Mustika Rasa dari Borobudur

Sampai hari ini, Candi Borobudur bagaikan enigma yang tak berkesudahan bagi kita manusia modern. Tak sekadar meninggalkan warisan tentang keluhuran filosofi hidup di panel-panel reliefnya, namun juga jejak peradaban budaya yang memikat, termasuk ragam kuliner dari era kuno Nusantara.

Berangkat dari kekaguman dan penghormatan terhadap warisan leluhur itu pula, perhelatan Borobudur Culinary Expedition digelar di resor Amanjiwo, di Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Acara yang berlangsung 14-16 Oktober 2022 lalu itu berkolaborasi dengan Teka Group, perusahaan perlengkapan dapur dan rumah tangga yang berbasis di Jerman. Acara tersebut berupa jamuan malam yang menyuguhkan kreasi masakan yang dinukil dari relief-relief di candi Borobudur.

Iluma/Frendy Wijaya
Acara jamuan malam pembuka dalam rangkaian Borobudur Culinary Expedition di Amanjiwo, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (14/10/2022)

Teka bersama penyelenggara acara Iluma Kreasi kemudian mendapuk chef muda berbakat, Nadja Azzura Tohir yang lalu diduetkan dengan chef andalan dari Amanjiwo, Reza Kurniawan. Kedua chef ini kemudian menggali gagasan sekreatif mungkin untuk menghadirkan kreasi aneka masakan yang bertolak dari relief-relief di candi Borobudur.

Tentu saja itu tantangan yang tak mudah. Chef Reza dan Chef Nadja perlu menjalani masa riset selama sekitar dua bulan, menggali informasi dari berbagai sumber dan ahli. “Harus banyak tanya dari ahli dan baca-baca artikel dan literatur,” kata Chef Reza.

Begitu pula dengan Chef Nadja. Mereka berdua pada dasarnya harus memastikan dulu bahan pangan apa saja yang dikonsumsi masyarakat di masa candi Borobudur dibangun dan menjadi bagian integral kehidupan sehari-hari, yakni di abad ke-8 dan ke-9 Masehi. Dari bahan-bahan pangan itulah kemudian kedua chef dapat mereka-reka masakan yang seperti apa untuk dihadirkan dalam jamuan acara.

“Tantangannya adalah tidak ada peninggalan resep masakan dari zaman kuno itu,” kata Chef Reza.

Iluma/Frendy Wijaya
Chef Reza Kurniawan dari Amanjiwo dan Chef Nadja Azzura Tohir

Berbagai referensi terkait jejak kuliner dari era candi Borobudur pada akhirnya bisa memiliki tafsir yang berbeda. Patrick Vanhoebrouck, resident antropologist di Amanjiwo mengungkapkan juga soal adanya perbedaan penafsiran bahan pangan yang terpahat pada relief candi Borobudur. Patrick, lulusan Leiden University yang mendalami kebudayaan dan spiritualitas Jawa menjelaskan soal eksistensi ukiran mirip padi-padian (serealia) pada relief di Borobudur.

Menurutnya, pada saat Borobudur hadir, masyarakat sekitar pada masa lampau kemungkinan sebenarnya sudah mengenal budidaya padi beras. Sekaligus juga masih mengakrabi jewawut, yang juga jenis padi-padian (serealia) yang sangat penting di masa itu. Relief mirip padi-padian itu masih menjadi perdebatan panjang di antara arkeolog. Ada yang menafsirnya sebagai padi beras, ada pula yang meyakininya sebagai jewawut.

Skema candi Borobudur.

Dalam salah satu makalah yang ditulis David Henley, profesor studi kontemporer Indonesia di Universitas Leiden, Belanda, berjudul “Re-examining the Rise of The Rice in Indonesia with Special Reference to Sulawesi” ada disinggung tentang pahatan serealia di candi Borobudur. Makalah itu juga cenderung menengarai pahatan tersebut sebagai jewawut.

Salah satunya dengan merujuk pada penelisikan seorang botanist asal Amerika Serikat, E.D Merill yang memastikan tiga panel di candi Borobudur yang menampilkan pahatan rupa tanaman serealia tersebut merupakan jewawut (Setaria italica). Menurutnya, sekalipun sekiranya padi beras (Oryza sativa) sudah tumbuh di Jawa kala itu, namun pembudidayaannya ditengarai masih terbatas.

Tiga panel relief di candi Borobudur yang menggambarkan perwujudan sejenis serealia yang ditengarai sebagai jewawut.

Berdasarkan penafsiran tersebut pula, Chef Reza dan Chef Nadja kemudian merancang menu untuk acara jamuan malam yang digelar di areal candi Borobudur. Para tamu disuguhi pemandangan candi yang disinari cahaya lampu berpendaran, ditingkahi gerimis selama beberapa waktu. Suasana terasa magis dan syahdu.

Setelah Patrick menjelaskan sedikit tentang candi Borobudur, para pelayan mulai menghidangkan serangkaian menu kepada para tamu. Menu yang disuguhkan terdiri dari enam hidangan, yakni tiga hidangan dari Chef Nadja dan tiga hidangan dari Chef Reza.

Sebagai menu pembuka, disuguhkan “deng wedus” kreasi dari Chef Nadja. Menu ini digagas Chef Nadja dengan mengambil kerangka tema cara masak yang bertopang pada pengawetan atau preservasi aneka bahan pangan, salah satunya daging. Sumber pangan hewani pada era candi Borobudur cukup beragam, kambing/domba, kerbau, rusa, bebek, ayam, burung, udang, kepiting sungai, beberapa jenis ikan, hingga kura-kura.

Pada menu “deng wedus”, Nadja menyajikannya sebagai carpaccio, yaitu irisan tipis-tipis tenderloin dari bagian lamb rack, yang hanya bisa didapat sekitar 300 gram dari seluruh domba. Bagian ini merupakan yang paling lembut dari daging domba.

Irisan itu hanya dipanaskan sebentar sekitar 20 detik lalu diberi bumbu rempah ketumbar dan kemukus. Pendamping rasa lainnya adalah saus buah manggis yang difermentasi selama enam hari dan krim santan kelapa. Menurut Nadja, ada kemungkinan dahulu ketika belum ada lemari pendingin, sebagian bahan pangan di masa itu kerap terfermentasi dengan sendirinya.

Iluma/Frendy Wijaya
Chef Nadja Azzura Tohir menerangkan menu-menu yang tersaji dalam jamuan malam Borobudur Culinary Expedition, Minggu (16/10/2022).

“Pada zaman itu sebenarnya masih minim bumbu, itu tantangannya. Oleh karena itu saya berusaha menambah ragam rasa tanpa menambahkan aneka saus (pabrikan-red) dengan sesuatu yang terfermentasi dari buah-buahan yang memang sudah ada pada masa itu,” jelas Nadja.

Menu berikutnya yakni lesah daging kering kreasi dari Chef Reza. Pada menu ini, Chef Reza menggunakan daging kerbau yang dikeringkan sebagai dendeng. Metode pengeringan ini juga menjadi salah satu metode pengawetan yang diduga cukup lazim di era lampau kala candi Borobudur dibangun. Dendeng kerbau itu kemudian dipadukan dengan kuah soto bersantan dengan bumbu kuning standar.

Iluma/Frendy Wijaya
Chef Reza sedang berbincang bersama peserta jamuan Borobudur Culinary Expedition.

“Hanya saja, dalam soal masakan berkuah kaldu, saya menggunakan kaldu double stock,” ungkap Chef Reza.

Yang dimaksud Chef Reza tersebut adalah menggunakan kaldu yang disarikan hingga dua kali dari dua kloter tulang-tulangan hewan. Kaldu pertama misalnya menggunakan 3 kilogram tulang ayam dengan 10 liter air dimasak selama empat jam, hingga tersisa 7 liter kaldu misalnya, lalu didinginkan semalaman. Kemudian sisa tersebut dipanaskan lagi dengan kloter tulang-tulangan ayam (sayap dan ceker) berikutnya yang masih segar, dimasak hingga beberapa jam lagi hingga tersisa sekitar 5 kilogram. Hasilnya, kaldu akan terasa lebih gurih alami.

Chef Reza sangat menaruh perhatian pada proses ekstraksi seperti pembuatan kaldu. Bahkan dalam cara memasaknya pun, Chef Reza meletakkan posisi api tidak pada bagian tengah pantat panci, melainkan agak di sisi pinggir. Menurutnya, cara itu membuat didihan kaldu yang tengah dimasak di dalam panci tersirkulasi sendiri secara kontinyu.

Kompas/Sarie Febriane
Menu lesah daging kering kreasi Chef Reza.

Setelah menu hewani dari hewan berkaki empat, pada menu ketiga, Chef Nadja menghadirkan menu ikan-ikanan yakni, “deng kakap & kepiting”. Menu ini masih berpijak pada metode pengolahan bahan pangan yang ditengarai digunakan di masa kuno selain pengeringan, yakni salah satunya pengasinan (curing).

“Salah satu literatur yang saya baca, ikan kakap yang diperoleh dari laut yang masih jauh dari desa di Borobudur, kemungkinan besar perlu diasinkan lebih dahulu,” kata Nadja.

Pada menu tersebut, Nadja mengasinkan potongan daging kakap dengan kadar asin sedang untuk menghilangkan amis dan mengurangi kadar air dari ikan. Dengan  berkurangnya kadar air tersebut, daging terasa lebih padat dan kenyal, sekaligus lebih bertahan lama. Sementara, daging kepiting tawar direbus sebentar kemudian diasinkan tipis.

Kompas/Sarie Febriane
Menu “Deng Kakap Kepiting” kreasi dari Chef Nadja.

Selain diasinkan, Nadja memberi sentuhan pengasapan dari kayu nangka pada potongan-potongan daging kakap dan kepiting tersebut. Sentuhan asap itu berangkat dari imajinasinya bahwa pawon atau dapur di rumah-rumah penduduk pada masa itu senantiasa menguarkan aroma asap yang khas. Pengaya rasa pada menu ikan ini adalah rasa asam segar dari belimbing wuluh serta asam jawa, daun jeruk, bawang merah, dan minyak kepala. Rasa keseluruhan sajian ini sedikit mengingatkan pada makanan gohu yang asam segar.

Pada menu berikutnya, Chef Reza menghadirkan pangan hewani dari kelompok unggas yakni burung dara. Masih berpijak pada metode preservasi, Chef Reza menerapkan cara aging dengan menggantung daging burung untuk menyimpan rasa asli dagingnya.

Chef Reza melumuri daging burung dara dengan gerusan ketumbar yang sebelumnya digarang, bersama dengan bunga lawang, lalu digantung semalaman. Keesokannya baru ia melumurinya dengan saus baceman konsentrat dan vinegar atau cuka. Vinegar tersebut bertujuan agar kulit burung menjadi sedikit lebih kencang.

Kompas/Sarie Febriane
Menu “Dara Baceman dan Tiwul” kreasi Chef Reza.

Saus baceman diracik oleh Chef Reza dengan menggunakan gula kelapa dari Desa Majaksingi di Borobudur. Bahan-bahan pangan yang diolahnya, baik sehari-hari di Amanjiwo maupun saat jamuan malam acara Borobudur Culinary Expedition tersebut, senantiasa diupayakan diperoleh dari kawasan sekitar.

General Manager Jann Hess sendiri juga mengungkapkan, sejak Amanjiwo berdiri lebih dari 20 tahun lalu, berbagai kebutuhan di resor memang senantiasa diupayakan bisa diperoleh dari lingkungan sekitar. Selain bahan pangan, juga termasuk perlengkapan (amenities) yang juga berupa kerajinan rakyat.

“Para pengawai di sini juga sejak dulu banyak dari penduduk di sekitar sini, sekarang 80 persen lebih pegawai juga dari penduduk desa sekitar sini,” ungkap Jann Hess.

Chef Reza melanjutkan, pada menu burung dara baceman itu ia sengaja menyandingkan dengan tiwul, yang tentu saja sampai hari ini masih diakrabi masyarakat Jawa. Tiwul yang terbuat dari singkong merupakan salah satu umbi-umbian yang sudah lazim dikonsumsi masyarakat kuno di era Borobudur dibangun.

Menu berikutnya, Chef Reza menghadirkan sajian “kidang bakar” yakni daging rusa yang dibakar dengan basis bumbu marinasi ditemani pendamping daun pepaya rebus yang diisi dengan jewawut. Penggunaan jewawut ini berangkat dari analisa dalam literatur mengenai penafsiran serealia pada relief Borobudur di atas tadi yang disampaikan Patrick kepada Chef Reza.

Chef Reza memanfaatkan cara masak modern untuk mendapatkan tekstur daging rusa yang empuk dan tetap bersari (juicy). Ia memasak daging rusa dengan cara sous vide, yakni teknik masak dengan pengaturan suhu secara presisi dengan medium air. Potongan daging rusa dengan basis bumbu semur dimasukkan ke dalam wadah plastik khusus, dikedapkan dari udara, lalu dicemplungkan dalam air dalam suhu 60 derajat Celcius yang dijaga konstan selama 12 jam.

Kompas/Sarie Febriane
Menu “Kidang Bakar dan Jewawut”. Jewawut dibungkus dalam daun pepaya rebus yang telah dihilangkan rasa pahitnya.

Sebagai pendampinya, Chef Reza mengawinkan dengan rebusan daun pepaya yang telah dihilangkan rasa pahitnya. “Cara mengilangkannya hanya dengan merebusnya bersama tanah lempung, pahitnya bisa musnah,” ungkap Chef Reza.

Jewawut yang digunakan oleh Chef Reza rupanya menggunakan jewawut yang kini lebih sering dimanfaatkan sebagai makanan burung ketimbang manusia. Padahal, jewawut atau millet ini di masa lalu justru menjadi bahan pangan serealia penting bagi masyarakat dalam peradaban kuno di era Borobudur.

Bagi Chef Reza, gelaran Borobudur Culinary Expedition demikian secara tidak langsung membuat chef seperti dirinya untuk lebih tergerak menggali kembali bahan-bahan pangan yang pernah berjaya namun kini jutsru kurang dieksplorasi. Tantangannya tentu saja menjadikan bahan-bahan pangan lokal tersebut menjadi sajian yang lezat dan mengesankan.

Kompas/Sarie Febriane
Menu penutup, “Dwadal dan Pisang Ice Cream” kreasi Chef Nadja.

Akhirnya, petualangan rasa malam itu dipungkasi dengan menu penutup berupa es krim rasa pisang dengan karamel dodol kreasi dari Chef Nadja. Menu ini semacam pendekatan kontemporer dari olahan buah-buahan yang di masa lalu telah lazim dikonsumsi dengan cara saji modern yaitu berupa es krim.

Berangkat dari bayangan es krim dengan salted caramel, Chef Nadja menggantinya dengan dodol yang ia masak dengan tekstur lebih cair sehingga menyerupai karamel yang lalu ia tuang-campur pada es krim. Nadja membuat adonan dasar es krim dengan mengambil sari pisang secara infuse, yakni hanya dengan memasak dalam suhu rendah susu dengan potongan-potongan daging pisang, lalu didiamkan selama sehari semalam, lalu disaring. Tujuannya untuk mendapatkan es krim yang ringan lembut.

“Karena ketika daging pisang diblender adonan es krimnya menjadi terlalu kental,” kata Nadja.

Iluma/Frendy Wijaya
Chef Reza dan Chef Nadja bersama tim dapur dari Amanjiwo

Lita Hamzah, pendiri Iluma Kreasi mengungkapkan, gelaran kuliner Borobudur tersebut juga berangkat dari keresahannya atas kondisi bangunan candi Borobudur yang di beberapa bagian mulai aus. Ia berharap, perhelatan kuliner tersebut dapat menjadi jalan pilihan merawat warisan pengetahuan leluhur di era Borobudur melalui eksplorasi kuliner dengan mengangkat bahan-bahan pangan lokal yang terpahat pada relief candi. Dengan begitu, tanpa harus menapaki tubuh candi, pengetahuan dari relief-relief Borobudur tetap terawat dengan diwujudkan dalam bentuk lain, yakni kuliner.

Latar belakang pemikiran itu pula yang bersambut dengan Rami Kuwalty, Presiden Direktur Teka Indonesia. Ia merasa semangat demikian, meskipun berkala kecil, namun jika saling bersinergi lama kelamaan bisa menularkan inspirasi yang lebih luas.

“Kami sendiri pada dasarnya selalu ingin bisa berbuat sesuatu yang punya higher purpose, tujuan yang lebih tinggi dan membawa manfaat lebih bagi banyak orang, tanpa harus berhitung-hitung timbal baliknya. Tanpa itu, saya rasa yang namanya berbisnis sehebat apapun akan terasa hampa, tanpa makna.

Iluma/Frendy Wijaya
Para tamu jamuan malam Borobudur Culinary Expedition tengah menikmati berbagai hidangan yang dikreasikan berdasarkan relief-relief dalam candi Borobudur, di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Minggu (16/10/2022).

Selama ini dalam wacana mengenai peninggalan candi, eksplorasi kuliner dari candi-candi memang belum secara luas populer di kalangan publik. Apalagi eksplorasi kuliner di tataran andrawina atau fine dining. Memang, untuk menghadirkan jamuan demikian tidak semudah jamuan arus utama sebab membutuhkan riset ekstra dan rujukan referensi ilmiah yang relevan.

Baik Chef Nadja dan Chef Reza mengakui hal itu. Dalam rentang waktu riset dua bulan sebelumnya, mereka cukup belajar banyak dan menggagas ide lebih keras justru karena keterbasan ragam yang relevan dengan tema untuk bisa diolah menjadi menu. Akhirnya lewat mustika rasa dari Borobudur itu, kita didekatkan pada ruang dan waktu di masa lampau, ketika segala hal masih serba terbatas dan sederhana namun justru sarat makna.