Era modern telah mengubah wajah perfilman Tanah Air. Begitu pula rumah-rumah film lawas yang perlahan menua. Satu per satu menghilang. Hanya sedikit yang mampu bertahan demi memupuk nostalgia.
Generasi baby boomers yang lahir antara tahun 1944 dan 1964, atau generasi X yang kini berusia 41-55 tahun, tentu akrab dengan suasana bioskop zadul (zaman dulu). Kala itu, ruangan bioskop yang besar tak berpenyejuk ruangan, tetapi tetap diminati karena membawa kita pada dunia lain.
Hingga pengujung 1990-an, bioskop, termasuk bioskop keliling, boleh dibilang satu-satunya tempat hiburan rakyat. Poster dan baliho film yang terpampang di depan bioskop selalu menyita perhatian orang. Mengundang penasaran untuk menonton.
Masuk jam tayang, kamar layar disambangi penonton. Kala itu, meski belum berpenyejuk ruangan, bioskop hampir selalu terisi penuh.
Di tengah keseruan film laga, adegan duel kerap memancing reaksi. Tak jarang penonton spontan berdiri sembari menyorong-nyorongkan tangannya. Memberi dukungan kepada sang jagoan. Alhasil, seisi bioskop makin riuh. Film laga biasanya berakhir dengan kemenangan aktor utama.
Menonton film di bioskop kala itu mampu membangkitkan totalitas emosi. Tak lain karena bioskopnya rasa rumahan.
Setelah film tamat, penonton keluar dari ruangan bioskop dengan pakaian lengket oleh keringat. Namun, wajah-wajah mereka menampakkan kelegaan. Sebab, film berakhir dengan kemenangan sesuai harapan.
Menonton film di bioskop kala itu mampu membangkitkan totalitas emosi. Tak lain karena bioskopnya rasa rumahan. Di tengah adegan lawak, suasana bioskop riuh oleh tawa. Celoteh penonton saling menimpali isi dialog.
Satu ketika, saat film sedang seru-serunya, mesin film tiba-tiba macet. Penonton spontan mengaduh. Tak jarang petugas penjaga proyektor diteriaki, menjadi sasaran luapan emosi penonton yang kesal.