Kompas Kolintang dalam Rentang Pergaulan

Kolintang dalam
Rentang Pergaulan

GESER

Alat musik perkusi kulintang atau kolintang menjadi identitas kultural masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara. Berbeda dengan beberapa alat musik lain—sebutlah gamelan, yang harus diperjelas apakah gamelan jawa atau gamelan bali, misalnya, kolintang langsung merujuk pada Minahasa.

Konon, nama kolintang lahir dari bunyi atau nada yang muncul dari alat musik pukul ini. Bunyi “tong” untuk nada rendah, “ting” untuk nada tinggi, dan “tang” untuk nada sedang.

Dalam banyak literatur, disebutkan nama kolintang muncul dari ucapan orang-orang saat hendak bermain alat ini. “Mari kita ber-tong-ting-tang.” Ada juga yang menyebut “maimo kumolintang.”

Versi lain lagi menyebutkan, nama kolintang lahir berdasarkan cerita rakyat di sekitar Danau Tondano. Dulu, konon ada dua pemuda yang memperebutkan satu perempuan.

Salah satu pemuda itu, Lintang, kalah bersaing. Lalu pemuda satunya mengajak perempuan tersebut ke tepi danau. Lintang rupanya tidak bisa menerima kekalahannya dan dia mengikuti arah perginya perempuan dan pemuda itu. Lintang berharap masih ada harapan.

Akan tetapi, lama-kelamaan dia merasa harapan makin tipis karena perempuan itu tidak peduli kepadanya. Dalam keputusasaan, Lintang memukul-mukul badan perahu dan terdengar bunyi bernada. Lalu, ia susun beberapa bilah kayu dan memukul-mukulnya sehingga menimbulkan bebunyian. Rupanya, bebunyian itu menarik perhatian si perempuan, yang kemudian mencari sumber suara tersebut.

Ketika mengetahui bahwa suara itu dari ulah Lintang, si perempuan berujar, “Oh, ko reen Lintang,” untuk mengatakan ternyata itu Lintang. Dari situ muncul istilah kolintang.

GESER

Membuat Kolintang

Aktivitas pekerja membuat kolintang di bengkel kerja Rumah Budaya Nusantara Wale Ma'zani, Tomohon, Sulawesi Utara, Senin (11/6/2018).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
GESER

Kelompok Kolintang

Kelompok kolintang mengiringi peribadatan di salah satu gereja di Lembean, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Minggu (10/6/2018). Lembean merupakan salah satu desa dengan banyak kelompok kolintang anak muda yang aktif.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Masih ada beberapa versi cerita tentang asal-muasal kolintang. Di daerah Tomohon, sekitar 30 kilometer dari Manado, seorang pembuat kolintang, Hentje Kawet, mempunyai cerita lain.

Berdasarkan cerita yang dituturkan mendiang neneknya, Hentje mengisahkan, dulu ada seorang pria sebatang kara yang kerap mengumpulkan kaleng bekas. Ketika hujan, kaleng-kaleng itu dia gunakan untuk menampung tetesan air dari atap rumahnya yang bocor. Suara air yang menetes itu menimbulkan bebunyian. Lama-kelamaan, pria tersebut mengenalinya sebagai nada.

Pada kesempatan lain, pria itu melemparkan beberapa batang kayu untuk dibakar. Lama-lama, dia menyadari bahwa kayu tersebut menimbulkan suara yang berbeda bergantung pada panjang pendeknya. Makin pendek, makin tinggi nadanya.

Kemudian, dia duduk dan mencoba menyusun kayu di pahanya, lalu ditabuh. Penempatan bilah-bilah untuk kolintang, dentingnya juga dia sesuaikan dengan bunyi air menetes ke kaleng tadi. “Dari peristiwa tadi, lahirlah kolintang,” kata Hentje yang meyakini cerita ini benar adanya karena sangat masuk akal.

Kolintang dibuat dari jenis kayu tertentu, yang saat dipukul dapat mengeluarkan bunyi dengan rentang nada rendah sampai tinggi. Jenis kayu tersebut antara lain kayu telur (Alstonia sp), wenuang (Octomeles sumatrana Miq), cempaka (Elmerrillia tsiampaca), dan waru (Hibiscus tiliaceus).

GESER

“Penempatan bilah-bilah untuk kolintang, dentingnya juga dia sesuaikan dengan bunyi air menetes ke kaleng tadi. 'Dari peristiwa tadi, lahirlah kolintang,' kata Hentje.”

Memainkan Kolintang

Klik pada gambar kolintang untuk memainkan lagu daerah berikut ini!

MULAI

Keperluan Ritual

Konon, kolintang dimainkan untuk keperluan ritual, seperti saat memanjatkan doa untuk leluhur atau mengantar jenazah. Ketika agama baru datang ke tanah Minahasa, tradisi itu lama-lama hilang.

Kini kolintang lebih banyak dimainkan dalam acara-acara seremonial meskipun masih juga dimainkan dalam resepsi pernikahan yang dianggap sakral.

Banyak yang menilai, kolintang kayu yang sekarang ada di Minahasa merupakan hasil transformasi dari kolintang logam seperti di Filipina. Untuk hal ini, para pegiat kolintang menegaskan bahwa kolintang asli Minahasa.

“Jenis musik ini lahir di tanah Minahasa. Awalnya hanya melodi, lalu berkembang sampai ke bas, banjo, ukulele, dan sebagainya yang mencapai 10 jenis,” kata Luddy Mullur, pelatih, pemilik sanggar, dan guru musik kolintang.

Hal itu senada dengan temuan Prof Perry Rumengan yang banyak meneliti kolintang. Dalam salah satu bukunya, dia menulis, “Kolintang yang ada di Minahasa bukan evolusi atau keluarga dari Kolintang logam tersebut, tetapi justru merupakan transmutasi dari Orkes Keroncong warisan Portugis”.

Dia menambahkan, “Namun, bukan karena istilah warisan ini lalu genre musik ini seakan-akan berasal dari orang Portugis atau buatan atau penemuan orang Portugis. Jadi, sesungguhnya bukan! Ansambel Musik Kolintang Kayu sungguh-sungguh lahir dari tangan orang Minahasa dan benar-benar merupakan genre musik baru yang lahir di Minahasa”.

Belakangan, kolintang menjadi instrumen musik gereja, khususnya Gereja Katolik. Konsili Ekumenis Vatikan II (1962-1965) bahkan menilai, musik adalah rahmat Tuhan. Musik tradisi pun dinilai sebagai kontekstualisasi dari iman. Maka, kolintang sebagai salah satu alat musik tradisional dianggap sebagai bagian dari inkulturasi dan kontekstualisasi tadi.

GESER

”Ansambel Musik Kolintang Kayu sungguh-sungguh lahir dari tangan orang Minahasa dan benar-benar merupakan genre musik baru yang lahir di Minahasa.”

GESER

Kolintang Mengiringi Ibadah

Kelompok musik kolintang mengiringi salah satu peribadatan di rumah warga di Lembean, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Jumat (8/6/2018).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
GESER

Melestarikan Kolintang

Pelajar memainkan kolintang dalam salah satu lomba kolintang pelajar di Bitung, Sulawesi Utara, Rabu (6/6/2018). Kompetisi antarkelompok kolintang menjadi salah satu wadah bagi generasi muda untuk melestarikan kolintang sebagai alat musik tradisional masyarakat Minahasa.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Falsafah Kolintang
GESER

Antara Falsafah Hidup dan Pergaulan

Masyarakat Minahasa pun menilai kolintang bukan sekadar alat musik. Di dalamnya terkandung nilai-nilai kearifan seperti keseimbangan, demokrasi, saling menghargai, dan menghormati. Jumlah bilah serta cara mengetuknya mengandung nilai-nilai tersebut.

Perkembangan cara memainkannya pun menarik. Semula hanya berupa bilah-bilah yang ditata di atas tanah beralas pelepah pisang. Ada juga yang diletakkan pada lutut pemainnya atau digantung menggunakan tali.

Ketika Pangeran Diponegoro diasingkan ke tanah Minahasa, dia turut memengaruhi bentuk tampilan kolintang menjadi seperti sekarang ini, yakni dengan penggunaan peti resonator di bawah bilah.

Kolintang kemudian menjadi bahasa pergaulan. Anak-anak muda usia sekolah dasar sampai mahasiswa penuh sukacita memainkan alat musik pukul ini. Setidaknya dua kali dalam sepekan mereka berlatih. “Kalau bisa main kolintang, lebih mudah cari pacar, he-he-he,” kata Marselina Maria Pondaag (22), saat berlatih di Sanggar Ma’zani Tomohon.

Para pemuda ini aktif berlatih dan mengikuti lomba kolintang. Dalam sebulan, bisa tiga sampai empat kali lomba. Semakin sering menang lomba, semakin bergengsi.

Beberapa kelompok kolintang bahkan akhirnya dilarang ikut lomba lantaran terlalu sering menang. “Setelah lima kali menang terus, kami tidak boleh ikut lomba. Akhirnya ganti nama kelompok biar bisa ikut lomba lagi,” kata Vheren Doodoh (19) tertawa. Vheren adalah mahasiswa De La Salle, Manado, yang tinggal di Desa Lembean, Minahasa Utara.

Sebagaimana alat musik lain, dengan kolintang, anak muda Minahasa berekspresi. Mereka juga bereksperimen mengaransemen lagu-lagu baru, baik pop, rock, metal, maupun lagu rohani. Di tangan mereka, kolintang menjadi asyik.

GESER

”Masyarakat Minahasa pun menilai kolintang bukan sekadar alat musik. Di dalamnya terkandung nilai-nilai kearifan seperti keseimbangan, demokrasi, saling menghargai, dan menghormati.”

Bengkel Kolintang
GESER
GESER

Perlombaan Kolintang

Duet penyanyi dari salah satu kelompok kolintang dalam perlombaan kolintang antarpelajar di Bitung, Sulawesi Utara, Rabu (6/6/2018). Perlombaan antarkelompok turut memotivasi kelompok kolintang terutama tingkat pelajar untuk meningkatkan kemampuan bermain.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kerabat Kerja

Penulis: Mohammad Hilmi Faiq | Fotografer: Raditya Helabumi | Infografik: Ardiansyah | Desainer & Pengembang: Elga Yuda Pranata, Yulius Giann, Miftahul Awali Rizkina, Annisa Octaviana, Penyelaras Bahasa: Priskilia Bintang Cornelia | Videografer: Raditya Helabumi | Produser: Haryo Damardono

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.