Pempek, dari Makanan Tentara Sriwijaya ke Makanan Rakyat

Pempek sebagai makanan khas dari Palembang, Sumatera Selatan, ternyata memiliki sejarah panjang. Pempek diyakini sebagai makanan tentara Kerajaan Sriwijaya sebelum menjadi makanan rakyat seperti sekarang.

Tidak diragukan, pempek adalah makanan khas asal Palembang, Sumatera Selatan. Pempek selalu dikonotasikan dengan Palembang. Sebaliknya, Palembang identik dengan pempek. Ternyata, itu tak lepas dari sejarah panjang kehadiran pempek di Palembang. Pempek diyakini telah ada sejak masa Kerajaan Sriwijaya medio abad 7-14 Masehi dan turut menjadi bekal tentara Sriwijaya ke medan perang sebelum menjadi makanan rakyat seperti sekarang.

Selama ini, cerita populer mengenai pempek baru muncul di Palembang pada zaman Kesultanan Palembang Darussalam (1659-1823). Menurut Ketua Lembaga Komunitas Batang Hari Sembilan dan anggota Tim Pengusulan Pempek sebagai Warisan Dunia Vebri Al Lintani, yang  dihubungi dari Jakarta, Sabtu (5/9/2020), pempek dahulu bernama kelesan dan menjadi makanan keluarga kesultanan.

Belakangan, kelesan coba dijual masyarakat. Penjual kelesan itu paling banyak pemuda China yang di Palembang biasa dipanggil apek. Apek menjajahkan kelesan dari rumah ke rumah. Setiap orang yang ingin membeli memanggil apek itu pek-pek. ”Dari itu, kelesan dikenal sebagai makanan pek-pek dan mengalami pergeseran lafaz melahirkan istilah pempek,” ujarnya.

Vebri mengatakan, bukti arkeologis dan sumber tertulis tua khusus tentang pempek belum ditemukan. Namun, dari hasil penelusuran ketika mengusulkan pempek sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia sehingga ditetapkan pada 2014, pempek sudah ada jauh lebih lama daripada cerita populer yang berkembang.

Indikasi itu tampak dari isi Prasasti Talang Tuo (23 Maret 684), yakni prasasti mengenai pendirian Taman Sriksetra (berjarak sekitar 10 kilometer sebelah barat dari pusat kota Palembang) oleh Raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Dari hasil terjemahan sejarawan sekaligus arkeolog Perancis, George Coedes, pada 1930 yang tertuang di buku Kedatuan Sriwijaya (edisi kedua 2014), prasasti itu berisi instruksi raja untuk menanam sejumlah tanaman/pohon di Taman Sriksetra agar bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.

Salah satu tanaman itu adalah sagu. Bahkan, perintah penanaman sagu tertulis di baris kedua dari 14 baris isi salah satu prasasti Sriwijaya tertua yang pernah ditemukan tersebut. Perintah menanam sagu diduga karena masyarakat pendukung saat itu mengonsumsi sagu sebagai makanan utamanya.

KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Replika Prasasti Talang Tuo di Museum Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (29/10/2019). Prasasti Talang Tuo (23 Maret 684) salah satunya berisi instruksi raja untuk menanam pohon sagu di Taman Sriksetra agar bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Sagu itu diyakini turut menjadi bahan baku membuat pempek di masa Sriwijaya.

”Makan sagu merupakan budaya lama masyarakat Nusantara, terlihat jelas jejaknya di Indonesia bagian timur. Akan tetapi, karena karakteristik dinamis dan cukup mapan, masyarakat Palembang tidak lagi memakan sagu sebagai makanan utama, tetapi berganti dengan nasi yang dianggap lebih praktis penyajiannya,” kata Vebri.