Di ranah alat musik Nusantara, gamelan bali adalah sebuah fenomena. Dia terus hidup dan lestari di tengah masyarakatnya, menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Bali. Hal ini antara lain karena sifat gamelan bali yang selalu terbuka pada pembaruan sebagaimana sifat masyarakat Bali yang selalu terbuka pada dunia luar. Tidak stagnan.
Di pulau dewata Bali, gamelan biasa ditampilkan dalam berbagai kepentingan. Sebagian besar dimainkan untuk mengiringi pertunjukan kesenian, seperti tari, drama, dan teater. Sebagian lagi untuk mengiringi upacara ritual atau sebagai sajian instrumentalia.
Berdasarkan latar belakang sejarahnya, gamelan yang ada di Bali tersebut dikelompokkan menjadi tiga, yaitu gamelan tua, gamelan madya, dan gamelan baru.
Budayawan Bali, I Wayan Dibia, mengatakan, gamelan tua adalah gamelan yang lahir sebelum abad XV. Secara fisik, perangkat-perangkat gamelan yang terdapat dalam kelompok gamelan tua berukuran kecil. Sementara secara musikal, gamelan tua didominasi permainan alat-alat yang berbentuk bilahan, seperti gambang, caruk, genggong, selonding, gong luwang, gong bheri, gender wayang, angklung, bebonangan, dan balaganjur.
Gamelan Bali memiliki instrumen berbilah yang disebut Gangsa. Keluarga gangsa beranggotakan enam jenis instrumen berbilah dan berpasangan. Mainkan contoh musiknya, lalu gunakan keyboard atau klik pada gambar bilah untuk memainkan irama gangsa pengugal!
Gamelan madya adalah gamelan yang lahir antara abad XV dan abad XIX. Secara fisik, perangkat gamelan madya sudah lebih besar daripada perangkat gamelan tua. Sementara secara musikal, musik-musik yang dihasilkan oleh kelompok gamelan madya ini sudah diwarnai permainan alat-alat berbilah dan berpencon. Yang termasuk dalam kategori gamelan madya adalah gamelan pagambuhan, semar pagulingan, gong gede, batel barong, bebarongan, pelehongan, jogged pingitan, dan gong degdog.
Gamelan baru adalah gamelan yang lahir pada abad XX dan sesudahnya. Secara fisik, perangkat-perangkat alat musik pada gamelan baru sudah jauh lebih besar ketimbang gamelan madya. Adapun secara musikal, musik-musik yang dihasilkan gamelan baru sudah mulai didominasi permainan kendang dengan tetap mengedepankan permainan alat-alat berbilah dan berpencon.
Gamelan-gamelan yang masuk kategori gamelan baru antara lain gamelan joged bumbung, jegog, bumbung gebyog, kendang mabarung, gamelan geguntangan, gamelan gong kebyar, gamelan janger, gong suling, dan tektekan.
Pengelompokan gamelan di Bali, sebagaimana disebutkan Dibia, tampaknya telah mencapai kesepakatan. Sejumlah praktisi seni lainnya, di antaranya Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar I Gede Arya Sugiartha dan pelaku gamelan kontemporer, I Wayan Sudirana, juga menyatakan pendapat yang sama mengenai pengelompokan gamelan bali.
Bali memiliki sedikitnya 30 jenis barungan (ansambel) gamelan yang masih aktif dimainkan. Muncul pada 1915, gong kebyar merupakan jenis barungan modern dan kini menjadi yang paling populer. Dimainkan lebih dari 25 orang, gong kebyar termasuk barungan ageng atau terbesar dari tiga kelompok ukuran barungan.
Instrumen gamelan yang berpasangan dibedakan menjadi lanang dan wadon, atau lelaki dan perempuan. Peran masing-masing “jenis kelamin” adalah memainkan not polos atau not sangsih. Kombinasi permainan polos dan sangsih menciptakan efek kebyar: keras, cepat, dan berkaitan.
Sifat gamelan bali yang dinamis terus mencari pembaruan menjadi kunci bagi pengembangan gamelan bali. Inilah yang menyebabkan gamelan bali terus eksis dan mendapat tempat di tengah masyarakatnya. Bukannya mati, gamelan bali justru terus menemukan bentuk baru, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan terus aktual dengan zaman.
Saat ini, salah satu jenis gamelan baru yang sangat populer di Bali adalah gong kebyar. Hampir setiap sekolah, perguruan tinggi, dan kantor pemerintahan memiliki gamelan gong kebyar. Begitu juga dengan banjar-banjar yang ada di Bali.
Malahan, gamelan bali tak lagi hanya dimainkan pengrawit laki-laki. Belakangan gong kebyar juga dimainkan pengrawit anak dan wanita.
Gede dari Banjar Jambe Belodan, Tabanan, Bali, mengatakan, saat ini gong kebyar wanita sedang menjadi tren. Banyak ibu dan remaja putri yang berminat memainkan gamelan.
”Kecenderungan itu sudah mulai terjadi sekitar 5 tahun terakhir. Salah satu alasannya karena popularitas gong kebyar tersebut,” katanya. Di Banjar Jambe Belodan, biasanya para wanita pengrawit gong kebyar berlatih setiap Senin dan Jumat pukul 19.00 waktu setempat.
Dalam sejarahnya, sebagaimana tertulis di Babad Bali, gong kebyar diperkirakan muncul di Singaraja pada tahun 1915. Desa yang sebut-sebut sebagai asal pemunculan Gong Kebyar adalah Jagaraga (Buleleng), yang juga memulai tradisi tari kebyar. Ada juga informasi yang menyebutkan bahwa gong kebyar muncul pertama kali di Desa Bungkulan (Buleleng).
Perkembangan gong kebyar mencapai salah satu puncaknya pada tahun 1925 dengan datangnya seorang penari jauk yang bernama I Ketut Mario dari Tabanan yang menciptakan tari kebyar duduk atau kebyar terompong. Dinamakan gong kebyar karena saat ditabuh untuk pertama kali menyebabkan kekagetan luar biasa.
Masyarakat menjadi tercengang dan ternak sapi yang sedang diikatkan di ladang dan di kandangnya terlepas dan lari tunggang langgang. Hal ini dikarenakan gong kebyar merupakan tabuhan bersama dan serentak yang diikuti hampir semua tungguhan pada perangkatnya, kecuali tungguhan suling, kajar, rebab, kempul, bebende kemong, dan terompong.
Selain untuk mengiringi tari-tarian dan memainkan tabuh-tabuh kebyar, gong kebyar juga digunakan untuk memainkan tabuh-tabuh lelambatan untuk mengiringi upacara adat dan agama. Saat mengiringi tari-tarian ataupun tabuh petegak (instrumental), nuansa gong kebyar sangat dinamis, keras. Harapannya, mampu membangkitkan semangat.
Dalam perkembangannya saat ini, muncul istilah gong kebyar gaya Bali Utara dan gaya Bali Selatan. Sebagai gambaran daerah atau kabupaten yang termasuk daerah Bali Utara hanyalah Kabupaten Buleleng. Adapun Kabupaten Badung, Tabanan, dan lainnya mengambil gaya Bali Selatan. Penggunaan gong kebyar di setiap daerah sebelumnya selalu berbeda karena disesuaikan dengan kebutuhan ataupun fungsinya.
Seiring popularitas gong kebyar, industri gamelan bali pun terus tumbuh. Di Tihingan, Klungkung yang merupakan desa para perajin gamelan, setiap hari berbagai perangkat gamelan diproduksi. Tercatat, ada sekitar 60 kepala keluarga yang hidup dari pembuatan gamelan bali.
Dari Tihingan, produksi perangkat gamelan bali juga merambah ke beberapa tempat di Bali. Salah satunya di Blahbatuh, Gianyar. Salah satu perusahaan gamelan yang cukup besar, Sidha Karya, menjadi semacam showroom yang menyediakan berbagai perangkat gamelan bali.
Seperangkat gamelan bali dijual dengan harga Rp 200 juta-Rp 600 juta. Tidak hanya untuk memenuhi pasar Bali atau dalam negeri, tetapi juga pasar luar negeri, seperti Inggris, Jerman, Australia, Jepang, Kanada, dan India. Sebaran gamelan bali di luar negeri diperkirakan paling banyak di Amerika Serikat.
Kelompok gamelan asal California, Sekar Jaya; Giri Mekar di New York; dan Sekar Jepun di Tokyo, Jepang, adalah beberapa kelompok gamelan yang hingga kini aktif memainkan gamelan bali.
Di luar perkembangan gong kebyar yang makin pesat di Bali, beberapa seniman muda Bali saat ini juga terus mengembangkan gamelan dalam ranah yang makin inovatif (kontemporer/modern). Beberapa di antaranya yang dilakukan Dewa Alit dengan kelompok gamelan Selukatnya serta Wayan Sudirana.
Meski jalan untuk pembaruan tidak selalu mudah, sebagaimana diungkapkan Sudirana, melalui upaya-upaya semacam itu, gamelan bali berpeluang untuk terus relevan dengan zaman. Dengan demikian, gamelan bali akan terus menemukan bentuk barunya, tak pernah mati.
Penulis: Dwi AS Setianingsih | Fotografer: Wisnu Widiantoro | Videografer: Danial Ade Kurniawan | Penyelaras Bahasa: Lucia Dwi Puspita Sari | Infografik: Septa Inigopatria | Desainer dan Pengembang: Rafni Amanda, Yulius Giann | Produser: Haryo Damardono, Prasetyo Eko Prihananto
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.