Noken, Warisan Budaya Papua untuk Dunia

Noken bukan sekadar tas tradisional dari rajutan kulit kayu. Noken yang telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda ini merupakan simbol perwujudan sikap saling menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat.

Pagi-pagi sekali, seribuan perajin noken telah memenuhi Gedung Serbaguna Karel Gobay di Kabupaten Nabire, Papua, Sabtu (4/12/2021). Mereka tak hanya berasal dari Nabire, tetapi juga dari kabupaten lainnya seperti Paniai. Mereka berada di sana untuk memperingati Hari Noken Sedunia yang tahun itu masuk tahun ke-9.

Tak lama, para ibu yang biasa disebut mama perajin noken dengan riang gembira menyambut kedatangan Titus Pekei dengan tarian dan nyanyian. ”Selamat datang presiden noken Papua,” sambut mereka.

Titus adalah pencetus noken diusulkan sebagai warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) ke UNESCO, badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Tidak sia-sia, noken yang biasa dipakai masyarakat dari berbagai suku di tanah Papua ini akhirnya ditetapkan sebagai warisan dunia tak benda pada 4 Desember 2012.

Titus kemudian diajak berkeliling area halaman gedung untuk melihat pameran noken hasil karya mama-mama perajin. Sebuah perayaan sederhana dari mama-mama perajin agar masyarakat tetap mengingat noken sebagai warisan masyarakat Papua.

”Saya sangat terharu hingga meneteskan air mata karena apresiasi dari mama-mama perajin noken di Gedung Karel Gobay. Mereka sangat bangga bisa menghasilkan karya dari tanah Papua yang kini berstatus warisan dunia tak benda,” ungkap Titus.

Noken digunakan oleh 250 suku yang tersebar di tujuh wilayah adat di Papua dan Papua Barat, yakni Domberay, Bomberay, Meepago, Saerari, Mamta, La Pago, dan Anim Ha.

Titus, yang juga pendiri Yayasan Ekologi Papua, meneliti tentang noken tahun 2008 hingga 2010. Hasil penelitian ini yang kemudian digunakan sebagai modal untuk mendaftarkan noken ke UNESCO.

Noken adalah tas rajutan khas Papua berbahan serat kulit kayu dari pohon genemo (melinjo), mahkota dewa, daun pandan, atau batang anggrek. Serat-serat itu kemudian diproses menjadi benang lalu dirajut atau dianyam menjadi tas. Diperlukan waktu dua minggu hingga sebulan untuk menyelesaikan sebuah noken.