Awalnya angkringan bukan tempat untuk nongkrong, melainkan hanya sekadar penjual dagangan yang berkeliling.
Menikmati makanan dan minuman sambil nongkrong di angkringan, wedangan, warung koboi, warung sego kucing, atau apa pun sebutannya, ibaratnya menikmati hidangan dalam kesederhanaan dan kesamarataan. Hidangan yang disajikan selain dikenal harganya lebih ramah di kantong, penjual dan antarpembeli menjadi sama derajatnya tanpa batasan atau status sosial.
Mbah Karso Dikromo yang mudanya dipanggil Jukut dari Desa Ngerangan, Klaten, Jawa Tengah, merantau bekerja ke Solo sambil berjualan terikan (semacam daging berkuah) dengan memakai pikulan pada 1930-an. Pada 1943, Mbah Karso berinisiatif menambah menu minuman dan memodifikasi pikulannya. Di pikulan ini juga tersedia “nasi kucing”, sebutan untuk nasi sekepal tangan dengan sedikit lauk. Di kemudian hari, “nasi kucing” menjadi makanan khas di setiap angkringan. Mbah Karso memperbanyak angkringan modifikasi, kemudian mengajak warga kampung dari Klaten untuk berdagang di sekitar Solo. Masyarakat Solo lebih mengenal pedagang ini dengan sebutan ”hik” (dibaca hek) karena penjual memutari kampung dan menjajakan dagangannya dari petang hingga malam sambil berteriak ”heeeeek….!!”.
Saat ini, sebutan “hik” juga dikenal dari akronim hidangan istimewa kampung. Penjual “hik” kemudian disebut juga wedangan ketika mereka tidak lagi berkeliling, tetapi berhenti di sudut perempatan atau tepi jalan. Wedang berarti minuman yang diseduh air panas. Pada awalnya, pedagang wedangan memang belum menjual minuman dingin.
Pada awal 1950-an di Yogyakarta, pedagang “hik” lebih akrab dengan nama angkringan yang menjajakannya sudah berhenti di pinggir jalan. Meski bentuk dagangannya sama, ada juga yang menyebut warung koboi atau sego kucing.
Pikulan Angkringan Berjualan di Tempat
Awal 1980-an, pedagang angkringan mulai tumbuh subur di wilayah Solo dan Yogyakarta. Banyak pedagang angkringan buka dari petang hingga subuh, bahkan sampai pagi hari.