Bagaimana Nenek Moyang Kita Melawan Wabah?

Wabah penyakit menjadi momok menakutkan di banyak negeri, tidak terkecuali di sini. Seabad silam pernah terjadi wabah kolera yang mendera masyarakat Sumatera. Kisahnya dimulai dari Jambi. Di balik itu, wabah telah melahirkan tatanan baru sebagai bentuk antisipasi agar wabah tidak terjadi lagi.

Di Jambi, wabah kolera bolak-balik terjadi pada periode 1882-1911. Tidak heran, jika tahun-tahun tersebut disebut sebagai tahun wabah. Dari Jambi, penyakit kolera menyebar ke sejumlah wilayah di Sumatera, mulai dari pesisir hingga ke pedalaman di hulu. Menelan korban hingga ribuan jiwa.

Kasusnya bahkan tercatat di media massa. Koran Het Nieuws Van Den Dag, 15 Oktober 1909 memberitakan wabah kolera di Karesidenan Jambi terus meluas ke pedalaman. Saat itu korbannya sudah mencapai 561 orang dan masih terus menyebar.

Surat kabar De Locomotive tanggal 6 September 1909 bahkan memberitakan kolera dari Jambi telah semakin jauh menyebar hingga ke hulu dan mengancam wilayah Padangsche Bovenlanden. Ada juga yang menyebut sebarannya telah mengakibatkan wabah serupa di Sumatera Selatan.

Hingga akhir tahun 1909, korban meninggal akibat kolera di Jambi mencapai 2.200 orang. Wabah baru berhenti setelah dilakukan penanganan serius. Petugas mendisinfeksi rumah dan lingkungan para penderita. Pengobatan intensif diberikan oleh rumah sakit, termasuk distribusi obat dan bahan makanan ke wilayah pedalaman yang terkena wabah.

Dokter spesialis penyakit dalam asal Belanda, Abraham Albert Hijmans, dalam artikelnya di koran Het Nieuws Van Den Dag, 7 Agustus 1909, menyoroti fenomena wabah tersebut. Penelusurannya di pedalaman Jambi dituangkan dalam tulisan berjudul ”Epidemi Kolera di Jambi”.

delpher
Iklan tentang obat kolera di surat kabar pada masa Hindia Belanda.

Ia menyimpulkan, wabah tersebut merebak akibat kondisi lingkungan dan gaya hidup. Kebiasaan masyarakat yang tinggal di tepi Sungai Batanghari sangat rentan terkena penyakit.