Sebelum beras menjadi sumber karbohidrat utama sebagian besar orang di Nusantara, sagu adalah makanan pokoknya, bahkan termasuk di Jawa.
Sebelum beras menjadi sumber karbohidrat utama sebagian besar orang di Nusantara, sagu adalah makanan pokoknya, bahkan termasuk di Jawa. Beberapa bukti mendukung bahwa sagu menjadi makanan pokok, seperti pada relief candi Borobudur dan relief pohon aren di candi Jago (sagu di Jawa diperoleh dari pohon aren). Oleh karena itu, orang Jawa menyebut nasi sebagai sego, orang Sunda menyebut sangu, dengan dua kata tersebut berasal dari kata sagu. Sagu merupakan tanaman asli Indonesia dan menjadi salah satu komoditas ekspor yang cukup menghasilkan. Indonesia merupakan negara terbesar ke-2 di dunia setelah Brasil dalam hal keanekaragaman hayati, termasuk sumber pangan. Ada sekitar 77 sumber karbohidrat di Nusantara, salah satunya adalah sagu.
Sebagai sumber pangan lokal, sagu belakangan mulai terlupakan. Perubahan konsumsi tradisional dari sagu menjadi nasi terjadi secara nasional terkait kebijakan pangan nasional di masa lalu. Padahal, dari aspek kesehatan, ekologi, budaya, dan ketahanan pangan, penyeragaman pangan menjadi beras menimbulkan masalah lain.
Potensi produksi sagu nasional mencapai 27 juta ton per tahun, tetapi hanya sekitar 350.000-500.000 ton pati sagu yang dihasilkan. Sagu dapat dipakai sebagai alternatif untuk menekan konsumsi beras dan terigu.
Selain untuk konsumsi dalam negeri, sagu juga menjadi komoditas ekspor Indonesia. Tahun 2018, volume ekspor sagu Indonesia mencapai 12,9 juta ton dengan nilai mencapai 3,2 juta dollar AS.
Pohon sagu (Metroxylon sp.) juga dikenal dengan pohon rumbia, biasanya tumbuh di wilayah dengan kadar air cukup tinggi, seperti rawa serta tepian sungai. Tinggi pohon dapat mencapai 25 meter dengan diameter batang antara 70-100 cm. Panjang batang yang dapat dipanen mencapai 8-16 meter.