Pergantian tahun 2016 dilalui Presiden Joko Widodo dari Raja Ampat, Sorong, Papua Barat. Di tepi Dermaga Waiwo, Pulau Waigeo, Kabupaten Raja Ampat, Jokowi sempat berfoto dengan sarung dan kemeja lengan panjang berwarna putihnya dengan latar belakang matahari terbit. Foto itu kemudian melegenda.
Jokowi pun membuat sejarah baru, yakni menjadi presiden pertama di republik ini yang melewatkan pergantian tahun dari Pulau Papua. Jokowi memang cinta Papua. Saat berkampanye, dan setelah terpilih menjadi presiden, Jokowi berulang kali terbang ke Papua. Presiden juga merayakan Natal tahun 2014 dari Jayapura.
Hari Rabu (30/12/2015), Jokowi juga hadir langsung di Kota Kenyam, ibu kota Nduga, untuk meninjau pembangunan ruas jalan Kenyam (Nduga)-Batas Batu sepanjang 33,9 kilometer.
Perjalanan kepresidenan itu bukan perjalanan biasa. Mengapa? Karena Kota Kenyam masuk dalam ”zona merah” alias zona rawan gangguan keamanan.
Bahkan, ketika tiba di Kenyam, Jokowi mendapat laporan tentang delapan staf Kementerian Pekerjaan Umum yang disandera kelompok separatis bersenjata. Padahal, para pekerja dari PU itu sedang membangun jalan untuk kepentingan rakyat Nduga, dan tentu saja rakyat Papua secara keseluruhan.
Ruas jalan Nduga-Batas Batu, yang sempat ditinjau Jokowi, merupakan bagian dari jalan tembus Nduga ke Wamena sejauh 278 kilometer. Jika selesai dibangun, jalan itu diproyeksikan dapat membuka isolasi dari 11 kabupaten di wilayah pegunungan tengah Papua.
Jadi, tidak sekadar pelesiran ke Pulau Papua, Presiden Jokowi punya janji untuk membangun Papua yang harus segera dipenuhinya. Salah satu janji Jokowi adalah menuntaskan Jalan Trans-Papua pada 2019.
Proyek jalan itu harus dibangun siang-malam. Mengapa? Karena total panjang Jalan Trans-Papua mencapai 3.985 kilometer, atau setara dengan empat kali jarak Anyer-Panarukan. Tantangan proyek juga tidak ringan, dari medan yang ekstrem, cuaca yang tidak menentu, hingga gangguan keamanan.
Upaya untuk menuntaskan pembangunan Trans-Papua mengonfirmasi niat kuat pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk secepat kilat membangun infrastruktur jalan. Pemerintahan Jokowi, misalnya, juga berniat menuntaskan Tol Trans-Jawa pada 2019, selain juga membangun ruas-ruas tol di Sumatera.
Pembangunan Papua sesungguhnya telah dimulai sejak era Orde Baru. Pada awal 1970-an, misalnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Sutami sempat meninjau Papua, yang waktu itu dikenal dengan nama Irian Jaya. Kata Sutami, kondisi Irian Jaya dulu gelap—segelap laporan yang sampai kepadanya.
Kondisi Irian Jaya baru dinilai ”terang” oleh Sutami setelah dia meresmikan ruas jalan Sentani-Jayapura sepanjang 34 kilometer. Inilah salah satu penggal jalan yang representatif yang dibangun oleh pemerintahan Orde Baru di Irian Jaya.
Jalan Sentani-Jayapura harus dibangun karena itulah jalan penghubung antara bandara dan Kota Jayapura. Lalu lintasnya ketika itu mencapai 2.000 mobil per hari atau rata-rata 83 mobil per jam (Kompas, 8 Juli 1974).
Dari Jayapura, Sutami terbang ke Pulau Biak. Dia sempat meninjau pembangunan ruas jalan Biak-Korem sepanjang 46 kilometer. Dengan semangat, Sutami menyusuri ruas jalan itu. Dan, kira-kira di tengah pulau, Sutami menuliskan janjinya di atas sebuah peta. ”Aspal buton 10.000 ton tetapi diambil sendiri dari Pulau Buton!” begitu dituliskan oleh Sutami.
Meski aspal itu harus diambil sendiri oleh pemerintah daerah, Gubernur Irian Jaya Acub Zainal dan Bupati Teluk Cendrawasih Hendrik Wiradinata, ketika itu, dengan riang gembira langsung bergantian menjabat tangan Sutami.
Menurut Acub, saat itu, semangat untuk membangun Irian Jaya kurang diimbangi dengan kelincahan administrasi ataupun minimnya bantuan dari Jakarta. Acub pun berinisiatif untuk mengundang langsung Sutami untuk dapat menilai Irian Jaya secara teknis.
Hendrik mengatakan, kemampuan pemda sangat terbatas untuk membangun infrastruktur jalan. Pendapatan Kabupaten Teluk Cendrawasih pada 1970-an hanya Rp 50 juta per tahun, sedangkan biaya pembangunan jalan di Irian Jaya mencapai Rp 10 juta per kilometer oleh karena sulitnya mencari buruh, bahan, dan peralatan.
Seandainya Bumi Cendrawasih harus membangun sendiri jalan, tanpa ada uluran sepeser pun dari pemerintah pusat, per tahun hanya akan terbangun lima kilometer jalan. Nah, butuh berapa ratus tahun untuk menghubungkan seluruh pulau dengan jaringan jalan?