Umat Hindu Bali selalu menyiapkan sesaji untuk persembahan kepada dewa dan untuk penolak bencana alam dan penyakit. Dalam menghadapi pandemi Covid-19, warga Bali menyiapkan sesaji Nasi Wong-Wongan untuk menangkalnya.
Sederetan kata mantra pengharapan dihaturkan dari setiap rumah umat Hindu di Bali secara bersamaan, Kamis (2/4/2020). Begitu pula umat lainnya yang tinggal di Bali. Doa bersama menjadi senjata untuk saling menguatkan menghalau pagebluk Covid-19.
”Ong Pakulun Ratu Bhatara Hyang Guru Kamimitan, manusan ingsun hangaturaken saji lan canang asebit sari, minakadi ajengan lan kajangkepin dening canang sari. Huripin manusan ingulun jati mula, tan paletuh, tan keni upadrawa dening sarwa Dewa, sarwa Butha, mwang sarwa Durga. Malarapan antuk manah suci nirmala, hulun banget nglungsur dumugi kabrebehan jagat sekadi mangkin, minàkadi pandemi virus corona Covid-19, gelis nemu sidhirastu swasti ya namah. Om Sidhir Astu Tad Asthu Nawa Swaha.”
Wayan Gendra (65), warga Banjar Kancil, Kerobokan, Kuta Utara, Kabupaten Badung Bali, Kamis sekitar pukul 18.00 Wita, memulai mengucapkannya perlahan dengan mata terpejam dan penuh kesungguhan serta keikhlasan di depan pelinggih Batara Hyang Guru. Pejati (salah satu nama sesaji) dihaturkan bersamaan tertancapnya dupa dengan asap membubung dengan harapan doa munajat.
Sebait doa yang dibaca Gendra juga dibaca secara serentak pada waktu yang sama oleh umat Hindu di Pulau Bali di rumah masing-masing. Doa ini bersamaan dengan menghaturkan banten (sesaji) Pejati di Kamulan atau pelinggih Batara Hyang Guru.
Sementara di bawah sebelum pintu masuk rumah, umat menaruh nasi wong-wongan (lebuh pekarangan). Nasi wong-wongan atau orang-orangan itu berupa bagian kepala dibentuk dari nasi warna putih, tangan kanan nasi merah, tangan kanan nasi kuning, dan badannya nasi campuran dari beberapa warna dan kakinya nasi warna hitam. Lalu, di sekitar bentuk wong-wongan itu ditaruh ulam bawang, jahe, dan uyah (garam). Semua ini beralaskan ujung dari lembar daun pisang.
Banten nasi wong-wongan ini agar dimakan butakala (simbol raksasa). Harapannya, butakala yang datang memangsa nasi ini sebagai ganti agar tidak memangsa si pemilik rumah. Seluruh imbauan bebantenan ini berasal dari Lontar Rogha Sanghara Bumi. Lontar ini merupakan salah satu referensi yang berisi antara lain beberapa upacara serta sesajinya guna menetralisasi dari bencana di bumi. Tujuannya agar manusia kembali introspeksi dalam menjaga keseimbangan alam bumi.
Gendra juga menghaturkan doa untuk nasi wong-wongan. ”Ih… ta kita Sang Bhuta Kala Angawan, manusañta angaturaken nasi wong-wongan mapinda catur Akhsara Sa, Ba, Ta, A, pinaka larapan bhakti ring Hyang Catur sanak manusañta. Enak ta kita amuktyaken, asing kurang asing luput haywa ta kita silik-ugik, uwehin manusañta karahayuan kedirgayusan. Abih manusañta lemah peteng selid sanja ring darat ring toya ring udara. Ebek danuh ebek segara bhaktanmu. Dohakena manusañta saking kabrebehan jagat sakadi mangkin. Poma poma poma.”
Semua anggota keluarga berdoa bersama mengatupkan tangan memohon ampunan dan perlindungan. Seusai menyelesaikan seluruh ritual berdasarkan imbauan itu, Gendra segara memercikkan tirta (air) serta meminum bersama dari bungkak nyuh gading atau kelapa gading (Cocos nucifera L) yang dimintakan doa Batara Hyang Guru tadi kepada seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah itu. Dalam lontar usada Taru Pramana, nyuh gading ini bermanfaat sebagai penolak mala.
Haturan sesaji serentak ini bagian dari upaya bersatu menghalau ”pagebluk” (bencana) penyebaran Covid-19 di Pulau Bali. Dan Pemerintah Provinsi Bali bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali serta Forum Kerukunan Umat Bali (FKUB) menempuh segala usaha, termasuk mengajak umat Hindu serta umat lainnya bersama-sama berdoa pada hari Kamis itu di rumah masing-masing pukul 18.00 Wita. Baik Gubernur Bali Wayan Koster maupun Ketua PHDI Bali I Gusti Ngurah Sudiana dan Ketua FKUB Bali sepakat imbauan ini doa bersama segala umat di Pulau Bali. Serentak.
Selain di rumah masing-masing, pada kahyangan tiga juga dilaksanakan kegiatan yang sama yang dilakukan prajuru pada waktu yang bersamaan. Khusus untuk pelaksanaan upacara di Pura Tri Kahyangan Desa Adat dilaksanakan pada 2-7 April 2020. Selama rentang waktu tersebut, setiap hari menghaturkan banten pejati yang dilengkapi dengan bungkak nyuh gadang atau nyuh gading.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya dan Koordinator Pusat Penelitian Kebudyaan Universitas Udayana, Dharma Putra, mengatakan, Bali menghadapi pandemi Covid-19 dengan apa yang dimiliki: adat dan budaya, karena adat dan budaya terkait erat dengan praktik beragama. Maka, apa yang dilakukan masyarakat Bali dalam menghadapi Covid-19 juga berkaitan dengan upacara keagamaan Hindu. Dengan kata lain, ritual keagamaan ikut menjadi mekanisme untuk menghadapi berbagai masalah, bencana, dan instabilitas, termasuk Covid-19.
Menurut Dharma Putra, Hal ini bisa dilihat dari dua hal: struktur kelembagaan dan praktik ritual. Berdasarkan struktur kelembagaan desa, Bali mengenal dua sistem desa, yaitu desa dinas dan desa adat. Walaupun Undang-Undang Desa mengakui satu untuk kepentingan administrasi negara, di Bali keduanya sama-sama jalan. Dalam menghadapi Covid-19, gerak desa dinas dan desa adat seiring sejalan.
Kerumunan dan jaga jarak menjadi kunci sebagai pencegahan penyebaran. Sementara umat Hindu Bali tengah mempersiapkan rangkaian upacara menjelang Nyepi, 25 Maret 2020. Pemerintah setempat bersama PHDI Bali langsung memutuskan tidak menggelar rangkaian upacara-upacara dengan kerumunan umat. Upacara Melasti ke pantai hanya boleh dilakukan cukup dengan memilih utusan untuk meminimalkan peserta. Umat lainnya dipersilakan berdoa dari rumah masing-masing.
”Ini menjadi pertama kali, upacara Melasti yang biasanya diikuti ribuan orang ke pantai-pantai, sepi. Keputusan ini dengan cepat bisa diambil dan disosialisasikan dengan sistem: dari, oleh, dan untuk desa adat,” kata Darma Putra.
Begitu pula rangkaian menjelang malam penyepian ditandai dengan pawai ogoh-ogoh pun ditiadakan. Semua ogoh-ogoh tak ada satu pun diarak. Tradisi omed-omedan di Desa Sesetan, Kota Denpasar, pun seusai Nyepi ditiadakan.
Menurut Darma Putra, struktur kelembagaan dan praktik ritual seperti bentuk dan isi. Kelembagaan mengambil keputusan dan menyosialisasikan, sementara isinya adalah praktik adat atau ritual keagamaan.
Jika dilihat secara spesifik, ritual keagamaan bermakna dua, yaitu menyampaikan rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas anugerah serta berkah-Nya dan memohon perlindungan ke depan agar manusia tetap selamat, jauh dari marabahaya, bencana.
Ketika terjadi gunung meletus, wabah seperti sekarang, sistem ritual masyarakat Hindu Bali telah menyediakan formula untuk bersyukur dan mohon perlindungan ke depan. Agama Hindu seperti bisa dilihat dari praktik ritual memiliki dua ciri utama: simbolis dan ekspresif (estetik). Kedua ciri ini memberikan anugerah kepada Bali sebagai daerah dan masyarakat yang kaya akan seni: seni visual, seni pementasan, dan kini sedang tumbuh seni digital.
Tak ada ritual tanpa seni, tak ada seni tanpa ritual. Penari Bali memancangkan dupa di mahkota, sembahyang sebelum pentas. Hal ini sebagai contoh lain, setiap ritual atau upacara yang menengah ke atas selalu diiringi seni, selalu ada topeng sidakarya atau wayang atau hiburan bondres dalam berbagai upacara orang Hindu Bali. Gamelan dan kidung juga kesenian yang selalu mengiringi ritual.
Kembali ke praktik ritual yang simbolis, lanjut Darma Putra, masyarakat Hindu Bali menunjukkan bagaimana ritual pembersihan dan penyucian yang, misalnya jatuh Maret lalu, seperti Melasti dan Nyepi, yang ditandai rangkaian ritual yang simbolis, kompleks, dan berseries dijadikan masyarakat Bali untuk memohon keselamatan.
Simbol lainnya untuk menghalau pagebluk korona ini, masyarakat diimbau memasang pandan berduri dengan unsur bawang, benang tridatu (warna tiga: merah, putih, hitam), dan beberapa unsur lainnya, untuk membentengi rumah agar bencana tidak menyerang masuk. Masyarakat mendapat tirta (air suci) untuk diperciki ke setiap insan dan wilayah rumah agar bebas dari serangan virus.
Segala hal serentak memasang pandan berduri serta unsur lainnya ini bagian dari wujud bakti sebagai umat serta masyarakat. Apalagi ketika pesan spiritual melalui pejenengan Puri Agung Klungkung memunyi (berbunyi). Percaya tidak percaya, bunyi dipercaya sebagai pertanda agar warga Pulau Bali berhati-hati dan waspada.
Pejenengan itu serupa kul-kul (bentuknya mirip kentungan tetapi terbuat dari kayu berukuran lebih besar) dan merupakan seruan untuk masyarakat ketika dipukul. Kul-kul ini dibangun tidak hanya di puri, tetapi juga di pura dan balai banjar.
Hanya saja, bunyi pejenengan itu bukan dibunyikan seperti halnya kul-kul yang dipukul manusia. Pejenegan itu berbunyi secara magis dan hanya didengar warga terpilih saja. Jadi, bunyinya tidak terdengar secara fisik dan tidak semua orang yang berada dekatnya dapat mendengarnya.
Nah, Bulan April lalu, sejumlah orang terpilih mendengar pejenengan ini berbunyi. Tak hanya orang pilihan di Kabupaten Klungkung, tetapi juga didengar orang pilihan hingga ke Kabupaten Badung yang jaraknya lebih dari 40 kilometer. ”Saat pejenengan berbunyi, saya mendengarnya di rumah tetapi ibu saya tidak mendengarnya,” cerita Wayan Kus, warga Badung.
Bunyi spiritual pejenengan Puri Agung Klungkung ini pernah didengar beberapa hari sebelum tragedi bom Kuta tahun 2002. Begitu pula saat Gunung Agung sebelum erupsi pada 27 November 2017. Sekarang, saat pendemi Covid-19, pejenengan berbunyi dan didengar oleh mereka yang terpilih. Mereka pun patuh dan membuat bebantenan bersama serentak dengan harapan shanti gumi (damai bumi) Bali.
Dharma Putra menambahkan, semua elemen ritual itu, terutama yang paling nyata adalah pandan berduri dan nasi wong-wongan, adalah simbol. Wong artinya manusia. Jadi, nasi wong-wongan adalah simbol manusia yang dihaturkan kepada kekuatan destruktif, dalam hal ini pendemi korona. Jika virus datang menyerang manusia penghuni rumah, diharapkan dengan wong-wongan itu. Virus diharapkan cukup puas memangsa nasi wong-wongan sehingga manusia penghuni rumah selamat. Semuanya dipahami sebagai keyakinan dan cara berpikir simbolik.
Dalam konsep keyakinan Hindu, ada konsep dewa dan buta (raksasa). Yang pertama baik, yang kedua jahat. Namun, yang jahat pun harus ”dihormati” agar tidak mengganggu keselamatan manusia. Makanya, diberikan nasi, santapan, atau dalam bahasa Bali-nya ”laba”’ (artinya ’makanan’), agar kekuatan jahat itu tenang tidak menghancurkan. Konsep dikotomi Hindu menghormati dua kekuatan bertentangan: siang-malam; hitam-putih; dewa-buto.
Namun, jika kita lihat dengan logika modern, persembahaan pandan berduri hingga nasi wong-wongan itu adalah hal yang lazim dalam praktik adu kekuatan atau solusi konflik dalam masyarakat modern. Misalnya perukaran tawanan perang sebagai bentuk diplomasi demi menuju damai adalah contohnya.
Persembahan wong-wongan kepada kekuatan ”Covid” justru bernilai lebih strategis. Istilahnya seakan ”tukar tawanan” dengan menyajikan manusia simbol, bukan manusia sungguhan. Artinya, ”wong-wong” atau manusia sungguhannya harus selamat. ‘Raksasa’ Covid ini cukup puas menikmati ”wong-wongan” simbol saja.
Efektivitas ritual Hindhu dalam bentuk memercikkan air suci dan memasang pandan berduri masih harus dibuktikan. Namun, sejauh ini, yang jelas, Bali dikhawatirkan akan menghadapi ledakan positif kasus korona karena Bali adalah ”benteng terbuka” di mana penerbangan dan wisatawan masih lalu lalang.
Bulan Februari-Maret 2020, ketika kasus Covid-19 menyerang seluruh negara di dunia, sampai sekarang jumlah korban di Bali tidak sebanyak di daerah lain. Data per 15 Mei 2020, di Bali tercatat 337 orang positif, sembuh 223 orang, dan meninggal 4 orang. Berdasarkan jumlah pasien positif, Bali berada pada urutan kesepuluh di Indonesia
Kalau ada berita di Asia Times menyebutkan Bali memiliki imunitas misterius, mungkin logika kepercayaan bisa menjelaskan bahwa itu tidak misterius sama sekali, tetapi karena ada logika ritual dan sosial yang mendasarinya. Lembaga adat, dinas, dan desa telah menjadi apa yang saya istilahkan sebagai influencer, lebih tepatnya collective influencer yang dengan efektif bisa meneruskan informasi dan langkah yang harus dilakukan. Tanpa collective influencer, bisa jadi mekanisme melawan korona amburadul.
Hal ini karena warga Bali suka keramaian dan bersama-sama, budaya menyama braya (kebersamaan), mulai dari sangkep (rapat), membuat jejahitan (anyaman) untuk sesaji, hingga upacara agama/adatnya pun bersama-sama. Ya, budaya kebersamaan ini menjadi pertimbangan serius untuk mencegah penyebaran virus ini. Masyarakat Bali, khususnya kaum perempuan yang biasa menyiapkan jejahitan bebantenan itu, bisa berhari-hari bersama.
Dalam satu upacara adat, terutama yang skalanya besar, persiapan jejahitan itu bisa lebih dari sebulan sebelum hari-H. Jadi, kerumunan bersama jejahitan ini bisa dibayangkan berhari-hari dan begitu pula ketika upacara itu pun diselenggarakan. Upacaranya pun sendiri dilakukan bisa prosesinya lebih dari sepekan. Menyadari hal itu, pemerintah segera sigap mengimbau tidak ada arak-arakan ogoh-ogoh sebelum Nyepi, tidak ada keramaian yang melibatkan umat saat upacara Melasti. Pembatasan orang saat ada seseorang meninggal dan diharapkan adanya penundaan acara pernikahan.
Para pejabat desa gotong royong tak henti-hentinya mengingatkan warga agar mengurangi frekuensi bepergian, memakai masker, serta cuci tangan. Gaya budaya Bali pun beragam untuk dipraktikkan dalam situasi apa pun. Tak hanya untuk menghalau Covid-19, tetapi juga dapat menghalau jenuh. Mesatua atau mendongeng dengan bahasa Bali menjadi salah satu alat untuk itu.
”I cicing lua muani girang maan mamahan melah marupa empas. Nanging I angsa lua muani kalintang sedih tur masemu angen mapan sawitrané tusing pesan satia tekéning semaya mawastu ngemasin mati. Ditu mapineh-mapineh, mula saja munyin panglingsiré nguni. Ulian raos nemu ayu, ulian raos nemu sengkala. Nah, patut resepang ajak makejang, dija pantesné raga ngomong, dija pantesné iraga siep tur nengi. Rahayu tunas jro!”
Cuplikan cerita dalam bahasa Bali ini menjadi salah satu yang dipakai Kepala Desa Kukuh, Kabupaten Tabanan, Made Sugianto menarik perhatian. Ia memilih cara mesatua untuk menyampaikan sosialisasi kepada warganya.
Cerita lain yang dipakai untuk sosialisasi berupa cerita ”Angsa dan Kura-Kura”. Inti ceritanya adalah Kura-Kura yang ingkar janji kepada Angsa. Karena tidak taat, Kura-Kura jatuh dan mati. ”Begitu pula Covid-19. Kalau warga semua tidak taat, karma buruk yang akan diterimanya” kata Sugianto.
Lagi-lagi, simbol diharapkan mampu menjadi salah satu cara membantu menghalau penyebaran korona. Mengajak warga taat sehingga pendemi segera berlalu. De bengkung nah. Ngoyong jumah malu, nggih (Jangan bandel ya. Tinggal di rumah dulu, ya).