Dalam konteks tersebut, tifa menjadi salah satu alat musik yang menjadi identitas kultural masyarakat Maluku. Alat ini juga sangat kental dengan identitas masyarakat Papua.
Dalam sistem tata nilai, tifa bukan sekadar alat musik. Tifa juga membunyikan suara persaudaraan dan persatuan.
Untuk Maluku, tifa terkait erat dengan cerita asal-usul nenek moyang orang Maluku yang kemudian menghasilkan falsafah Siwa Lima. Konon, di Pulau Seram dulu hidup tiga bersaudara, yakni Ulisiwa, Ulilima, dan Uliassa.
Uliassa memilih pindah, sementara Ulisiwa dan Ulilima menetap di Seram yang kemudian melahirkan keturunan di Maluku sampai sekarang ini. Mereka menyebut Pata Siwa untuk keturunan Ulisiwa dan Pata Lima untuk keturunan Ulilima.
Kerukunan Pata Siwa dan Pata Lima ini kemudian menjadi falsafah hidup masyarakat Maluku. Siwa Lima menjadi falsafah itu yang maknanya meski berbeda, tetapi pada dasarnya manusia itu satu.
Falsafah ini bisa juga ditafsir bahwa meski laku, identitas, orientasi politik, bahasa, ataupun strata pendidikan boleh berbeda, manusia harus tetap bersatu. Bersatu dalam apa? Yakni, bersatu dalam tujuan hidup untuk membangun kebaikan.
Jika diurai lagi, sebagaimana dijelaskan antropolog berdarah Maluku, Hatib Abdul Kadir, lima merujuk pada bagian tubuh manusia, yakni 2 kaki, 2 tangan, dan 1 kepala. Meski anggota badan berjumlah lima, hal itu menjadi satu keutuhan.
Adapun siwa (sembilan) bermakna dua orang yang masing-masing memiliki 2 tangan, 2 kaki, tetapi 1 kepala. Ini bermakna, meskipun dua orang itu berbeda laku dan penampilan, tetap ”satu kepala”, mempunyai tujuan yang sama, yakni tujuan kebaikan
Filosofi inilah yang dipegang masyarakat Maluku dalam mengutamakan persatuan.
Ini juga diekspresikan dalam seni seperti pada tari Gaba-gaba. Tarian ini dilakukan seorang penari inti didampingi lima penari lain yang memegang gala (mewakili unsur lima), juga terdapat sembilan cakalele yang turut mendampingi (mewakili unsur sembilan).
Tarian ini dilatarbelakangi musik tifa sebagai pengatur ritme dan gerakan. ”Tifa menjadi dinamisator hubungan siwa dan lima,” kata Kadir.
Pada perkembangannya, siwa identik dengan kelompok Kristen, sementara lima dengan kelompok Islam. Tifa berada di tengah kelompok ini menjadi sejenis irisan (shared culture), yang dapat mempertemukan dan mempersatukan. Tifa menyuarakan tetabuhan hubungan yang dinamis di antara kedua kelompok tersebut.
Dalam permainan tifa, tetabuhan dilakukan secara saling membalas, saling merespons. Ini tecermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Maluku yang menjunjung toleransi. Ketika kelompok Islam membangun masjid, kelompok Kristen membantu. Begitu sebaliknya.
Mainkan contoh musiknya, lalu gunakan keyboard atau klik pada gambar tifa untuk memainkan irama tifa tersebut!
Ikatan persaudaraan yang kuat dalam kultur masyarakat Maluku ini berfondasi pada falsafah Pela Gandong. Pela bermakna persaudaraan yang tumbuh karena sikap tolong-menolong.
Jalinan persaudaraan juga ditumbuhkan oleh praktik kemanusiaan. Ketika sebuah kampung atau negeri terkena bencana atau dalam kesulitan, misalnya, negeri lain sigap membantu. Mereka lalu mengikat diri atas nama kemanusiaan dalam pela.
Adapun istilah gandong merujuk pada persaudaraan berdasarkan aliran darah atau biologis. Di Maluku, banyak sekali saudara sekandung yang berbeda agama. Meskipun demikian, mereka tetap akur dan hidup damai karena persaudaraan lebih utama dari segalanya, dari agama sekalipun.
”Pela Gandong menjadi pegangan kami dalam bermasyarakat,” ujar Willem Joseph, guru yang juga panitia pembangunan Gereja Imanuel Galala Hative Kecil (Gatik) Ambon, Maluku.
Gereja ini dibangun kembali dengan bantuan tenaga dan material dari berbagai kalangan, terutama warga Negeri Hitulama, Hitumessing. Tentu saja warga Negeri Galala dan Hative Kecil turut serta di sana.
Negeri Hitulama merupakan pela Negeri Galala, sementara Hitumessing juga pela dari Negeri Hative Kecil. Hitulama dan Hitumessing adalah dua negeri yang warganya beragama Islam sedangkan Hative Kecil dan Galala berpenduduk Kristen. Ikatan pela tersebut menjadikan mereka akur dalam kerja-kerja sosial seperti pembangunan gereja.
Jika ditarik dalam konteks falsafah tifa, ini sebangun dengan ungkapan Alex Talahatu (49), guru sekolah dasar di Ambon. Menurut Alex, suara tifa terdengar sempurna ketika dia utuh bulatnya. Tatkala terdapat retak atau pecah pada selongsong tifa, bunyinya sember atau bahkan rusak sama sekali.
Begitulah persaudaraan. Ketika terjadi keretakan, sungguh mengganggu interaksi sosial. Di situlah Pela Gandong menjadi penting menjaga harmoni, menjaga hubungan sosial semerdu suara tifa.
Tifa juga mengumpulkan yang tercerai. Metafora ini tergambar jelas dalam ritual Sasi Lompa di Negeri Haruku di Pulau Haruku, Maluku Tengah, Maluku. Malam itu, Jumat (28/9/2018), seluruh warga berkumpul di sebuah gang seiring tabuhan tifa yang ditingkahi tahuri (alat musik tiup dari keong raksasa).
Hadir pemimpin Negeri Haruku, Raja, didampingi kewang keliling negeri. Mereka mengumumkan pencabutan larangan-larangan serta hal-hal yang hanya boleh dilakukan pada waktu tertentu, seperti penangkapan ikan lompa (Thrissina baelama).
Keesokan harinya, warga memenuhi sungai untuk menangkap ikan lompa yang sudah hampir setahun tidak disentuh nelayan ataupun pemancing karena pamali. Mereka bersukacita diiringi tetabuhan tifa. Kewang, sebagai pemegang otoritas hukum adat, turut mendampingi pelaksanaan acara ini.
Kewang Negeri Haruku, Eliza Marthen Kissya (70), menjelaskan, tifa berfungsi mengumpulkan warga, menyatukan yang berserak. Tifa juga memberi sugesti untuk bersukaria, merayakan anugerah Tuhan berupa ikan lompa yang melimpah.
Sebagai alat musik, tifa pun berkembang seiring dengan tarikan zaman. Sebagaimana alat musik tradisional lain, tifa tidak melulu berbunyi dalam ranah adat dan ritual, dia melaju jauh berjabat tangan dan bermain bersama alat musik lain sampai Australia dan Eropa.
Belakangan juga muncul kreasi baru di tanah Maluku, yakni musik hadrat, yang menggunakan tifa. Hadrat yang lebih sering dimainkan umat Islam di Maluku berkolaborasi dengan toto buang yang lebih sering dimainkan umat Kristiani.
Kolaborasi ini menghasilkan kreasi yang mereka sebut Salam-Sarani, sebuah pertunjukan yang mengedepankan persatuan dan persaudaraan antargolongan. Dengan kata lain, tifa melaju dalam kanal kontemporisasi untuk menjawab tantangan zaman, zaman yang retak. Tifa menjadi pemersatu!
Penulis: Frans Pati Herin, Mohammad Hilmi Faiq | Fotografer: Totok Wijayanto | Penyelaras Bahasa: Priskilia Sitompul | Infografik: Maria Karina Putri | Desainer dan Pengembang: Elga Yuda Pranata, Rafni Amanda | Produser: Haryo Damardono, Prasetyo Eko Prihananto
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.