Seabad NU, Perang Kemerdekaan, Toleransi, dan Perdamaian

Organisasi massa keagamaan Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama, genap berusia seabad pada Februari 2023. Sejak lahir hingga kini, NU tetap konsisten memperjuangkan kemanusiaan di pentas dunia dan kebangsaan serta kebersamaan sebagai salah satu soko guru bangsa. Singkatnya, keberadaan NU adalah membangun peradaban.

Sejarawan Erwien Kusuma menjelaskan, kiprah NU lahir dari kesadaran terhadap kemajuan umat Islam dalam menyikapi geopolitik dan juga kondisi dalam negeri di Nusantara yang waktu itu masih merupakan jajahan Belanda.

”Diawali dengan Komite Hijaz. Para ulama NU sudah memperjuangkan perdamaian dengan meminta Raja Ibnu Saud untuk bisa menerima perbedaan dalam aliran pemikiran dengan mengizinkan berbagai mazhab utama dalam Islam. Semangat itu terus dibawa, seperti dalam Konferensi Islam Asia Afrika tahun 1964 dan terakhir R20 dalam rangkaian acara G20 tahun lalu di Bali,” kata Erwien yang alumnus Universitas Indonesia.

Ketika itu, sedianya Raja Ibnu Saud yang baru mengambil kekuasaan dari Turki Usmani mengusung corak keagamaan aliran Wahabi bermaksud menghilangkan situs-situs sejarah dan tempat ziarah sejarah peradaban Islam karena dianggap bertentangan dengan paham Wahabi.

IPPHOS
Puluhan ribu warga NU ketika mengikuti rapat akbar dalam rangka peringatan hari lahir NU ke-40 di Senayan, Jakarta, tahun 1966.

Terjadi penganiayaan para ulama non-Wahabi yang berlanjut dengan eksodus para ulama dan santri dari berbagai penjuru dunia. Makam Nabi Muhammad SAW dan para sahabat serta berbagai situs akan dihancurkan oleh penguasa baru di Tanah Haram.

Padahal, berbagai aliran dalam Islam sejak lama menjaga tradisi ziarah dan berbagai ritual tradisional yang juga merawat ingatan bersama tentang identitas Islam di berbagai belahan dunia ketika itu.

Masukan soal toleransi bagi empat mazhab (Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali), pelestarian situs sejarah Islam, pemberitahuan soal pengaturan dan biaya haji, serta penyusunan tertulis (kodifikasi) hukum yang berlaku di Negeri Hijaz (kini Kerajaan Arab Saudi) diterima dengan baik.

Raja Saudi Ibnu Saud akhirnya menerima utusan NU pada Januari 1926. Masukan soal toleransi bagi empat mazhab (Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali), pelestarian situs sejarah Islam, pemberitahuan soal pengaturan dan biaya haji, serta penyusunan tertulis (kodifikasi) hukum yang berlaku di Negeri Hijaz (kini Kerajaan Arab Saudi) diterima dengan baik. Itu adalah gebrakan awal NU dalam membangun harmoni di dunia internasional.

Para ulama peletak dasar NU, seperti KH Hasyim Asy’ari, memiliki guru- guru berkualitas tingkat dunia, seperti Syekh Kholil dari Bangkalan (1835-1925) yang merupakan murid dari Syekh Nawawi Al Bantani (1813-1897) yang menjadi Imam Besar Masjidil Haram di kota Mekkah.