hotel berbintang lima, seperti yang biasa dilakukan oleh Partai Golkar.
Sejumlah lokasi yang lebih murah diantaranya adalah, asrama haji di berbagai kota di Indonesia. Atau, sejumlah balai diklat milik instansi-instansi pemerintahan. Dengan memilih untuk menggelar Munaslub di tempat sederhana, Hajriyanto yakin potensi politik uang akan berkurang. Meski tampaknya, saran Hajriyanto tidak digubris sama sekali.
Terkait kebutuhan dana yang besar, sebagian kader muda Partai Golkar sejak awal bulan April 2016 telah menginisiasi pengumpulan dana bagi Munas Golkar. Dana yang dikumpulkan jelas tidak mungkin mencukupi kebutuhan dana bagi Munaslub namun bagi kader muda setidaknya Munaslub Golkar tidak lagi dapat diklaim milik satu pihak tertentu.
Tepat di kantor DPP Golkar di Slipi Jaya, Jakarta Barat, sempat dibuka stan untuk menghimpun dana patungan. Tidak seluruh kader Golkar yang melintas menyumbang. Namun, setidaknya pernah ada rencana alternatif untuk menghimpun dana bagi Munaslub.
Tidak dipungkiri, kader-kader Partai Golkar yang telah berkuasa sejak puluhan tahun silam, adalah orang-orang berduit. Ada satu, dua kader Partai Golkar yang mungkin dapat mendanai Munaslub tetapi tetap saja itu atas nama individu, bukan atas nama partai.
Mengapa persoalan dana di dalam internal parpol mengemuka? Menurut kader muda Partai Golkar Andi Sinulingga, selama belum ada kejelasan dari negara untuk mendanai partai politik, maka sulit mencegah politik uang di dalam tubuh partai. “Idealnya, partai sebesar Golkar harus mempunyai uang kas sendiri. Tetapi, apakah ada?” ujarnya.
Ketidakmampuan partai untuk “menghidupi” dirinya sendiri, kata Andi, tergambar dari berbondong-bondongnya parpol untuk masuk koalisi pemerintah. Partai mana pun yang bersikeras menjadi oposisi atau bahasa halusnya menjadi penyeimbang pemerintah, harus bersiap diri untuk “puasa” dari sumber-sumber daya apapun.
Mencari dana bagi parpol, jujur saja tidak terlalu sulit. Selalu tersedia dana dari pihak-pihak ketiga. Namun persoalannya, pendanaan untuk parpol melalui jalur-jalur informal tersebut tidak jarang menuntut “pengembalian”.
Dalam bahasa Andi, tidak jarang akhirnya terjadi praktek “ijon” dari pihak ketiga sebagai penyumbang partai tetapi kemudian anggaran negara yang menjadi “korban”. “Menurut saya, memang harus ada subsidi dana parpol yang signifikan dari negara. Itu bila menginginkan menghilangnya sumber-sumber dana tidak halal,” katanya.
Yang menarik, Kompas, Rabu (11/8/1971) pernah memuat Surat Keputusan Ketua Umum Sekretaris Bersama Golkar Nomor 107/ Sekber/ 1971 tertanggal 2 Agustus 1971. Ditandatangani oleh Ketua Umum Sekber Golkar Letdjen S Sokowati, SK itu berisi seruan bagi seluruh organisasi anggota Golkar dan unsur-unsur Golkar di tingkat pusat maupun di daerah untuk tidak mengadakan permintaan sumbangan bantuan maupun fasilitas-fasilitas lain dari instansi pemerintah, swasta, dan badan-badan hukum lainnya atas nama Golkar.
Apabila permintaan dana itu sangat diperlukan, menurut SK Ketua Umum Sekber Golkar, dapat dilakukan meski harus dengan persetujuan tertulis dari Sekjen Golkar Pusat. SK itu luar biasa. Persetujuan bahkan harus dengan persetujuan tertulis!
SK itu tidak main-main. Ketika Golkar baru mulai berdiri, terlihat hasrat DPP Golkar untuk memastikan organisasi golongan yang bersih. SK Nomor 107 itu terbit ketika Golkar baru saja keluar sebagai pemenang Pemilu yang digelar tanggal 5 Juli 1971.
Sayangnya, puluhan tahun telah berlalu, dan partai-partai ternyata tidak juga mendewasakan diri. Dari kasus suap proyek jalan di Maluku misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi kini sedang menyelidiki apakah ada aliran-aliran dana untuk keperluan kampanye saat pilkada.
Beberapa hari mendatang, tampaknya urusan Partai Golkar akan kembali mengemuka dan mendapat panggung di negeri ini. Tiap calon ketua umum diprediksi akan meluncurkan jurus-jurus untuk memperlihatkan kepantasan mereka dalam memimpin Partai Golkar.
Positifnya, Munas Golkar tidak hanya menghadirkan calon ketua umum tunggal yang kemudian hanya menanti aklamasi. Sebelumnya, paskareformasi, sejarah baru tercipta saat hanya ada calon tunggal Ketua Umum pada Musyawarah Nasional IX 2014 di Bali.
Setelah politisi Golkar Airlangga Hartarto mengundurkan diri, Senin (1/12/2014) malam, akhirnya hanya tersisa Aburizal Bakrie, calon tunggal Ketua Umum Golkar (2009-2014). Aburizal Bakrie pun kembali menjadi Ketum Partai Golkar setelah 543 suara dari total 543 suara mendukung dirinya.
Tentu saja, tidak ada yang salah dengan hanya adanya calon tunggal Ketua Umum Partai Golkar. Namun, sungguh merisaukan ketika tidak ada calon-calon Ketua Umum lain. Sungguhkah tidak ada lagi kader Golkar yang berkeinginan memimpin untuk memajukan Partai Golkar?
Untung saja, Munaslub kali ini disemarakkan sejumlah calon ketua umum Partai Golkar. Pada hari Sabtu (7/5/2016), panitia Munaslub telah menetapkan delapan bakal calon ketua umum yakni Ade Komarudin, Airlangga Hartanto, Aziz Syamsuddin, Indra Bambang Utoyo, Mahyudin, Priyo Budi Santoso, Setya Novanto, dan Syahrul Yasin Limpo.
Para kader itu tentu sadar bahwa kali ini harus memenuhi sedikitnya 18 poin persyaratan untuk menjadi bakal calon ketua umum Partai Golkar. Beberapa dari persyaratan itu bahkan harus diperkuat dengan dasar legalitas seperti copy surat keputusan.
Tiap bakal calon ketum Partai Golkar misalnya, harus pernah menjadi Pengurus Partai Golkar Tingkat Pusat dan/atau sekurang-kurangnya pernah menjadi Pengurus Partai Golkar Tingkat Provinsi dan/atau pernah menjadi Pengurus Pusat Pendiri dan Ormas yang Didirikan Golkar selama satu periode penuh. Hal itu harus dibuktikan dengan copy surat keputusan.
Bakal calon ketum Partai Golkar itu, juga harus pernah mengikuti pendidikan dan latihan kader. Hal ini juga harus dibuktikan dengan kopi sertifikat. Tegasnya, memang hanya kader Golkar yang dapat mengikuti pertarungan perebutan posisi ketua umum.
Persyaratan yang juga tidak terlihat pada Munas sebelumnya adalah, kewajiban untuk menyerahkan laporan pajak terakhir dari Kantor Pajak, serta laporan harta kekayaan pejabat negara. Yang menjadi pertanyaan justru apakah yang akan dilakukan oleh Panitia Penyelenggara Munas? Apakah hendak menginvestigasi ataukah justru prasyarat itu sekadar formalitas?
Munaslub Golkar 2016 ini sungguh berbeda. Tiap bakal calon ketua umum harus mengikuti sosialisasi dan kampanye di seluruh zona yang ditetapkan oleh Komite Sosialisasi dan Kampanye Munaslub Partai Golkar.
Sekretaris Panitia Pengarah Munaslub Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa bahkan menjanjikan pertarungan kursi Golkar 1 yang berkualitas. “Proses yang ketat ini demi Golkar dan bangsa negara,” ujar Agun.
Tentu saja, Agun tidak dapat memastikan ketua umum terpilih yang paling berkualitas diantara kader Golkar yang mencalonkan diri. Namun setidaknya, proses perebutan kursi utama di Golkar telah didesain sedemikian rupa.
Ada partai-partai lain yang mengaku reformis namun justru tidak menampilkan kompetisi bagi jabatan ketua umum. Ada partai-partai yang ketua umumnya adalah seolah partai itu sendiri.
Kader muda Partai Golkar Melki Laka Lena mengapresiasi tradisi untuk menyampaikan visi misi. Salah satu prasyarat calon ketua umum Golkar juga dengan menyerahkan pokok-pokok pikiran untuk membangun Partai Golkar ke depan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Partai Politik.
Untuk itu, kata Agun, tema dari debat antarcalon Ketua Partai Golkar adalah tentang peran dan fungsi partai dalam membangun bangsa dan negara. Kemudian, para calon ketua umum juga diminta untuk menjabarkan langkah-langkah untuk mengimplementasikan visi negara 2045, visi Golkar yang disusun pada era Aburizal Bakrie.
Terakhir, para calon ketua umum diminta untuk memaparkan strategi untuk memenangkan Partai Golkar saat menghadapi pilkada serentak 2017 dan pemilu 2019. Pemaparan untuk tema pemenangan ini yang tampaknya akan menarik bagi kader di daerah.
Puncak dari adu visi misi ini adalah tampilnya para calon ketua umum Partai Golkar di acara debat yang disiarkan langsung oleh TV One. Ini menarik sekali bila terlaksana. Sebelumnya, warga negeri ini hanya melihat debat kandidat menjelang pemilu. Tidak pernah sebelumnya ada debat calon ketua umum parpol yang disiarkan langsung di televisi.
Acara debat itu tentu saja menjadi menarik bila diikuti oleh lebih banyak calon ketua umum. Tidak pula ada tempat bagi hanya satu calon ketua umum sebab yang nantinya terjadi bukanlah debat antarcalon tetapi seumpama pentas monolog.
Bakal calon Ketua Umum Partai Golkar Priyo Budi Santoso, dihubungi Selasa (3/5/2016) malam, mengaku siap untuk berdebat dengan calon ketua umum lainnya. “Saya siap beradu gagasan besar dengan calon lain,” ujar Priyo, Wakil Ketua DPR RI (2009-2014).
Priyo mengaku siap mengikuti aturan main dalam Munaslub Golkar. “Saya maju juga karena banyak dukungan dari daerah,” katanya. Priyo juga tidak mempermasalahkan ketika akhirnya Munaslub digelar seminggu lebih cepat.
Dalam dunia perpolitikan di Indonesia, fenomena calon tunggal dan aklamasi akhir-akhir ini terjadi tiap pergantian kepemimpinan. Terakhir, dalam Forum Muktamar VIII PPP di Jakarta, Romahurmuziy terpilih lagi sebagai ketua umum melalui musyawarah mufakat atau aklamasi.
Romahurmuziy, pada Muktamar Partai Persatuan Pembangunan Surabaya pada 16 Oktober 2014, juga dipilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum PPP. Tidak ada calon ketua umum lain yang dapat mengimbangi Romi dalam pemilihan PPP Muktamar Surabaya.
Muktamar PPP versi Suryadharma Ali pada hari Jumat, 31 Oktober 2014, juga secara aklamasi menetapkan Djan Faridz menjadi Ketua Umum PPP menggantikan Suryadharma Ali.
Sebelumnya, pada hari Senin, 1 September 2014 misalnya, Muhaimin Iskandar juga kembali terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa dalam Muktamar PKB di Surabaya.
Aklamasi jelas bagian dari proses demokrasi. Akan tetapi, seandainya ada lebih dari satu calon Ketua Umum boleh jadi ada manfaat ekstra bagi partai itu sendiri. Tiap calon Ketua Umum akan beradu program. Makin sempurna persaingan, jelas makin meningkatkan mutu dari kandidat ketua umum parpol.
Bilamana persaingan itu belum tentu sempurna, setidaknya ada janji-janji yang pernah dilontarkan sehingga dapat ditagih suatu hari nanti. Debat calon ketua umum parpol di sebuah stasiun televisi jelas sangat menarik. Warga pemilih jadi tahu seperi apa sosok calon-calon ketua umum dari sebuah parpol.
Calon-calon ketua umum juga harus serius mempersiapkan diri. Yang dipertaruhkan bukan saja citra dirinya tetapi juga citra Partai Golkar!
Mengapa? Karena tidak boleh dilupakan bahwa Munaslub kali ini tidak boleh dipandang hanya untuk mempersatukan segenap kader partai. Tidak boleh sekadar digelar untuk menyingkirkan pengurus lama.
Masa depan Partai Golkar terletak pada penyelenggaraan Munaslub ini. Citra Golkar juga akan ditakar dari kualitas pemimpin tertinggi yang akan dipilih oleh para kadernya. Partai Golkar tegasnya, harus benar-benar serius dalam memilih pemimpinnya.
Siapa pun pemimpin terpilih juga nantinya harus memasukkan kader muda di dalam “kabinetnya”. Apalagi, faktanya usia pemilih di negeri ini semakin muda. Di masa mendatang, jelas tidak lagi pemilih-pemilih tua yang setia sepenuhnya pada Golkar.
Ketua Umum terpilih juga sebaiknya menggandeng kader Golkar yang punya citra positif di eksternal partai untuk menjadi seorang sekretaris jenderal. Terkait usia pemilih yang makin muda, sosok sekjen tersebut sebaiknya mampu keluar masuk kampus untuk menggaet calon kader.
Partai Golkar tidak perlu risau kekurangan stok kader dengan kualifikasi seperti itu. Setidaknya, Golkar mempunyai stok kader seperti Hajriyanto Thohari, atau Andi Sinulingga.
Hajriyanto pernah terlibat dalam penulisan buku berjudul “Beringin Membangun, Sejarah Politik Partai Golkar” (2012). Sementara itu, Andi Sinulingga menulis buku berjudul “Pecah Belah Partai Golkar, Dinamika Konflik Golkar Paska Orde Baru” (2015).
Seandainya Partai Golkar berhasil memilih pemimpin terbaik pun bukan berarti partai ini lantas boleh berleha-leha. Mesin partai harus senantiasa dipanaskan untuk menghadapi pilkada serentak di tahun 2017.
Ingatlah, betapa partai lain seperti PDI-P dan Nasdem telah terlebih dahulu menghidupkan mesin partai mereka. Ingatlah betapa sebagai partai pemenang Pemilu 2014, partai-partai lain berada di atas angin dengan penguasaan terhadap sumber-sumber daya tertentu.
Memilih ketua umum yang tepat jelas membuka peluang bagi Partai Golkar untuk menempatkan kadernya dalam kontestasi kursi kepresidenan. Ini yang harus dipikirkan baik-baik oleh segenap kader yakni apakah nantinya ketua umum terpilih layak melaju ke kursi kepresidenan?
Tentu saja, menjadi Ketum Partai Golkar tidak otomatis mendapat tiket untuk melaju pada Pemilu 2019. Tahun 2004, Akbar Tandjung pernah meluncurkan konvensi untuk calon presiden sehingga konvensi sebaiknya kembali digelar. Meski Megawati adalah Ketum PDI-P, toh tiket untuk melaju ke Merdeka Utara diserahkan ke Joko Widodo.
Namun jelas tidak ada salahnya bila kader Golkar menimbang figur calon ketua umum dengan mempertimbangkan perhelatan-perhelatan politik ke depan.
Selain adanya pilkada serentak tahun 2017, pada tahun 2019, Indonesia juga akan menggelar pemilu langsung secara serentak. Nah, salah satu kunci pemenangan pada pemilu langsung secara serentak adalah hadirnya figur berkarakter kuat. Figur yang laku “dijual” di hadapan rakyat.
Jadi, lucu juga bila ternyata calon ketua umum yang tampil paling buruk dalam debat publik ternyata terpilih menjadi ketua umum Partai Golkar terpilih. Publik dapat mencemooh Golkar.
Dan, Golkar akhirnya tidak merebut simpati maksimal. Sia-sia pula perjalanan hidup Golkar selama 1,5 tahun belakangan untuk merajut kembali persatuan. Jangan sampai pula perjuangan selama 1,5 tahun berakhir tragis ketika akhirnya partai ini harus “gigit jari” dan menghadapi masa depan yang suram....
Produser: Nasru Alam Aziz, Prasetyo Eko Prihananto | Penulis: Haryo Damardono | Foto dan Video: Alif Ichwan, Agus Susanto, Dudy Sudibyo, Ferganata Indra Riatmoko, Heru Sri Kumoro, Julian Sihombing, Julius Pour, Lasti Kurnia, Priyombodo, RB Sugiantoro, Timbuktu Harthana, Wawan H Prabowo, Wisnu Widiantoro, Yuniadhi Agung, Zaenal Efendi | Desainer & Pengembang: Pandu Lazuardy, Reza Fikri Aulia, Yosef Yudha Wijaya
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.