Pejuang Garis Depan Melawan Musuh Tak Kelihatan

Ibarat tentara, para tenaga kesehatan saat ini berada di barisan terdepan menangani serbuan musuh. Bedanya, musuh yang dihadapi adalah musuh yang tidak kelihatan, berukuran nano, yaitu virus korona.

Sebagai barisan terdepan penanganan Covid-19, tenaga kesehatan menjadi barisan paling berisiko terpapar penyebaran virus korona. Tidak hanya itu, potensi menjadi carrier penyebaran virus juga turut menambah berat beban mental para dokter dan perawat.

Hasil jajak pendapat Kompas menggambarkan, sebagian besar responden (81,6 persen) tetap menerima keberadaan tenaga kesehatan di sekitar lingkungannya. Penerimaan sosial yang positif tersebut sekaligus menjadi wujud dukungan psikis kepada tenaga kesehatan, seperti dokter dan perawat.

Bahkan, jika dibutuhkan, hampir separuh responden (49,6 persen) menyatakan bersedia menjadi sukarelawan untuk membantu tenaga kesehatan dalam menangani pandemi Covid-19. Hal ini menyiratkan daya dukung masyarakat kian menguat kepada tenaga kesehatan.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga membawa bermacam poster untuk menyambut tenaga medis yang akan menempati Gedung Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Yogyakarta, Kamis (16/4/2020). Tempat itu disediakan untuk menampung tenaga medis yang menangani pasien Covid-19.

Tenaga kesehatan berada di garda terdepan sekaligus harapan bagi publik dalam melawan Covid-19. Keyakinan akan kemampuan para tenaga kesehatan juga tergambar dari hasil jajak pendapat yang menyatakan lebih dari 77 persen responden meyakini bahwa tenaga kesehatan akan mampu mengatasi pandemi korona ini.

Para tenaga kesehatan memang layak menyandang gelar sebagai pahlawan kesehatan. Di Jakarta, misalnya, 174 tenaga kesehatan telah terinfeksi Covid-19 hingga pekan kedua April lalu. Sementara 23 orang di antaranya telah dinyatakan sembuh.

Jika ditotal secara nasional, 44 tenaga kesehatan meninggal di tengah pandemi ini hingga pekan ketiga April. Tak hanya dokter spesialis, dokter gigi dan perawat juga tak luput terinfeksi Covid-19.

Menurut catatan Persatuan Dokter Gigi Indonesia, 6 dokter gigi meninggal selama pandemi ini. Sementara terdapat 15 perawat yang juga meninggal hingga 19 April lalu.

Memang, tidak semua tenaga kesehatan meninggal karena merawat secara langsung pasien Covid-19. Beberapa di antaranya meninggal saat berstatus pasien dalam pengawasan.

Namun, kondisi ini menjadi lampu kuning bagi Indonesia, mengingat tenaga mereka amat dibutuhkan untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Saat kehilangan satu dokter ahli, butuh waktu yang tak sebentar untuk menunggu lahirnya dokter ahli berikutnya.

Rasio tenaga kesehatan

Sebagai ibu kota negara, DKI Jakarta memiliki jumlah tenaga kesehatan paling banyak dibandingkan dengan provinsi lain. Dengan penduduk 10,4 juta jiwa, DKI Jakarta memiliki 6.602 dokter umum, 7.165 dokter spesialis, dan 28.856 perawat.

Kompas/Rony Ariyanto Nugroho
Bekas tapak kacamata pelindung di kening salah satu tenaga medis usai bertugas melaksanakan tes usap Covid-19 di Stasiun Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Senin (11/5/2020).

Jumlah dokter spesialis di DKI Jakarta justru lebih banyak dibandingkan dengan dokter umum, sebagaimana terdapat di provinsi lain. Di DKI Jakarta terdapat 65 dokter umum, 68 dokter spesialis, dan 285 perawat yang siap melayani per 100.000 penduduk DKI Jakarta. Dengan kata lain, terdapat 6-7 dokter umum dan spesialis yang siap melayani 10.000 penduduk DKI.

Hingga awal Mei, DKI Jakarta masih tercatat sebagai provinsi yang paling terdampak Covid-19. Jumlah kasus positif per hari selalu bertambah. Meskipun demikian, kabar baiknya adalah jumlah korban meninggal sejak pekan keempat April hingga awal Mei menunjukkan penurunan.

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2017 menyebutkan, rasio dokter di Indonesia 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Artinya, Indonesia memiliki 4 dokter yang melayani 10.000 penduduk. Amerika Serikat dengan kasus Covid-19 terbanyak memiliki rasio 2,5 dokter per 1.000 penduduk atau dengan kata lain memiliki 25 dokter untuk melayani 10.000 penduduk.

Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah guna meningkatkan kapasitas dan jumlah dokter untuk melayani kesehatan masyarakat. Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia belum sebanding dengan jumlah kepadatan penduduk dan luasnya geografis di negara ini. Indonesia masih kekurangan banyak tenaga dokter.

Kompas/Heru Sri Kumoro
Petugas medis merawat pasien Covid-19 di Rumah Sakit Pertamina Jaya, Jakarta Pusat, Kamis (30/4/2020). RSPJ menyediakan 160 tempat tidur (bed) dan 65 ruang isolasi untuk pasien Covid-19.

Belajar dari negara lain

Di tengah situasi genting ini, bukan berarti tidak ada hal baik yang bisa dipelajari untuk mengatasi pandemi. Para tenaga medis bisa belajar dari pengalaman tenaga medis di negara lain yang cukup efektif menangani pasien korona lewat platform Global MediXchane. Kanal yang diinisiasi The Jack Ma Foundation dan Alibaba Foundation ini menyediakan ruang komunikasi dan kolaborasi antartenaga medis di dunia untuk berbagi pengalaman dalam memerangi pandemi Covid-19.

Selain itu, berkaca dari keberhasilan negara lain dalam menangani wabah juga bukan hal yang sulit. Negara tetangga Singapura, misalnya, menjadi salah satu negara yang dianggap memiliki tenaga medis yang disiapkan dengan baik untuk mengatasi pandemi Covid-19.

Tenaga medis di Singapura ditempatkan sebagai aset yang paling berharga dalam skema penanganan wabah. Menteri Kesehatan Singapura Gan Kim Yong, dalam pernyataan resminya di laman Kementerian Kesehatan Singapura pada 25 Maret 2020, menempatkan tenaga medis sebagai sumber daya terpenting dalam menghadapi wabah. Ia memastikan ketersediaan alat pelindung diri (APD), kesehatan fisik dan mental staf medis, serta menyediakan akomodasi yang diperlukan untuk tetap menjaga kehidupan tenaga medis.

Partisipasi publik

Untuk memenuhi segala keperluan bagi tenaga kesehatan, pemerintah dan masyarakat di daerah tidak hanya berpangku tangan menanti bantuan. Sinergi dilakukan antara pemerintah dan masyarakat sipil untuk mencukupi kebutuhan APD bagi setiap tenaga kesehatan.

Kompas/Alif Ichwan
Pekerja mencoba dan memeriksa jahitan alat pelindung diri (APD) di konveksi rumahan, Depok, Jawa Barat, Senin (1/4/2020). Sejumlah relawan memberikan sumbangan untuk memproduksi APD untuk dibagikan kepada tenaga medis.

Berbagai bentuk partisipasi publik muncul, mulai dari membuat hand sanitizer secara mandiri hingga membuat alat pelindung diri bagi tenaga medis untuk diberikan secara cuma-cuma.

Partisipasi lain berupa menyediakan tandon air berikut sabun cuci tangan yang bisa digunakan masyarakat umum atau membuat masker kain untuk dibagikan secara gratis ke masyarakat setempat. Ada pula upaya menyediakan makanan gratis untuk ojek ataupun kurir hingga penggalangan dana untuk menyediakan peralatan APD bagi tenaga medis dan yang paling membutuhkan.

Partisipasi masyarakat membangun ketahanan sosial secara mandiri terbangun untuk melawan Covid-19. Kekompakan dan keinginan untuk berbuat sesuatu guna memecahkan masalah yang dialami bersama muncul.

Semua berasal dari keprihatinan adanya kasus positif Covid-19. Semangat dan antusiasme untuk melakukan sesuatu yang sangat bermakna lahir dalam bentuk yang berbeda-beda.

Melalui perlengkapan yang dimiliki tiap-tiap warga, hand sanitizer dan cairan disinfektan akhirnya berhasil dibuat secara mandiri. Hand sanitizer bukan hanya untuk pencegahan terjangkitnya Covid-19, tetapi juga sebagai penggunaan harian dalam menangkal virus dan bakteri.

Selain mencuci tangan dengan sabun dan hand sanitizer, penggunaan disinfektan juga diperlukan untuk membunuh berbagai jenis virus dan bakteri, termasuk Covid-19. Cairan disinfektan disemprotkan untuk membersihkan permukaan benda-benda yang paling sering disentuh orang banyak, seperti gagang pintu, meja, kursi, keran wastafel, dan lemari.

Insentif bagi tenaga kesehatan

Selain APD, dukungan juga diberikan oleh pemerintah pusat hingga daerah dalam bentuk insentif dana atau tambahan honor. Dari pemerintah pusat, insentif diberikan kepada dokter spesialis sebesar Rp 15 juta per bulan dan dokter umum atau dokter gigi sebesar Rp 10 juta per bulan.

Sementara bidan dan perawat juga mendapatkan insentif Rp 7,5 juta per bulan. Bagi tenaga kesehatan lainnya, pemerintah juga memberikan tunjangan Rp 5 juta per bulan. Tunjangan ini diberikan kepada daerah yang menetapkan status tanggap darurat Covid-19.

Selain pemerintah pusat, pemerintah daerah juga turut memberikan tunjangan bagi tenaga kesehatan. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, misalnya, memberikan tunjangan Rp 215.000 per hari. Tunjangan ini diberikan kepada setiap tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19.

Sementara itu, Pemprov Jawa Timur memberikan tunjangan bagi tim tenaga kesehatan yang merawat pasien rawat inap sebesar Rp 15 juta per pasien dan pasien rawat jalan Rp 7 juta. Tunjangan diberikan sebagai wujud penghargaan bagi mereka yang berjuang di garda terdepan.

Tunjangan yang tak kalah besar juga diberikan oleh Pemprov Banten. Dokter RSUD di Banten memperoleh insentif hingga Rp 75 juta per bulan. Bahkan, tunjangan juga diberikan kepada petugas penunjang umum lainnya senilai Rp 5 juta per bulan.

Bagaimanapun, tenaga medis memiliki peran yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien Covid-19. Dukungan dalam bentuk apa pun perlu diberikan sebagai stimulus bagi mereka yang berjuang untuk memenangi pertempuran melawan Covid-19.