Pemain Remaja yang Kian Merana

Pemain remaja diburu untuk menjadi pemain klub guna mengikuti Piala Soeratin U-15 dan U-17 hingga Elite Pro Academy (EPA) Liga 1 U-16. Namun, hak dan masa depan mereka diabaikan oleh klub.

Kompetisi sepak bola usia remaja memang mulai marak. Sayangnya, pergelaran itu belum memperhatikan perlindungan bagi para pemainnya. Sejumlah pemain muda diduga direkrut tanpa dipenuhi hak-haknya. Ada yang terkatung-katung tanpa tempat tinggal layak, kelelahan dalam memenuhi kewajiban berlatih dan sekolah, serta dipaksa bermain saat sedang sakit.

Di balik gemerlap kompetisi sepak bola usia remaja, mulai dari Piala Soeratin U-15 dan U-17 hingga Elite Pro Academy (EPA) Liga 1 U-16 yang digelar perdana pada 2018, serta kompetisi perdana EPA U-18 pada 2019, hak-hak pesepak bola usia remaja yang terlibat di dalamnya diduga kurang dipenuhi secara optimal.

Adanya berbagai regulasi menyebabkan dukungan fasilitas yang wajib disediakan klub untuk pemain remaja di Indonesia pun beragam. Regulasi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk EPA Liga 1 U-16 mewajibkan klub mengontrak pemain remaja dan klub wajib memberikan beasiswa kepada pemain. Tidak demikian dengan regulasi Piala Soeratin U-15 dan U-17. Di dalamnya, tidak ditemukan sama sekali aturan yang mewajibkan klub untuk mengontrak pemain dan memberikan beasiswa.

Padahal, untuk mengikuti kompetisi, pemain harus menjalani pemusatan latihan yang diadakan klub selama beberapa bulan. Kontrak dibutuhkan untuk menjamin hak-hak pemain muda terpenuhi, baik sebagai anak maupun sebagai pelajar. Maklum, umumnya mereka berusia di bawah 18 tahun yang masuk kategori anak-anak menurut undang-undang.

Hasil investigasi Kompas terhadap nasib para pemain remaja mengungkapkan adanya penelantaran pemain oleh klub, ketiadaan kontrak resmi, dan pengabaian hak pemain untuk mendapat pendidikan. Salah satunya seperti dialami Soni (18), bukan nama sebenarnya. Tiga tahun lalu, saat usianya masih 15 tahun, ia direkrut sebagai pemain di Borneo FC U-15 tanpa kontrak. Pemain asal Jawa Barat ini direkrut pelatihnya di sekolah sepak bola (SSB) dan pelatih Borneo FC U-15 saat itu, M Arifin Syafril. Menurut pelatihnya di Jawa Barat, Soni diproyeksikan memperkuat tim EPA U-16 Borneo FC.

Namun, belum sampai tahap seleksi masuk tim EPA U-16 Borneo FC, Soni menalami cedera lutut. Pelatih Borneo U-16 memintanya tidak memaksakan diri. Soni lalu dikeluarkan dari klub dalam kondisi cedera kendati telah berlatih di klub itu selama Juni-Desember 2017. Namun, karena ayahnya tetap ingin ia berkarier di sepak bola, Soni diminta bertahan di Samarinda agar bisa mengikuti seleksi putaran kedua EPA U-16 di Borneo FC tahun 2018. Selama menunggu, Soni tinggal di bedeng kuli bangunan dekat sekolahnya di Samarinda karena uang yang dikirimkan ayahnya untuk biaya hidup sehari-hari hanya Rp 500.000 per bulan.

Dari uang itu pula Soni mengobati cedera lututnya ke tenaga fisioterapi yang pernah bekerja di Borneo FC. Namun, cedera itu tak pernah pulih dan menyebabkan Soni gagal kedua kalinya saat seleksi EPA U-16 di Borneo FC. Barulah orangtuanya memutuskan Soni kembali ke Jawa Barat.