Nostalgia Lewat Semangkuk Bakso

Semangkuk bakso bisa membuat kita bernostalgia sejenak. Lewat kehangatannya, kita diingatkan pada seseorang, momen tertentu, atau kenikmatan rasa yang berkesan. Eksistensinya tak hanya dikenal di dalam negeri, tetapi juga mancanegara. Selera masyarakat pun melebur dalam bakso.

Mendengar kata bakso, pikiran tertuju pada campuran mi kuning/bihun dan bola-bola daging yang disiram kuah kaldu panas ke dalam mangkuk. Kunci kenikmatan bakso tidak hanya dari pentolannya yang lezat, tetapi juga pada kuah kaldu yang menyegarkan.

Rasanya semakin sedap jika ditambahkan taburan irisan bawang merah goreng, daun bawang, dan seledri. Waduh, air liur berpotensi menetes jika membayangkan lebih lanjut.

Kapan biasanya Anda makan bakso? Apakah saat badan merasa tidak baik-baik saja, seperti demam atau masuk angin? Ketika rindu pada seseorang? Atau mungkin ketika tidak tahu lagi mau makan apa sehingga menjatuhkan pilihan pada bakso? Tak ada aturan yang mengikat kapan seseorang harus makan bakso.

Katanya, menyantap bakso bakal lebih nendang saat cuaca hujan atau dingin. Pilihan yang jitu ya. Setelah menyantapnya, tubuh diyakini menjadi lebih segar, rileks, dan gembira.

Elemen kaldu yang berasal dari rebusan daging atau tulang disebut oleh Michael Pollan dalam bukunya Cooked: A Natural History of Transformation (2013), yang mengutip Claude Lévi-Strauss (1908-2009), antropolog asal Perancis, yakni makanan yang direbus diidentikkan dengan memberi kehidupan dan penguatan ikatan keluarga.

Menurut dia, sup kaldu yang diracik dengan kesungguhan akan menghasilkan rasa yang lezat.

Semua perlengkapan merebus yang telah digunakan akan dibersihkan dan disimpan dengan hati-hati, sementara alat panggang tradisional justru dibiarkan saja.

Menurut dia, sup kaldu yang diracik dengan kesungguhan akan menghasilkan rasa yang lezat. Selama perebusan seluruh bahan, aroma yang dihasilkan bisa tercium hingga seluruh rumah.