Pariwisata dan MICE Indonesia Bersiap Bangkit

Tanpa perlu menunggu distribusi vaksin Covid-19, industri acara pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran atau MICE dan pariwisata harus mulai bangkit setelah lama lumpuh akibat pandemi.

Pandemi Covid-19 telah membuat pariwisata dan industri acara pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran atau meeting, incentive, convention, and exhibition atau MICE di Indonesia menjadi lesu. Jumlah kunjungan wisatawan domestik dan asing turun drastis di berbagai tempat. Di sisi lain, banyak acara  pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran harus dibatalkan atau diubah menjadi virtual untuk mencegah penularan Covid-19.

Namun, Indonesia tidak bisa lagi menunggu terlalu la dan berpangku tangan melihat kondisi ini. Sambil menunggu vaksin Covid-19 terdistribusi merata di seluruh Indonesia, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sudah membuat protokol CHSE (cleanliness, health, safety, environment friendly/kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan). Dengan protokol CHSE, aktivitas pariwisata dan MICE dapat mulai beraktivitas dengan normal dan bersiap untuk bangkit kembali.

”Penyelenggaraan acara pertemuan atau pameran masih bisa dilakukan dengan kondisi-kondisi tertentu. Dalam rangka pemulihan ekonomi dan kesehatan, apa pun kegiatan kita harus mengedepankan upaya mencegah penyebaran virus penyebab penyakit Covid-19,” kata Rizki Handayani, Deputi Pengembangan Produk dan Penyelenggara Kegiatan Kemenparekraf, Jumat (4/12/2020) di Jakarta.

Panduan CHSE menekankan penerapan prosedur standar pelaksanaan kegiatan MICE di luar jaringan dengan aturan teknis yang dapat disesuaikan oleh asosiasi atau lini bisnis terkait bidang MICE. Hal itu tentunya sepanjang tidak bertentangan dengan panduan CHSE dan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan ataupun lembaga berwenang lain, baik dalam maupun luar negeri.

Panduan tersebut juga menyesuaikan kebijakan terkait perkembangan atau kondisi kesehatan masyarakat dan panduan penyelenggaraan kegiatan MICE, baik nasional maupun internasional. Panduan ini sekaligus mendorong penerapan kearifan lokal serta kelestarian alam dan budaya pada kegiatan MICE yang menjadi ciri khas setiap destinasi penyelenggaraan acara.

Beberapa contoh panduan yang ditetapkan antara lain kewajiban penyelenggara kegiatan untuk menyediakan peralatan dan perlengkapan kebersihan dan kesehatan, seperti masker, sarung tangan, peralatan pengukur suhu tubuh (termometer digital terkalibrasi), kotak obat, penanda posisi berdiri dan duduk untuk menjaga jarak aman minimal 1 meter, serta tempat sampah khusus alat pelindung diri.

Semua penyelenggara diwajibkan mematuhi aturan standar protokol kesehatan, mulai dari memakai masker, tidak menyentuh wajah, mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer, menjaga etika batuk, hingga membawa alat ibadah sendiri. Kerja sama pengawasan hingga penanggulangan dengan pihak terkait juga diatur. Terakhir, menerapkan keberlanjutan lingkungan dengan mengelola sampah dari penyelenggaraan acara.

Sejak dirilis September lalu, aturan CHSE telah disosialisasikan ke banyak daerah secara virtual. Namun, itu saja tidak cukup. Kemenparekraf dan tim yang terlibat dalam sosialisasi sampai akhir 2020 ini mengadakan simulasi di lima daerah yang biasa menyelenggarakan banyak kegiatan MICE, yaitu Bali, Yogyakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Kegiatan simulasi yang dipantau hingga selepas penyelenggaraan itu diklaim aman karena tidak memunculkan kluster penyebaran. Tahun depan, Kemenparekraf berencana membuat lebih banyak lagi simulasi acara MICE yang menerapkan CHSE, dengan kerja sama pemerintah daerah dan swasta.

”Kalau tidak disimulasikan, orang tidak akan tahu implementasinya. Kami yakin, ke depan, kegiatan MICE akan tetap hibrida (menggabungkan online dan offline) dengan protokol kesehatan untuk menambah kepercayaan pasar yang akan kita sasar,” ujarnya.

Praktik terbaik

Christina L Rudatin, Ketua Forum Studi MICE Indonesia, berharap panduan CHSE dapat disosialisasikan kepada berbagai pihak. Dengan adanya panduan standar, pelaku industri MICE diharapkan tidak gegabah dalam menginisiasi penyelenggaraan acara. Demikian juga dengan pemerintah daerah agar bisa menyesuaikan perizinan penyelenggaraan acara dengan situasi di daerahnya. Ia pun menilai, pemerintah daerah perlu dukungan atau praktik baik dari penyelenggaraan acara yang sesuai panduan CHSE.

”Penyelenggaraan acara yang sesuai panduan ini bisa dimotori acara pemerintahan dulu. Bisa dari pertemuan di hotel, lalu pameran kecil-kecilan. Kalau kita sudah terbiasa dengan pola itu dan ada buktinya, kita akan nyaman dengan cara tersebut,” ucapnya.

Sementara itu, adaptasi penyelenggaraan MICE sesuai panduan standar juga harus tetap diawasi oleh satuan tugas (satgas) terlatih. Satgas tersebut, menurut dia, harus dilatih secara terstandar agar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam menerapkan pola CHSE. Sejak pemerintah pusat dan daerah memberlakukan kebijakan pembatasan sosial, penyelenggaraan MICE yang berbasis pada pengumpulan banyak orang memang dihindari. Masa awal pandemi jadi beban berat bagi penyelenggara MICE dan industri atau pelaku usaha ikutan karena banyak acara yang harus dibatalkan atau ditunda.

Indonesia Event Industry Council (Ivendo) mencatat, telah terjadi 96,4 persen penundaan dan 84,8 persen pembatalan kegiatan MICE di 17 provinsi. Estimasi kerugian dari 1.218 penyelenggara acara di seluruh Indonesia diperkirakan sebesar Rp 2,7 triliun hingga Rp 6,9 triliun serta berdampak pada total 90.000 pekerja. Situasi tersebut mengurangi kontribusi MICE terhadap pendapatan domestik bruto total, yang pada tahun 2017 mencapai 7,8 miliar dollar AS. Belum lagi dari potensi hilangnya sekitar 278.000 lapangan pekerjaan.

Tidak hanya di Indonesia, negara tetangga seperti Singapura juga sangat bergantung pada sektor MICE. Negara kepulauan yang tidak sebesar luas Jakarta itu bisa menyelenggarakan 500-700 acara MICE yang mendatangkan 400.000 pengunjung internasional sepanjang tahun. Industri MICE menyumbang 3,8 miliar dollar Singapura terhadap produk domestik bruto (PDB) Singapura pada 2018.

Sejak adanya pandemi, 234 acara MICE harus ditunda atau dibatalkan. Akibatnya, jumlah kedatangan pengunjung internasional turun 43,2 persen pada Januari-Maret 2020 dibandingkan dengan periode yang sama 2019. Penerimaan sektor pariwisata juga turun 39 persen. Untuk membangkitkan kembali sektor MICE, Singapura juga mengembangkan panduan khusus seperti CHSE yang dimiliki Indonesia. Panduan yang diluncurkan akhir November lalu itu disebut TravelRevive, yaitu sebuah model penyelenggaraan MICE di masa mendatang dengan protokol kesehatan.

Panduan itu memastikan keamanan dan kesehatan para peserta dengan tes PCR sebagai prasyarat mengikuti kegiatan MICE, menjaga jarak, dan protokol standar lainnya untuk menghindari paparan virus. Hal itu juga dipastikan Pemerintah Singapura dengan memanfaatkan teknologi, seperti penggunaan token yang akan merekam mobilitas peserta MICE selama di Singapura atau menggunakan aplikasi yang bisa diunduh pada telepon seluler (Kompas, 25/11/2020).

Kreatif

Penyelenggara acara atau event organizer pun kini makin kreatif dalam mengadakan kegiatan MICE. Dyandra Promosindo, selaku perusahaan penyelenggara acara besar di Indonesia, pun tidak berhenti berinovasi untuk mengadakan kegiatan MICE, termasuk dengan menerapkan protokol kesehatan. Presiden Direktur Dyandra Promosindo Hendra Noor Saleh mengatakan, beberapa acara tahunan yang biasa mereka buat tahun ini masih bisa berjalan dengan kebiasaan baru. Salah satunya, acara Synchronize Fest yang untuk pertama kalinya diselenggarakan melalui layar kaca pada 14 November 2020.

Sebelum Covid-19, sebanyak 12.000 tiket Synchronize Fest sudah terjual dari kapasitas 24.000 tiket. Para pembeli, lanjut Hendra, dapat melakukan pengajuan pengembalian, tetapi bagi yang tidak, tiket akan otomatis berlaku untuk tahun 2021. Inovasi lainnya, mengadakan acara dengan skema hibrida. Seperti saat ini, sedang diselenggarakan Indonesia International Motor Show (IIMS) Motobike Show secara hibrida yang sudah dilakukan peluncuran virtualnya pada 10 November 2020.

Tahun 2020 pun mengusung inovasi baru, yaitu hadirnya segmen sepeda untuk menyesuaikan dengan gaya hidup masyarakat yang kini banyak menggunakan sepeda. Selain itu, ada segmen tukar tambah (trade in) motor yang mengusung tema ”Bawa motor bekas Anda, bawa pulang motor baru Anda”. ”Inovasi digital di masa pandemi itu suatu keniscayaan yang otomatis akan meningkatkan cost (biaya). Tapi peluang ini diharapkan dapat meningkatkan bisnis dari 50 persen menjadi 75 persen, bahkan 100 persen di era hibrida,” kata Hendra (Kompas, 27/11/2020).

Pariwisata

Panduan CHSE juga didesain untuk pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif (parekraf) di seluruh Indonesia. Selain harus memahami panduan CHSE melalui sosialisasi, pelaku usaha parekraf yang mampu memenuhi standar dalam panduan tersebut berhak mendapatkan sertifikat CHSE dengan cara mendaftarkan diri. Jenis usaha yang bisa didaftarkan antara lain daya tarik wisata, desa wisata, homestay atau pondok wisata, hotel, restoran atau rumah makan, tempat penyelenggaraan MICE, arung jeram, golf, serta usaha wisata selam.

Kemenparekraf berkomitmen membagikan sertifikat CHSE kepada 8.000 pelaku usaha. Adapun sejak dirilis September lalu hingga November, tercatat lebih dari 6.000 pelaku usaha di 297 daerah diproses untuk mendapatkan sertifikat tersebut secara gratis. Direktur Pemasaran Pariwisata Regional I Kemenparekraf Vinsensius Jamadu, pada suatu kesempatan, menyebutkan, sertifikat tersebut tidak hanya untuk memastikan keamanan dan keselamatan pelaku usaha dan masyarakat penikmat parekraf, tetapi juga meningkatkan kepercayaan masyarakat, baik dalam maupun luar negeri.

”Kalau sudah punya sertifikasi, ke depan, jika tempat itu yang dicari atau dipesan orang, bisa dicek ada sertifikatnya atau tidak. Kalau enggak ada, pasti akan ditinggal wisatawan, khususnya dari mancanegara,” ucapnya.

Sertifikasi ini pun disambut banyak pihak, seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani, kepada Kompas, akhir bulan lalu, menyebutkan, hampir semua hotel dan restoran di bawah asosiasinya sudah mengajukan diri untuk menerima sertifikat CHSE.

Di samping proses sertifikasi, Kemenparekraf dan tim terkait juga gencar menyosialisasikan CHSE kepada asosiasi penyelenggara kegiatan wisata. Pada November lalu, misalnya, Kemenparekraf mengadakan sosialisasi dengan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, Taman Nasional Gunung Merbabu, dan Taman Nasional Gunung Rinjani.

Sosialisasi dilakukan setelah panduan CHSE untuk kegiatan luar ruangan disusun sejak Mei 2020. Penyusunan panduan protokol kegiatan pendakian gunung itu bekerja sama dengan Asosiasi Pemandu Gunung dan Federasi Mountaineering Indonesia dalam menyusun protokol kesehatan CHSE.
Untuk kegiatan wisata lainnya, asosiasi terkait juga turut dilibatkan.