Pepohonan yang mengisi tepian rawa dan sungai pernah menjadi rumah kedua bagi Dahamid (60). Ia kerap memanjati dahan yang melintang di atas air. Berdiam di sana untuk mengintai ikan-ikan yang melintas.
”Satu ekor saja sudah cukup. Bisa langsung dibawa pulang,” kenang Dahamid, petani Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Rabu (8/12/2021).
Hasil buruan ikan di masa lalu besar-besar ukurannya. Satu ekor bisa berbobot 2-3 kilogram.
Tradisi menombak ikan dalam bahasa lokalnya disebut batelek. Agar mudah mendapatkan buruan yang baik, petani harus terlebih dahulu berburu tempat, yakni di atas dahan-dahan pohon rendah. Letaknya di tepian sungai berair tenang.
Dari atas dahan yang rendah itulah ia bagaikan bunglon yang tengah mengamati ikan buruannya melintas di bawah air. Tombak kayu sepanjang 4 meter dipegangnya penuh siaga. Ketika mangsa tampak lengah, mata tombak yang berbentuk seperti mata kail runcing cepat-cepat ditancapkan. Gerakan secepat kilat itu tak mampu dielakkan. Sang mangsa siap menjadi santapan di atas meja.
Selain batelek yang bertujuan mendapatkan ikan besar, Dahamid sesekali menangkul. Dengan menggunakan jaring angkat atau disebut tangkul, ia bisa mendapatkan ikan-ikan yang lebih kecil ukurannya. Cocok untuk disambal goreng ataupun digulai.
Tombak dan tangkul yang diwariskan turun-temurun itu tengah terancam. Tradisi batelek dan menangkul ikan bersiap punah seiring rawa-rawa dan sungai yang makin mengering oleh pembangunan monokultur. Kondisi itu pun belakangan diperparah oleh sebuah proyek normalisasi sungai.
Belum lama, Sungai Jambi, jalur sungai tua yang bermuara ke Batanghari, mengalami pengerukan masif atas nama normalisasi. Proyeknya selesai pada Oktober lalu. Dikerjakan oleh Satuan Kerja Pengelolaan Sumber Daya Air Sumatera.