Kompas/Andy Riza Hidayat

Presiden Joko Widodo berbincang bersama putra ketiganya Kaesang Pangarep di Dermaga Waiwo, Pulau Waigeo, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Keduanya menikmati terbitnya matahari dari ufuk timur untuk pertama kali di tahun 2016, Jumat (1/1).

Kompas/B Josie Susilo Hardianto

Anggota Detasemen Zeni Tempur XII/Nabire dan Denzipur XIII/Sorong, Selasa (16/8/2016), memasang peledak untuk meledakkan tebing batu saat membangun jalan Trans-Papua di ruas Mbua-Dal, Kabupaten Nduga.

Kompas/Sonya Hellen Sinombor

Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Kota Sorong, Papua Barat, melakukan blusukan ke perkampungan nelayan di Kelurahan Malawei, Distrik Sorong Manoi, Senin (29/12/2014). Presiden Jokowi duduk bersama dan berdialog dengan perwakilan nelayan.

Kompas/B Josie Susilo Hardianto

Terbukannya isolasi dengan terbangunnya jalan akan membantu warga di pedalaman Papua untuk bermobilisasi, bersentuhan dengan dunia luar, dan mendapatkan kebutuhan pokok dengan lebih murah.

Kompas/B Josie Susilo Hardianto

Warga Papua melihat foto dari laptop yang dibawa wartawan Kompas. Terbangunnya jalan membuat warga pedalaman lebih mudah berinteraksi dengan dunia luar. Tak hanya kebutuhan dasar, diharapkan warga bisa mengakses teknologi untuk membantu kehidupan mereka menjadi lebih mudah.

Janji untuk Papua...

Papua adalah kisah soal ironi. Di pulau kaya raya itu, jalan adalah suatu yang mewah buat penduduknya. Selain lama diabaikan, pembangunan infrastruktur menghadapi tantangan alam dan keamanan yang berat.

Pergantian tahun 2016 dilalui Presiden Joko Widodo dari Raja Ampat, Sorong, Papua Barat. Di tepi Dermaga Waiwo, Pulau Waigeo, Kabupaten Raja Ampat, Jokowi sempat berfoto dengan sarung dan kemeja lengan panjang berwarna putihnya dengan latar belakang matahari terbit. Foto itu kemudian melegenda.

Jokowi pun membuat sejarah baru, yakni menjadi presiden pertama di republik ini yang melewatkan pergantian tahun dari Pulau Papua. Jokowi memang cinta Papua. Saat berkampanye, dan setelah terpilih menjadi presiden, Jokowi berulang kali terbang ke Papua. Presiden juga merayakan Natal tahun 2014 dari Jayapura.

Hari Rabu (30/12/2015), Jokowi juga hadir langsung di Kota Kenyam, ibu kota Nduga, untuk meninjau pembangunan ruas jalan Kenyam (Nduga)-Batas Batu sepanjang 33,9 kilometer.

Perjalanan kepresidenan itu bukan perjalanan biasa. Mengapa? Karena Kota Kenyam masuk dalam ”zona merah” alias zona rawan gangguan keamanan.

Bahkan, ketika tiba di Kenyam, Jokowi mendapat laporan tentang delapan staf Kementerian Pekerjaan Umum yang disandera kelompok separatis bersenjata. Padahal, para pekerja dari PU itu sedang membangun jalan untuk kepentingan rakyat Nduga, dan tentu saja rakyat Papua secara keseluruhan.

Ruas jalan Nduga-Batas Batu, yang sempat ditinjau Jokowi, merupakan bagian dari jalan tembus Nduga ke Wamena sejauh 278 kilometer. Jika selesai dibangun, jalan itu diproyeksikan dapat membuka isolasi dari 11 kabupaten di wilayah pegunungan tengah Papua.

Jadi, tidak sekadar pelesiran ke Pulau Papua, Presiden Jokowi punya janji untuk membangun Papua yang harus segera dipenuhinya. Salah satu janji Jokowi adalah menuntaskan Jalan Trans-Papua pada 2019.

Proyek jalan itu harus dibangun siang-malam. Mengapa? Karena total panjang Jalan Trans-Papua mencapai 3.985 kilometer, atau setara dengan empat kali jarak Anyer-Panarukan. Tantangan proyek juga tidak ringan, dari medan yang ekstrem, cuaca yang tidak menentu, hingga gangguan keamanan.

Kompas/P Swantoro

Sepotong Jalan yang menghubungkan Mulia dengan Ilu, 19 April 1974. Nampak para anggota hansip asal Irian Jaya (sebutan Papua waktu itu) di Kecamatan Mulia, sebuah lembah yang sejuk di daerah pedalaman Papua. Jalan perlu memerlukan pemeliharaan hingga tidak rusak.

Kompas/Luwi Ishwara

Jalan di daerah Genyem "hinterland" Jayapura. Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Sutami sedang melauinya dengan jalan kaki, 8 Juli 1974.

Kompas/P Swantoro

Lapangan Udara di Nabire pada 19 April 1974. Hingga sekarang, sebagian warga pedalaman Papua masih bergantung pada pesawat kecil untuk mobilitas karena ketiadaan jalan.

Upaya untuk menuntaskan pembangunan Trans-Papua mengonfirmasi niat kuat pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk secepat kilat membangun infrastruktur jalan. Pemerintahan Jokowi, misalnya, juga berniat menuntaskan Tol Trans-Jawa pada 2019, selain juga membangun ruas-ruas tol di Sumatera.

Pembangunan Papua sesungguhnya telah dimulai sejak era Orde Baru. Pada awal 1970-an, misalnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Sutami sempat meninjau Papua, yang waktu itu dikenal dengan nama Irian Jaya. Kata Sutami, kondisi Irian Jaya dulu gelap—segelap laporan yang sampai kepadanya.

Kondisi Irian Jaya baru dinilai ”terang” oleh Sutami setelah dia meresmikan ruas jalan Sentani-Jayapura sepanjang 34 kilometer. Inilah salah satu penggal jalan yang representatif yang dibangun oleh pemerintahan Orde Baru di Irian Jaya.

Jalan Sentani-Jayapura harus dibangun karena itulah jalan penghubung antara bandara dan Kota Jayapura. Lalu lintasnya ketika itu mencapai 2.000 mobil per hari atau rata-rata 83 mobil per jam (Kompas, 8 Juli 1974).

Dari Jayapura, Sutami terbang ke Pulau Biak. Dia sempat meninjau pembangunan ruas jalan Biak-Korem sepanjang 46 kilometer. Dengan semangat, Sutami menyusuri ruas jalan itu. Dan, kira-kira di tengah pulau, Sutami menuliskan janjinya di atas sebuah peta. ”Aspal buton 10.000 ton tetapi diambil sendiri dari Pulau Buton!” begitu dituliskan oleh Sutami.

Meski aspal itu harus diambil sendiri oleh pemerintah daerah, Gubernur Irian Jaya Acub Zainal dan Bupati Teluk Cendrawasih Hendrik Wiradinata, ketika itu, dengan riang gembira langsung bergantian menjabat tangan Sutami.

Menurut Acub, saat itu, semangat untuk membangun Irian Jaya kurang diimbangi dengan kelincahan administrasi ataupun minimnya bantuan dari Jakarta. Acub pun berinisiatif untuk mengundang langsung Sutami untuk dapat menilai Irian Jaya secara teknis.

Hendrik mengatakan, kemampuan pemda sangat terbatas untuk membangun infrastruktur jalan. Pendapatan Kabupaten Teluk Cendrawasih pada 1970-an hanya Rp 50 juta per tahun, sedangkan biaya pembangunan jalan di Irian Jaya mencapai Rp 10 juta per kilometer oleh karena sulitnya mencari buruh, bahan, dan peralatan.

Seandainya Bumi Cendrawasih harus membangun sendiri jalan, tanpa ada uluran sepeser pun dari pemerintah pusat, per tahun hanya akan terbangun lima kilometer jalan. Nah, butuh berapa ratus tahun untuk menghubungkan seluruh pulau dengan jaringan jalan?

Hambatan Demi Hambatan

Pada 1975, Fundwi, Dana PBB untuk Pembangunan Irian Jaya, juga memfokuskan bantuan untuk pembangunan jalan. Salah satu jalan yang kemudian diresmikan adalah ruas jalan Genyem ke Boroway (37 kilometer) di Kabupaten Jayapura.

Namun, laporan Kompas, Senin (3/11/1975), yang mengutip pernyataan Gubernur Irian Jaya Soetran menyajikan kondisi riil jalan itu. ”Jangan dibayangkan jalan tembus itu seperti di Jawa,” ujar Soetran. Jalan Genyem-Boroway ternyata hanya dapat dilalui oleh kendaraan jip dengan penggerak empat roda.

Soetran kemudian meresmikan pembangunan Jalan Trans-Irian Jaya pada Rabu (10/12/1980). Pemerintah Orde Baru merencanakan pembangunan jalan trans barat-timur Irian Jaya dan jalan yang membentang utara-selatan sepanjang garis perbatasan Indonesia-Papua Niugini.

Pemerintah Orde Baru bahkan mengalokasikan dana dari APBN senilai Rp 24,7 miliar bagi Jalan Trans-Irian Jaya. Nilai proyek sepintas terlihat besar, tetapi ketika Kompas mengecek arsip ternyata nilai APBN 1980/1981 mencapai Rp 10,5 triliun. Setelah dihitung, Trans-Irian Jaya hanya mendapat alokasi dana 0,002 persen dari APBN 1980/1981.

Dari rencana di atas kertas, Trans-Irian Jaya terbagi dalam tiga poros, yakni Jayapura-Abe-Ubrup-Oksibil (300 km); Merauke-Bupul-Tanah Merah-Digul (250 km); dan Nabire-Ilaga (300 km). Jadi, Trans-Irian Jaya tidak membentang dalam satu koridor jalan tetapi terbagi-bagi. Koridor jalan di Irian Jaya juga lebih banyak menghubungkan pesisir dengan daerah penyangganya (hinterland).

Dalam seremoni peresmian, dikutip dari Kompas, Jumat (12/12/1980), Soetran pun menyampaikan terima kasih kepada pemerintah pusat khususnya Presiden Soeharto yang menaruh perhatian terhadap proyek tersebut.

Pembangunan Trans-Irian Jaya, kata Soetran, menandai kebangkitan Irian Jaya sebagai kawasan potensial Indonesia yang selama ini terisolasi. Melalui proyek raksasa tersebut, ditambahkan Soetran, masa depan daerah ini akan makin cerah, terutama dalam pendayagunaan kekayaan alam yang masih diliputi ”misteri”.

Alam Irian Jaya, yang ketika itu masih penuh misteri, menyulitkan pembangunan Trans-Irian Jaya. Penduduk pedalaman pun dipekerjakan sebagai pemandu karena tidak ada peta topografi. Padahal, tanpa peta topografi jelas sulit membangun jalan dari satu titik ke titik lain.

Ketika pembangunan jalan mengandalkan penduduk setempat, tidak heran bila sebagaimana terjadi di Kalimantan, jalan-jalan yang terbangun kemudian meliuk-liuk. Dalam jangka panjang, ketika efisiensi perjalanan yang hendak dicapai—tidak lagi keterhubungan, maka waktu tempuh perjalanan menjadi sulit ditekan.

Naik mobil di jalan yang meliuk-liuk tidak pula sekadar melelahkan pengemudi, tetapi juga membuat pusing penumpang. Beberapa sahabat Kompas berkebangsaan asing juga sekali waktu pernah bertanya mengapa bangsa Indonesia tidak bisa membuat jalan yang lurus-lurus saja.

Kini, ketika Tol Cikopo-Palimanan telah terbangun, masyarakat lebih memilih melintasi ruas jalan dari Jakarta menuju kota-kota utama di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pelancong enggan melintasi Jawa Barat bagian selatan, Cileunyi-Tasikmalaya-Ciamis-Majenang, karena melelahkan sebab jalurnya meliuk-liuk.

Pembangunan Trans-Irian Jaya ternyata tidak lepas dari kritik. Tahun 1980-an, Prof Dr Selo Soemardjan—yang di kemudian hari dikenal sebagai Bapak Sosiologi—mengatakan, pembangunan manusia Irian Jaya lebih penting daripada pembangunan jalan Trans-Irian Jaya.

Soemardjan ketika itu mengingatkan, pembangunan manusia seperti yang telah dikerjakan oleh misionaris lebih penting untuk dilanjutkan. Masyarakat Irian Jaya, kata Soemardjan, harus lebih dulu dipersiapkan untuk menghadapi perubahan ketika Trans-Irian Jaya terbangun.

Kompas/Totok Wijayanto

Kendaraan pengangkut penumpang berupaya melintasi Sungai Eikai yang belum berjembatan pada kilometer 171 jalan trans Nabire-Paniai, Papua, Sabtu (20/12/2008). Kubangan lumpur juga menganga hampir di setiap kilometer sehingga menjebak kendaraan yang melintas.

Kompas/Aloysius Budi Kurniawan

Truk-truk dan kendaraan angkutan terjebak di kubangan lumpur di jalan lintas Merauke-Boven Digul, Kabupaten Boven Digul, Papua, Rabu (15/4/2015) sore. Banyak truk-truk yang terjebak berhari-hari karena tak bisa melewati kubangan lumpur yang terlalu dalam.

Kompas/Nobertus Arya Dwiangga Martiar

Proses pembangunan jalan di ruas Mbua-Dal, Kabupaten Nduga, Papua, Selasa (16/8/2016) oleh Denzipur 12/Nabire dan Denzipur 13/Sorong. Pelebaran dan penurunan tingkat kecuraman jalan dilakukan dengan metode peledakan dan pengerukan dengan alar berat.

Pembangunan Trans-Irian Jaya yang bertujuan baik, diingatkan oleh Soemardjan, dapat berakibat negatif bila masyarakat tidak siap. Soemardjan meminta pemerintah ketika itu berkaca dari kehidupan suku Aborigin di Australia dan suku Indian di Amerika di tengah pembangunan besar-besaran oleh dua negara maju tersebut.

Namun, Orde Baru ternyata tidak mengendurkan semangat untuk membangun Trans-Irian Jaya. Jakarta telah menetapkan. Kementerian Pekerjaan Umum telah menorehkan rencana trase-trase jalan di atas peta.

Trans-Irian Jaya telah mulai dibangun meski akibat survei yang kurang memadai dan cuaca ekstrem, rencana besar pembangunan Trans-Irian Jaya terhambat. Bahkan, pimpinan proyek jalan tembus Abepantai-Ubrub-Oksibil, Rusdian, mengaku tiada survei pendahuluan karena butuh biaya survei yang tidak sedikit.

Hanya ada perkiraan awal bahwa jalan Abepantai-Ubrub-Oksibil sepanjang 500 kilometer, 50 persennya melintasi pegunungan, 40 persen melintasi daerah datar dan rawa, sedangkan 10 persennya melintasi tanah berbukit.

Karakteristik dari koridor jalan Abepantai-Ubrub-Oksibil pun cukup menggetarkan. Sebanyak 75 persen koridor jalan nantinya melintasi kawasan hutan lebat, 20 persen jalan melintasi hutan jalan, dan hanya 5 persen jalan yang melintasi perkebunan penduduk.

Ketiadaan survei awal juga mengakibatkan pelaksana proyek kesulitan menentukan garis pusat (centreline) yang paling ekonomis. Terlebih lagi, ketika proyek mulai melintasi pegunungan. Dapat saja, jalan tembus itu seharusnya melintasi punggung bukit, tetapi pelaksana proyek justru membangun jalan menyusuri lembah.

Curah hujan yang tinggi juga menghambat pembangunan Trans-Irian Jaya. Bila curah hujan tahun 1982 rata-rata mencapai 181 mm per bulan, ternyata pada tahun 1983 curah hujan di Irian Jaya mencapai 242 mm per bulan. Bila dicermati, telah terjadi kenaikan hujan yang luar biasa. Tidak sekadar naik 10 atau 20 persen, tetapi hingga 75 persen!

Akibatnya, ketika dalam kontrak kerja seharusnya Abepantai-Ubrub-Oksibil sepanjang 500 km terbangun dalam tiga tahun ternyata baru terbangun 83 kilometer! Tidak jarang, selama berhari-hari, proyek terhenti karena traktor terperangkap dalam lumpur.

Curah hujan yang tinggi bahkan menyebabkan proyek terhenti total selama enam bulan antara Maret dan Oktober 1983. Tidak heran bila pembangunan jalan di Irian Jaya terhambat sehingga membesar gap dengan pembangunan infrastruktur di pulau-pulau di Indonesia barat.

Menengok Janji Jokowi

Pembangunan infrastruktur jalan di Papua adalah mutlak! Tidak bisa tidak, pemerintah harus mewujudkan janjinya. Mengapa harus pemerintah? Karena jelas investasi swasta tak akan pernah dapat diandalkan untuk membangun infrastruktur jalan seperti di Papua. Investasi itu tak akan pernah dapat terbayarkan!

Janji untuk membangun selalu mudah untuk diucapkan, tetapi tidak pernah mudah untuk ditepati. Tiga wartawan Kompas, yakni Josie Susilo H, Nobertus Ariya Dwiangga, dan Fabio M Lopes, di pengujung Agustus 2016, hadir langsung di Papua untuk melihat sendiri pembangunan Trans-Papua.

Perjalanan mereka juga tidak mudah. Mereka harus terlebih dahulu berburu tiket penerbangan ke Papua di tengah minimnya keterbatasan kursi. Perjalanan mereka juga diasuransikan karena ada kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan di ”zona merah” Papua.

Apa pun hambatannya, kerja-kerja lapangan jelas harus dilakoni oleh wartawan untuk mengecek sendiri pembangunan di daerah. Sedapat mungkin, media mendorong percepatan pembangunan atau mengarahkan arah dan laju pembangunan demi kesejahteraan rakyat.

Kehadiran wartawan di lapangan juga memungkinkan digalinya data dan informasi dari sumber primer tidak sekadar dari rilis. Masyarakat luas pun menjadi paham terhadap tantangan pembangunan.

Isi berita tidak lagi sekadar pembangunan jalan sekian puluh kilometer, misalnya, atau rencana pemerintah untuk membangun jalan dengan dana sekian ratus miliar rupiah. Namun, dari lapangan dapat dibawa kisah-kisah humanis dan mencengangkan.

Untuk membangun jalan dari Mbua ke arah Mumugu, alat-alat berat, seperti ekskavator dan buldoser, harus dibongkar menjadi tujuh bagian dan dibawa menggunakan helikopter. Helikopter itu diterbangkan dari Kenyam yang pernah dikunjungi Presiden Jokowi untuk dipindahkan ke Yuguru dan Paro.

Mesin ekskavator dan buldoser tentu saja tidak dapat langsung dihidupkan. Tidak sesederhana mengisi mesin dengan solar kemudian pegawai dapat langsung bekerja. Tim dari Batalyon Zipur XVIII Gianyar, Bali, membutuhkan waktu dua minggu dari sejak membawa hingga menghidupkan alat-alat berat itu.

Saat optimalisasi pekerjaan dimulai Mei lalu, di tengah lebatnya hutan tropis, sebagian anggota Yonzipur XVIII terkena serangan malaria. Situasi itu kian parah karena cuaca cepat berubah sehingga arus logistik dari Kenyam terhambat.

”Pernah satu kali heli tidak bisa masuk. Selama lebih kurang dua minggu cuaca sangat buruk. Logistik makin menipis dan kami terpaksa mencari pisang hutan untuk bertahan. Pokok batang pisang yang berwarna putih itu kami masak dengan bumbu seadanya,” kata pimpinan organisasi pelaksana (POP) II Letkol Djoko Rahmanto (Kompas, Selasa, 23 Agustus 2016).

Tim dari Batalyon Zipur XVIII Gianyar mengekor kehadiran tim gabungan dari Detasemen Zeni Tempur (Den Zipur) XII Nabire dan Den Zipur XIII Sorong. Tim itu melanjutkan proyek jalan yang dikerjakan oleh Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional XVIII Papua.

Sejak awal 2016, tim Zeni bekerja mengikis pinggang dan punggung Pegunungan Jayawijaya yang melintang membelah Kabupaten Nduga dan Jayawijaya. Tak jarang mereka harus memakai bahan peledak untuk menghancurkan batu yang menghalangi pembangunan jalan. Untuk mewujudkan janji Jokowi, tentara memang dilibatkan demi percepatan pembangunan.

Jelas tidak sembarang orang dapat membangun jalan di Papua. Apakah pekerja sipil dapat bertahan makan pokok batang pisang selama berhari-hari, misalnya? Militansi dan determinasi tinggi jelas merupakan kualifikasi diri yang harus dimiliki pekerja proyek Trans-Papua.

Membantu Rakyat Papua

Kerja keras untuk membuka jalan di tanah Papua untungnya terbayarkan dengan pengeluaran warga yang makin berkurang. Sebelum terbangun jalan, warga Distrik Mbua, Kabupaten Nduga harus terbang ke Wamena dengan biaya Rp 600.000 per orang, tetapi kini cukup membayar Rp 100.000 per orang dengan perjalanan naik kendaraan roda empat.

Bila sebelumnya sewa pesawat rute Mbua-Wamena membutuhkan dana Rp 16 juta untuk pesawat berkapasitas delapan penumpang, kini warga hanya butuh Rp 3 juta untuk menyewa kendaraan roda empat berkapasitas 15 orang.

Hingga awal 2016 bahkan sebagian warga Mbua harus jalan kaki selama lima hari untuk mencapai Wamena. Bila malam tiba, mereka harus menginap di belantara sambil mengawasi keberadaan binatang buas. Bila Papua bagian tengah diterpa hujan es, mereka harus berlindung di balik bebatuan di tebing-tebing karang.

Jangan heran bila dulu kita sering mendengar kisah tentang perjuangan untuk mencoblos saat pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah. Selama berhari-hari, warga yang mempunyai hak pilih harus menerobos hutan untuk mencapai tempat pemungutan suara. Selama itu pula, para kepala keluarga rela tidak bekerja untuk menghidupi keluarga mereka di kampung asal.

Kompas/B Josie Susilo Hardianto

Keberadaan jalan membuat warga pedalaman Papua lebih mudah bermobilisasi. Warga bisa bepergiaan naik kendaraan, tak lagi jalan kaki berhari-hari menembus hutan dan pegunungan.

Perjuangan memang belum berakhir. Dari target membangun Trans-Papua segmen Wamena (Kabupaten Jayawijaya) hingga Mumugu (Kabupaten Asmat) sepanjang 298 kilometer baru terbangun jalan sepanjang 92 kilometer.

Meski demikian, jalan baru sepanjang 92 kilometer itu telah membuat mobilitas manusia menjadi semakin mudah dan murah.

Tantangan lain pembangunan infrastruktur sempat pula terdengar datang dari Jakarta. Kementerian Keuangan kini sedang memperketat pengeluaran sebagai imbas dari seretnya pendapatan. Setidaknya akan ada pemotongan anggaran hingga Rp 96 triliun.

Cemas kita mendengar kabar itu. Kabar pemotongan anggaran tak akan lagi terdengar seperti mimpi buruk, tetapi mungkin akan seperti hujan ekstrem yang dapat menghentikan proyek tanpa waktu yang jelas!

Khusus untuk ruas Mumugu-Wamena, kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, dari APBN 2016 pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 361 miliar. ”Dan, sekarang sedang direvisi,” ujar Basuki (Kompas, Selasa, 23 Agustus 2016).

Penekanan kata ”direvisi” oleh Menteri Basuki sungguh sempat mengkhawatirkan. Basuki untungnya menambahkan, ”sedang direvisi karena akan ada tambahan Rp 45 miliar.” Pernyataan Basuki sungguh merupakan warta baik bagi saudara-saudara kita di Tanah Papua…

Kerabat Kerja

Penulis: Haryo Damardono | Fotografer/Videografer: B Josie Susilo Hardianto, Nobertus Arya Dwiangga Martiar, Fabio M Lopes Costa, ndy Riza Hidayat, P Swantoro, Totok Wijayanto, Sonya Hellen Sinombor, Aloysius Budi Kurniawan, Luwi Ishwara | Desainer & Pengembang: Yosef Yudha Wijaya | Produser: Prasetyo Eko Prihananto, Nasru Alam Aziz

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.