Memahami Papua bagian dari NKRI tidak lepas dari sejarah Nusantara, dengan Kerajaan Majapahit sebagai pemersatu. Pada masa itu, Irian Barat, atau Papua sekarang, disebut sebagai Majapahit kedelapan. Ini terungkap dalam buku Nagarakretagama karya Mpu Prapanca. Belanda hadir di Papua tahun 1528 ditandai dengan pendirian Benteng Fort du Bus di Teluk Triton. Saat kemerdekaan, bangsa Papua pun turut mengambil bagian dalam upaya mengusir penjajahan Belanda.
Prof Mohamad Yamin (1903-1962), sejarawan, sastrawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum RI, menulis, Irian Barat, atau Papua sekarang, bagian dari Kerajaan Majapahit pada abad XIV. Hal ini dibuktikan dengan apa yang telah ditulis Mpu Prapanca (1365) dalam buku Nagarakretagama, di mana Irian Barat merupakan Kerajaan Majapahit kedelapan.
Bunyi syair dalam buku Nagarakretagama itu, antara lain, disebutkan, ”Muwah tang I Gurun sanusa mangaram ri Lombok Mirah. Lawan tikang I saksakadi nikalum kahaiyan kabeh muwah tanah I Bantayan pramuka. Bantayan len Luwu teken
Udamakatrayadhi nikanang sanusapupul. I kang sakasanusanusa Makasar Butun Banggawan Kuni Ggaliyao Mwang I (ng) salayu Sumba Solot Muar
muwah tingang I Wandan Ambwan athawa Maloko Ewanin
ri Sran In Timur ning angeka nusatutur.”
Menurut para ahli bahasa, Majapahit telah menyatukan Nusantara dari Nusa Tenggara sampai Irian Barat, terbukti dari sebutan Lombok, Sumba, Makassar, dan Buton. Kemudian Ewanin, Sran, dan Timur adalah nama lain dari Onim, sedangkan Sran untuk nama daerah Kowiai. Kedua daerah ini terletak di Teluk Bintuni, Papua Barat saat ini, dan masuk daerah paling timur, kekuasaan Majapahit saat itu.
Sayangnya, Papua sejak dulu tidak mengenal kebudayaan tulisan. Tidak satu pun ditemukan prasasti untuk mengungkapkan daerah itu secara lebih rinci. Tidak ada satu petunjuk pun mengenai adanya kerajaan di Papua. Keterangan yang dihimpun sebelum bangsa asing datang ke Papua hanya diperoleh dari cerita rakyat dan adat istiadat masyarakat lokal.