Naturalisasi Vs Normalisasi, Mana Lebih Baik?

Banjir besar kembali melanda Ibu Kota dan sekitarnya. Banjir memang sudah terjadi sejak zaman Jakarta masih bernama Batavia. Namun, tentu saja bukan alasan untuk terus dimaklumi.

Jarak waktu yang terentang, perkembangan teknologi, rupanya tidak juga mengubah perilaku dan cara pandang terhadap sungai. Sungai masih dianggap sebagai ”tempat sampah”, selain sebagai area yang bisa seenaknya diokupasi untuk memperluas permukiman, kawasan komersial, hingga industri.

Ego sektoral membuat para pihak lengah terhadap fokus melindungi masyarakat melalui upaya pengendalian banjir yang maksimal. Bencana banjir (dan longsor) di Jabodetabek awal tahun ini, menyebabkan 60 orang meninggal, dua hilang, lebih dari 100 ribu jiwa mengungsi, dan hampir 500.000 warga terdampak, berdasarkan data BNPB hingga Minggu (5/1/2019).

Tentunya bukan tidak terlihat upaya untuk mencari solusi penanganan banjir. Saat ini, ada dua konsep yang seakan saling ”bersaing” sebagai solusi ampuh untuk mengendalikan banjir. Sebenarnya, keduanya bisa dibilang beda prinsip, tetapi satu tujuan.

Baik normalisasi maupun naturalisasi sama-sama bertujuan meningkatkan kapasitas sungai dan mengembalikan lebar sungai. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga penting sebagai bahan pertimbangan untuk penerapannya di Jabodetabek.

Istilah normalisasi mulai ”naik daun” sejak penertiban kawasan Kampung Pulo pada 2016. Saat itu, 300 warga di kampung tersebut yang rumahnya berlokasi di bantaran Sungai Ciliwung direlokasi ke Rumah Susun Jatinegara Barat, Cipinang Besar Selatan, dan Pulo Gebang.

kompas/raditya helabumi
Pengerjaan proyek normalisasi aliran Sungai Ciliwung yang membelah permukiman padat Kampung Pulo, Jakarta Timur dan Bukit Duri, Jakarta Selatan, Senin (18/1/2016).