Pekerjaan Besar di Balik Puing Gempa Sulbar

Setelah guncangan gempa Sulawesi Barat yang menghilangkan ratusan nyawa dan meluluhlantakkan ribuan bangunan, sebagian warga berusaha mengerek semangat agar hidup tidak terus terpuruk. Asa mereka tidak surut meski melihat pemerintah masih saja gagap menangani bencana. Mitigasi masih menjadi pekerjaan besar yang tiada ujungnya, meski jutaan orang hidup berdampingan dengan bencana.

Mengendarai mobil bekas yang baru dibelinya satu setengah tahun lalu, Ilham (30) menelusuri jalan-jalan di Kota Mamuju, Sulawesi Barat, Senin (1/2/2021). Ia melalui tenda pengungsian, rumah-rumah yang roboh, dan masyarakat yang kembali meninggalkan rumah. Aplikasi di telepon genggamnya tidak kunjung menunjukkan ada pelanggan yang ingin diantar.

”Tadi malam gempa lagi, itu yang bikin orang mungkin takut beraktivitas. Kemarin saja kami sekeluarga baru mau kembali ke rumah, tapi karena gempa akhirnya balik lagi di pengungsian,” kata Ilham.

Gempa dengan bermagnitudo 4,4 yang berpusat di Majene pada Minggu malam ikut mengguncang Mamuju, hingga Mamasa. Warga yang mulai beraktivitas normal dan kembali masuk ke rumah tetiba berhamburan. Jalan-jalan kota dipenuhi warga yang panik. Gempa ini masih merupakan susulan dari gempa bermagnitudo 6,2 yang terjadi pada Jumat (15/1/2021) lalu.

KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto udara tenda pengungsian korban gempa berkekuatan magnitudo 6,2 di luar Stadion Manakarra, Mamuju, Sulawesi Barat, Sabtu (16/1/2021) malam. Penyintas membutuhkan makanan atau bahan makanan karena persediaan mereka sudah menipis.

Ilham menuturkan, ia dan 20 orang keluarganya kini semua berada di tenda pengungsian. Dua tenda terpal berwarna biru digabung menjadi satu. Alasnya hanya terpal yang bisa diselamatkan dari rumah masing-masing keluarga.

Meski gempa kembali mengguncang, dan istri serta dua anaknya berada di pengungsian, Ilham tetap keluar menjalankan mobil sebagai sopir angkutan mobil online. Baru setelah tiga jam mengaspal sejak pukul 08.00 Wita, ia mendapatkan penumpangnya.

”Sekarang dapat lima penumpang per hari sudah bersyukur sekali. Bisa bawa pulang Rp 50.000, cukup banyak,” kata Ilham.

Uang yang ia peroleh digunakan untuk kebutuhan harian, utamanya makanan, minuman, dan keperluan anak bungsunya, Haikal, yang berumur dua tahun.

Selama seminggu terakhir, tutur Ilham, ia mulai keluar dari pengungsian mencari penumpang. Sebab, selama lebih dari sepekan di tenda, bantuan pemerintah tidak kunjung datang. Tidak hanya makanan, tetapi juga tenda dan pemeriksaan kesehatan, tidak pernah sampai.

Kompas/SAIFUL RIJAL YUNUS
Mengendarai mobil yang masih dicicilnya untuk menarik penumpang, Ilham (30), menyusuri jalan di Mamuju, Sulawesi Barat, Senin (1/2/2021). Setelah gempa berkekuatan magnitudo 6,2 yang menghancurkan ribuan rumah dan menewaskan ratusan orang, ayah dua anak ini memulai kembali bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Beruntung, rekan-rekannya yang tersebar di Sulbar ataupun kota lain banyak membantu. Popok, susu, hingga pakaian dikirimkan. Mi instan dan camilan juga ada. Bersama keluarga yang lain, ia berusaha memenuhi kebutuhan harian lainnya.

”Mana ini sudah lewat bayar cicilan mobil. Harusnya tanggal 29 kemarin terakhir. Tapi mau gimana, bayar Rp 3,7 juta itu besar, sedangkan kita baru saja kena musibah,” keluhnya. ”Tapi, saya masih berusaha. Makanya keluar setiap hari.”

Aldi (31) telah beberapa hari terakhir kembali berjualan kopi di Jalan Arteri Mamuju. Jalan ini merupakan salah satu titik ramai di kabupaten yang juga ibu kota Provinsi Sulawesi Barat ini.

Dengan peralatan sederhana, ia menyajikan kopi vietnam, tubruk, atau kopi susu biasa. Cokelat panas adalah hidangan lainnya.

Membawa mobil angkot yang dimodifikasi menjadi kedai kopi berjalan, menyerupai kedai dari film Filosopi Kopi besutan sutradara Angga Sasongko itu, Aldi mengambil tempat di depan gedung DPRD Sultra, yang bagian depannya rusak akibat gempa. Di seberang jalan adalah Hotel Maleo yang sebagian sisi bangunannya melorot dan tidak bisa difungsikan kembali.

Kopi menjadi sajian utama. Dengan peralatan sederhana, ia menyajikan kopi vietnam, tubruk, atau kopi susu biasa. Cokelat panas adalah hidangan lainnya. Sementara camilan belum tersedia.

”Belum banyak yang jual di pasar, jadi seadanya dulu. Silakan dinikmati,” ucap ayah dua anak ini.

Kompas/SAIFUL RIJAL YUNUS
Aldi (31) menyiapkan kopi untuk pengunjung di Mamuju, Sulawesi Barat, Selasa (26/1/2021). Aldi memulai kembali bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari setelah gempa yang menewaskan ratusan orang.

Saat gempa berkekuatan magnitudo 6,2 mengguncang Majene, yang ayunannya terasa hingga Mamuju, Aldi sedang terlelap bersama istri dan dua anaknya. Lampu tetiba mati. Anak dan istrinya berteriak panik. Ia berusaha tenang.

Tidak lagi bisa melihat arah pintu di tengah guncangan yang membuat barang-barang berjatuhan, ia berpikir cepat. Perantau asal Maros, Sulawesi Selatan, ini membalik kasur dari ranjang, dan menutupi mereka berempat dengan kasur.

Setelah guncangan reda, ia membawa anak dan istrinya keluar dari rumah. Barang pecah belah berhamburan di lantai. Tanpa mengambil banyak barang, ia menyalakan kendaraan, lalu membawa keluarganya mencari tempat yang aman.

”Pas lewat di kota itu, sekitar pukul 04.00 subuh, saya masih dengar orang-orang minta tolong di bawah reruntuhan rumah. Tapi mau dibantu bagaimana? Saya pikirkan keluarga dulu cari tempat aman. Takutnya ada gempa susulan, atau tsunami,” katanya.

Ia membawa anak dan istrinya ke rumah keluarga yang aman dari jangkauan gempa. Selang beberapa hari, saat jalan telah terbuka, Aldi mengungsikan anak dan istri ke kampung halaman. Namun, ia kembali ke Mamuju untuk menjaga rumah.

KOMPAS/AGUS SUSANTO
Penyintas gempa bumi membawa bantuan melewati longsoran tanah di Desa Kabiraan, Keamatan Ulumanda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Rabu (20/1/2021). Longsor menyebabkan akses ke wilayah ini sulit ditembus kendaraan roda empat.

Selama di Mamuju, ia tidak mendapatkan bantuan pemerintah. Rumahnya yang rusak di beberapa bagian juga belum terdata korban gempa untuk mendapatkan bantuan dana perbaikan. Ia berencana mencari penghasilan untuk memperbaiki rumahnya yang rusak. Sebab, ia merasa huniannya masih aman dan tidak dilalui jalur gempa. Padahal, di kompleks tempat tinggalnya di Karama, beberapa rumah rusak berat.

Menurut Aldi, dapat atau tidaknya bantuan, ia tetap harus bekerja agar bisa bertahan hidup. Membuka jualan kopi kembali dilakoni, sekitar lima hari setelah gempa. Mobil angkot yang dibelinya setahun lalu menghabiskan modal sekitar Rp 50 juta. Ia harus bekerja untuk penuhi kebutuhan harian keluarganya. ”Mau bagaimana lagi, anak butuh susu. Jadi harus kerja meski kalau dibilang takut, ya, takut,” tambahnya.

Sementara itu, sepekan setelah gempa, Nurlia (52) mengajak anak dan menantu, serta dua cucu, mencari besi bekas beton di kantor Gubernur Sulbar yang roboh. Mereka memotong besi yang tertancap atau sekadar mengumpulkan besi yang terserak.

Besi tersebut dihargai Rp 2.500 per kilogram. Uang yang terkumpul akan dibelikan kebutuhan harian, termasuk memperbaiki rumah semi permanennya yang rusak. ”Rumah kami itu baru setengahnya tembok. Kemarin pas gempa roboh, dan menimpa suami saya yang memang sakit-sakitan. Dia sekarang tinggal di tenda depan rumah,” ucap Nurlia.

Gempa Besar

Setelah guncangan gempa berkekuatan magnitudo 5,9 pada Kamis (14/1/2021) sore, sejumlah bangunan di Mamuju, terlebih Majene yang menjadi pusat gempa, mengalami kerusakan. Sebagian warga telah mengungsi dan lainnya bersiaga.

KOMPAS/AGUS SUSANTO
Bangunan rumah sakit Mitra Manakarra yang ambruk akibat gempa berkekuatan magnitudo 6,2 di Mamuju, Sulawesi Barat, Minggu (17/1/2021).

Namun, gempa di pukul 02.28 Wita ini mengayun dan mengguncang wilayah Sulbar, khususnya Majene dan Mamuju, dengan kuat, mencapai skala V MMI (Modified Mercalli Intensity) yang terasa hingga 7 detik. Dalam skala ini, barang-barang terpelanting, tiang-tiang roboh, dan bangunan yang tidak tahan gempa bisa ambruk.

Ribuan bangunan di Mamuju dan Majene ambruk dan menimpa mereka yang tidak sempat menyelamatkan diri. Guncangan membuat longsoran di sejumlah lokasi. Sebanyak 105 orang meninggal  dan 3 orang masih hilang. Total sekitar 17.000 bangunan rusak, mulai dari ringan hingga rusak berat. Kerugian lebih dari Rp 1 triliun.

Gempa yang menimbulkan kerusakan di Majene hingga wilayah sekitarnya bukan hal yang baru. Secara tektonik, wilayah pesisir dan lepas pantai Sulawesi Barat terletak di zona jalur lipatan dan sesar (fold and thrust belt).

Dalam Peta Sumber Gempa Bumi Nasional 2017 yang disusun Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen), Sesar Mamuju-Majene ini hanya salah satu dari empat segmen sesar naik yang berada di Selat Makassar, yang setiap segmen memiliki potensi gempa maksimal M 7.

Dalam catatan sejarah, gempa besar di Sesar Majene terjadi beberapa kali. Pada 11 April 1967, gempa dengan Magnitudo 6,3 menimbulkan tsunami, yang menelan korban jiwa hingga 13 orang. Gempa kembali terjadi pada 23 Februari 1969. Gempa besar saat itu memicu tsunami destruktif di sepanjang pesisir Tinambung, Majene, hingga Mamuju yang merusak permukiman pantai dan menelan korban jiwa 64 orang.

Hingga Minggu (31/1/2021), BMKG mencatat telah terjadi 60 gempa susulan di wilayah ini. Sebanyak 48 di antaranya dirasakan masyarakat. Warga yang mulai kembali ke rumah, sebagian besar kembali ke pengungsian.

KOMPAS/AGUS SUSANTO
Panorama Kota Mamuju, Sulawesi Barat, Rabu (20/1/2021). Dalam Peta Sumber Gempa Bumi Indonesia tahun 2017 dipetakan bahwa sesar aktif Mamuju-Majene punya potensi gempa berkekuatan maksimal M7.

Mitigasi Gempa

Gempa susulan yang terjadi diperkirakan tidak akan lebih besar dari gempa berkekuatan magnitudo 6,2 sebelumnya. Namun, warga diharapkan tetap waspada dan melakukan mitigasi sedini mungkin. Terlebih lagi, bangunan di wilayah ini terdeteksi mudah rusak dan membahayakan nyawa.

Kerusakan akibat gempa di Majene menimpa semua bangunan. Tidak hanya rumah warga, kantor Gubernur Sulbar, RS Mitra Manakarra, DPRD Sulbar, dan ratusan kantor lainnya juga turut rusak.

Amry Dasar, pengajar Fakultas Teknik Universitas Sulawesi Barat, menjabarkan, besarnya dampak kerusakan bangunan dari gempa yang terjadi beberapa waktu lalu, yang juga membuat banyak korban jiwa karena tertimpa bangunan, menunjukkan sebagian besar rumah tidak dibangun dengan konstruksi tahan gempa. Standar teknis bangunan tidak laik fungsi dan sebagian besar bangunan memiliki struktur lemah.

”Bangunan itu harus menerapkan Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SPRMK) dalam hal ini di Sulbar adalah gempa. Dalam desain struktur bangunan itu dianut prinsip kolom kuat balok lemah karena gempa bekerja secara horizontal. Makanya yang harus diperkuat itu tiang sebagai pengikat,” ujar Amry, yang mengambil studi doktoral terkait konstruksi tahan gempa di Universitas Kyushu, Jepang.

Terlebih lagi, lanjut Amry, wilayah Sulbar merupakan daerah rawan bencana kategori tinggi. Pemerintah pusat bahkan telah mengeluarkan dasar pembangunan konstruksi yang menyesuaikan skala gempa di wilayah Sulbar, khususnya Majene dan Mamuju. Sebelumnya yang hanya berada di skala II, sejak 2017 meningkat menjadi skala V, sesuai pemetaan potensi gempa dan kerawanan bencana.

”Padahal, kita hidup berdampingan dengan daerah bencana. Struktur bangunan tahan gempa menjadi poin penting, selain penataan wilayah, setelah masa darurat bencana berlalu. Semoga saja pemerintah juga mengaudit semua bangunan sebelum digunakan. Sebab, gempa susulan berpotensi merusak bangunan yang telah goyang dan rapuh,” katanya.

KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Para tukang memasang lapisan kawat pada dinding untuk membangun rumah dengan spesifikasi tahan gempa dalam pelatihan di Desa Rogo, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulteng, Senin (2/12/2019).

Tidak hanya skala gempa yang tinggi, wilayah Mamuju dan Majene juga memiliki nilai percepatan tanah maksimum (peak ground acceleration/PGA) dengan kategori lumayan tinggi. Daerah ini, dalam peta Persyaratan Beton Struktural 2019, memiliki nilai 1,2 gal (gravitational acceleration) hingga 1,5 gal.

Wilayah Mamuju dan Majene terdiri dari batuan vulkanik dan karang. Dua jenis batuan ini sifatnya akan patah saat menerima energi, yang akan menimbulkan daya destruktif yang cukup besar. Dua wilayah ini juga berdekatan dengan sesar naik Majene dan beberapa sesar lainnya.

Oleh sebab itu, Kepala Pusat Studi Penelitian Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas) Adi Maulana menjabarkan, konstruksi bangunan harus ditingkatkan dengan menggunakan acuan gempa sebelumnya. Dengan sejarah pernah gempa mencapai kekuatan magnitudo 6,9, konstruksi bangunan minimal dibangun dengan daya tahan gempa di atas magnitudo 7.