Gelombang kedua pandemi Covid-19 di Tanah Air sejak Juni lalu yang diikuti melonjaknya kasus positif dan angka kematian meninggalkan warisan anak-anak yang kehilangan orangtuanya.
Ketika kasus melonjak tajam yang diikuti kematian yang semakin masif pada kelompok usia produktif, pandemi menjadi narasi yang memilukan bagi anak-anak yang kehilangan orangtua atau walinya.
Ditinggalkan selama-lamanya oleh ayah, ibu, atau bahkan kedua orangtua akibat terpapar Covid-19 membuat banyak anak menjadi yatim, piatu, atau yatim piatu dalam waktu singkat.
Fenomena anak menjadi yatim, piatu, atau bahkan yatim piatu ini bak ”pandemi tersembunyi” di tengah gelombang pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya ini tiba-tiba akrab terdengar di telinga, bahkan mungkin sangat dekat dengan kehidupan kita.
Kehilangan pengasuh dalam waktu singkat tak hanya meninggalkan luka dan trauma bagi penyintas, tetapi juga menjadikan masa depan mereka penuh ketidakpastian.
Menurut estimasi, setidaknya 1,8 juta anak di seluruh dunia kehilangan orangtuanya dalam sekejap akibat Covid-19. Angka itu diperoleh dari hasil studi Bank Dunia. Lebih dari separuhnya kehilangan wali utama mereka sekaligus. Artinya, sekitar 1,1 juta anak di dunia telantar tanpa diasuh oleh wali utama (orangtua atau kakek-nenek).
Tak hanya mengerikan dari segi jumlah, fenomena anak telantar akibat pandemi ini juga mengkhawatirkan karena terjadi sangat cepat. Estimasi Bank Dunia, selama 2020 terdapat 900.000 anak kehilangan pengasuh utama akibat Covid-19.