Nama Jalan di Semarang Era Kolonial Belanda dan Sekarang

Seiring Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, ekspresi semangat kebangsaan muncul dalam berbagai bentuk, termasuk penggantian nama jalan dari zaman kolonial Hindia Belanda di sejumlah kota di Indonesia. Kota Semarang juga mengalami penggantian nama jalan di masa Republik Indonesia.

Dalam buku berjudul Semarang terbitan NV de Bruin, Semarang, Oktober tahun 1956, dicantumkan dengan rinci pergantian nama-nama jalan di Kota Semarang. Buku yang disusun oleh Sukirno, pejabat Kepala Penerangan Kota Besar Semarang, bersama Siswomartono, Saparjo, Soebianto, dan Maspan Tjokroharsojo itu menerangkan, perubahan nama jalan didasari Keputusan DPRD Kota Besar Semarang Nomor 39/Kep/DPRD/55 pada tanggal 4 Agustus 1955.

Ada catatan dari perubahan nama jalan tersebut, yakni keberatan dari istri Jenderal Oerip Soemohardjo tentang penggunaan nama suaminya. Karena itu, dengan Keputusan DPRD Nomor 49/Kep/DPRD/55 tanggal 15 November 1955, nama Jalan Djenderal Oerip diganti dengan nama Djalan MH Thamrin.

Adapun perubahan nama jalan di tahun 1955 itu sebagai berikut. Jalan Bodjong tetap tidak berubah (kini Jalan Pemuda). Jalan Siliwangi menggantikan Jalan Bulu dan Jalan Kendal. Jalan ini membentang ke arah barat Kota Semarang dengan penanda Pasar Bulu dari arah Tugu Muda ke jurusan barat hingga Pasar Karang Ayu dan Bundaran Kalibanteng (dekat Bandara Ahmad Yani) ke batas kota.

Jalan Teuku Umar menggantikan Jalan Djatingaleh (dari pertigaan Karang Panas-Jalan Oei Tiong Bing yang kini dikenal sebagai Jalan Setiabudi 2) ke batas kota di jurusan selatan.

Jalan Dokter Setiabudi menggantikan nama Jalan Gombel Baru dan Jalan Ungaran. Jalan Dokter Sutomo menggantikan Jalan Kalisari (dari Taman Merdeka ke selatan sampai pertigaan Candi Baru).

Jalan Majapahit menggantikan nama beberapa jalan, yakni Karang Tempel Selatan-Pandean Lamper-Kabluk dan Gubug. Jalan ini membentang dari perempatan Jalan Mataram ke jurusan tenggara Kota Semarang arah Gubug-Purwodadi.

Jalan Raden Patah menggantikan nama Jalan Purwodinatan dan Jalan Demak. Jalan ini membentang ke arah timur Kota Semarang. Ini merupakan jalur bersejarah serangan ribuan pasukan Jawa dan pasukan Tionghoa saat melawan VOC tahun 1740-1743 dalam peperangan yang dikenal sebagai Perang Geger Pacinan.

Jalan Mataram yang membentang satu arah dari selatan ke utara Kota Semarang tidak berubah nama. Keberadaan Jalan Mataram dan Jalan Dokter Cipto (dulu Jalan Karang Tempel) seperti Jalan Cipaganti dan Jalan Cihampelas di Kota Bandung, Jawa Barat, yang bersisian dan menerapkan lalu lintas satu arah. Jalan Mataram membentang dari perempatan Gedangan atau Jalan Demak ke simpang tiga Mrican-Tanah Putih. Pascaperistiwa G30S tahun 1965, Jalan Mataram diganti nama menjadi Jalan MT Haryono. Namun, sebutan Jalan Mataram masih populer hingga kini.