Memuat Halaman

preload sprite sheet preload sprite sheet
Gelora Jazz yang Tak Lekang oleh Zaman
Eksplorasi musik jazz lebih dalam dengan Tutur Visual edisi ini.
Kesan jaz sebagai musik kaum elite, eksklusif, atau musiknya orang kaya, hingga kini tidak juga pupus. Padahal, dalam perkembangannya, musik ini sangat dipengaruhi oleh para budak asal Afrika Barat yang bekerja di Amerika Serikat (AS).
Musik ini bak katup pelepasan ekspresi mereka dalam menjalani hidup sehari-hari yang keras. Nah, sebelum kita lanjut membahas musik jaz, termasuk perkembangannya di Tanah Air, kita mainkan dulu yuk kuisnya, yang akan menguji seberapa kenal kamu dengan para musisi dan lagu-lagu jaz populer.
Musik jazz atau jaz terkesan hanya dinikmati dan diperuntukkan bagi kaum borjuis. Padahal, perkembangan musik yang lebih banyak mengedepankan improvisasi ini awalnya justru dikembangkan oleh para budak Afrika yang bekerja di AS.
Musik jaz melebur kuat dalam keseharian mereka. Jaz menjadi saluran mereka untuk mengungkapkan beragam bentuk emosi yang dirasakan. Rasanya semua hal pantas dirayakan dalam paduan ritme dan harmoni.
Jaz merupakan peleburan dari beragam jenis musik, seperti ritme khas Afrika, ragtime, blues, brass-band, dan instrumen Eropa. Jaz tak berpaku pada aturan tertentu. Kelenturan ini yang mendorong terlahirnya beragam ’aliran’ dalam jaz, antara lain swing, dixieland, bebop, cool jazz, hard bop, latin jazz, dan fusion.
Bisa dikatakan, musik jaz adalah ”melting pot” atau bejana tempat meleburnya beragam ekspresi, tradisi, dan budaya dari berbagai belahan dunia. Jaz memang berkembang pesat di AS, tetapi melodi dan harmoninya didominasi oleh musik Eropa. Sementara irama atau ritmenya dipengaruhi tradisi Afrika. Unsur-unsur ini memiliki kedudukan penting dalam perkembangan musik jaz.
Jika diperhatikan, setiap pemain memiliki kekhasan sendiri dalam sentuhan ritme, seperti caranya mempertahankan ketukan atau pengulangan yang terus-menerus. Kebebasan berimprovisasi ini yang dijunjung dalam musik jaz. Namun, lebih dari itu, jaz merupakan bentuk ekspresi kebebasan dari perbudakan yang dirasakan kaum kulit hitam di Amerika.
Perkembangan jaz tak lepas dari pengaruh tradisi masyarakat Afrika Barat yang dibawa oleh para budak ke sejumlah wilayah di AS. Dalam buku Jazz: History, Instruments, Musicians, Recordings (1993), pemerhati musik jazz, John Fordham, menjelaskan, awal kemunculan musik ini diduga berasal dari sejumlah acara dan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Afrika Barat, seperti teriakan nyaring (ring shouts) dari pertemuan keagamaan pada akhir tahun 1700-an, yel-yel penyemangat kerja (work song) di lapangan, pertunjukan penyanyi keliling, upacara keagamaan, hingga pemujaan leluhur (ancestor worship).
New Orleans, salah satu kota di Negara Bagian Louisiana, AS, disebut Fordham sebagai tempat lahirnya musik jaz. Perkembangan industri pada awal abad ke-19 mendorong kedatangan tenaga kerja dari luar wilayah, terutama para budak asal Afrika Barat.
Seiring waktu terjadi pertukaran budaya dan tradisi yang dibawa oleh mereka dengan warga lokal melalui perkumpulan atau komunitas yang tersebar di kota itu. Mereka berkumpul untuk bernyanyi dan bermain musik dengan ritme khas daerah asalnya, serta memadukan dengan melodi dan harmoni gaya Eropa.  
Iklim dan lingkungan yang baik tentu mendorong perkembangan musik jaz. Tak heran banyak musisi hebat lahir dari rahim kota tersebut, antara lain Louis Daniel Armstrong (1898-1971), Sidney Bechet (1897-1959), dan Freddie Keppard (1890-1933).
Berkat penampilan dari para musisi dan kelompok musik jaz asal New Orleans dari panggung ke panggung, kepopuleran jaz kian menyebar ke sejumlah negara bagian di AS.
Seiring waktu, bermunculan para musisi jaz berbakat dari berbagai negara bagian AS dengan gaya bermusiknya yang berbeda-beda
${ item.year }
${ item.name }
Alat musik yang digunakan dalam jaz beragam, mulai dari alat tiup seperti kornet, saksofon, trompet, trombon, dan klarinet, hingga piano, biola, selo, bas, gitar, dan perkusi.
Lantas bagaimana musik jaz bisa sampai di Indonesia?
Pengamat musik Indonesia, Denny Sakrie (1963-2015), dalam buku 100 Tahun Musik Indonesia(2015), menyebutkan, keberadaan musik jaz diprediksi telah ada sejak 1920-an. Kala itu, jaz hanya dinikmati oleh kaum elite dan menjadi sarana untuk menjalin hubungan sosial antara para priayi pribumi dan bangsawan kolonial.
Biasanya musisi jaz berkeliling dari kafe ke kafe dan hotel berbintang. Para penikmatnya tentu saja golongan borjuis. Mungkin hal itulah yang membuat jaz terkesan eksklusif dan tidak dikenal banyak orang. Bisa jadi penilaian ini hanya di permukaan jika belum sepenuhnya mengenal musik jaz.
Pesona musik jaz Indonesia kian bersinar sekitar tahun 1960-an. Dalam artikel Kompas berjudul ”Sekelumit Kisah Jazz di Indonesia” yang terbit tahun 1979 disebutkan tak mudah bagi para musisi jaz Indonesia bertahan di negara sendiri. Mereka merasa kurang diapresiasi dan kesulitan mendapatkan pasar.
Sebelum tahun 1960 tak ada perusahaan rekaman yang berani memproduksi piringan hitam musisi jaz. Bahkan, jika ada, piringan hitam itu tak laku dijual.
Masih dalam tulisan yang sama, Jack Lesmana dan Bubi Chen, legenda jaz Indonesia, sampai berceletuk begini
"Di mana kita bisa main jaz?"
”Sungguh tak mungkin di Indonesia, sampai saat ini tak mungkin sama sekali. Tetapi, kami mesti main jaz. Sama pentingnya seperti kalau kami makan atau minum.”
Enggan menyerah, semangat mereka tetap bergelora dengan memilih go international. Tak main-main, prestasi gemilang berhasil diraih lewat kelompok The Indonesian All Stars yang beranggotakan Bubi Chen, Jack Lesmana, Jopi Chen, Maryono, dan Benny Mustafa.
Mereka lolos tiga besar ajang Festival Jazz se-Eropa di Dusseldorf, Jerman, tahun 1966. Bersama Tonny Scott, musisi jaz asal Amerika, mereka didapuk untuk rekaman piringan hitam album berjudul ”Djanger” di Black Forest Studio Georg Brunner-Schwer. Tak hanya itu, mereka juga menggelar konser ke sejumlah negara Eropa (Kompas, 10/6/1979).
Capaian ini mengantar musik jazz kian dikenal di Tanah Air. Kemunculan konser dan festival musik bernuansa jaz menjadi bukti nyata bahwa jenis musik ini ternyata bisa diterima.
Pada Mei 1967 digelar konser jaz di ballroom Hotel Indonesia, Jakarta, yang menghadirkan sejumlah musisi dan penyanyi ternama, antara lain The Indonesian all Stars, The Blue Notes, dan Mus Mualim CS. Selain menyanyikan lagu sendiri, mereka juga menampilkan lagu-lagu barat (Kompas, 25/5/1967).
Festival jaz di Tanah Air
Seiring waktu, jazz semakin dinikmati masyarakat Indonesia. Sekitar tahun 1970-an karya-karya musisi jaz Barat intens digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Tak sedikit penonton yang rela membayar tiket demi bisa menikmatinya.
Tak heran jika konser yang mengundang musisi jaz asal AS, Duke Ellington, di Istora Senayan Jakarta, tahun 1972, juga sangat diminati dan dinanti. Selain Jakarta, konser dan pertunjukan jaz juga digelar di beberapa daerah, seperti Bandung dan Surabaya.
Sejumlah kampus turut menggelar pertunjukan bertajuk musik jaz, yakni Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Indonesia (UI), seperti disebutkan Muhammad Mulyadi dalam buku Industri Musik Indonesia: Suatu Sejarah (2009).
Misalnya, pada tahun 1975 pergelaran jaz diadakan oleh ITB dalam rangkaian acara Dies Natalis. Tahun 1978 grup The Indonesian All Stars diundang untuk mengisi pertunjukan musik yang diselenggarakan oleh himpunan mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UI.
Peminat jaz di Indonesia tak terbatas pada kelompok tertentu saja, tetapi semakin meluas. Hingga kini perhelatan jaz masih menduduki posisi istimewa di tengah masyarakat.
Denyut eksistensinya bisa dirasakan lewat keberadaan festival jaz yang rutin digelar tahunan, antara lain Jakarta International Java Jazz Festival (Java Jazz), Ngayogjazz di Yogyakarta, Jazz Goes to Campus yang diselenggarakan UI, Prambanan Jazz di Candi Prambanan-Jawa Tengah, The International Kampoeng Jazz yang diselenggarakan BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jazz Gunung Bromo di Jawa Timur, Solo City Jazz di Kota Solo, dan Economics Jazz yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM.
Berbagai festival jaz lainnya juga pernah diselenggarakan di berbagai daerah, meskipun hanya sedikit yang bertahan, seperti Maratua Jazz and Dive Fiesta di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur, Jazz Gunung Ijen dan Banyuwangi Beach Jazz Festival, Maumere Jazz Fiesta di NTT, Jazz Atas Awan di kawasan Dieng, Jateng, dan ASEAN Jazz Festival di Batam.
Selain menonjolkan kualitas musik, pertunjukan jaz yang digelar di beberapa daerah juga bertujuan untuk mempromosikan keindahan destinasi pariwisata di daerah tersebut.
Pernahkah terbayang menyaksikan konser jaz dengan latar candi yang kaya akan nilai sejarah? Sensasi ini bisa didapatkan dalam acara Prambanan Jazz yang berlokasi di kompleks Candi Prambanan.
Pemandangan apik yang menjadi latar belakang konser menjadi daya tarik tersendiri. Ada pula Ngayogjazz yang diselenggarakan di desa-desa wisata di Yogyakarta secara bergiliran. Lagi, budaya lokal ingin ditonjolkan sembari menikmati alunan jaz.
Sebelum itu, pada 1988 muncul JakJazz yang bisa disebut sebagai pionir festival jaz di Tanah Air. Festival ini terakhir kali diselenggarakan 2014.
Dalam waktu dekat, akan digelar kembali Java Jazz pada 27 Mei-29 Mei 2022 di Jakarta International Expo, Jakarta.
Perhelatan besar ini pertama kali diselenggarakan tahun 2005 dengan jumlah penonton mencapai 48.000 orang.
Pada tahun 2020 ajang ini ditonton sekitar 120.000 orang atau hampir tiga kali lipat penonton tahun pertama. Penyelenggara mengundang banyak musisi dan penyanyi jaz kelas dunia setiap tahunnya. Tak ketinggalan, musisi dan penyanyi dalam negeri juga turut unjuk kebolehan. Ramai, menakjubkan, dan memikat!
Saksofon
Saksofon kerap digunakan sebagai ikon atau simbol dalam suatu acara pertunjukan musik jazz. Karakternya begitu kuat saat dimainkan sendiri ataupun dipadukan dengan instrumen lainnya. Alat tiup ini ditemukan Adolphone Sax pada tahun 1846 untuk keperluan militer. Seiring waktu, para musisi New Orleans menggeser peran trompet ke saksofon, yang kala itu berperan sebagai instrumen utama musik jazz. Saksofon terdiri atas beberapa jenis dan menghasilkan efek suara yang berbeda, yakni tenor, alto, bariton, dan sopran.
Kontrabas
Sekilas bentuk kontrabas (double bass) menyerupai selo dan biola, tetapi memiliki ukuran besar dan menghasilkan karakter nada yang lebih rendah. Kontrabas yang juga sering disebut bas betot ini bisa dimainkan dengan cara digesek ataupun dipetik. Suara bergema dan berat menjadi ciri khas alat musik ini. Keberadaannya dalam musik jazz untuk memperkuat ketukan atau ritme.