Sejak awal Oktober 1945, situasi keamanan memanas di Jawa dan Sumatera. Pemerintah Indonesia dan para tokoh masyarakat mati-matian membangun diplomasi dan menyatukan kekuatan menghadapi kembalinya NICA-Belanda.
Di pihak lain, Sekutu melalui British Military Administration (BMA) harus menjalankan tugas melucuti militer Jepang, membebaskan tawanan perang, dan menjaga keamanan serta ketertiban di Indonesia dan Indo China.
Perbedaan kepentingan mengakibatkan konflik tak terhindarkan antara Republik Indonesia yang baru lahir melawan negeri adidaya Inggris pemenang Perang Dunia II. Sejak pagi, 25 Oktober 1945, sebanyak 6.000 serdadu British India dari Brigade 49 Divisi 23 The Fighting Cock mulai mendarat di Tanjung Perak, Surabaya.
Brigjen AWS Mallaby memimpin pasukan India dan Gurkha veteran pertempuran Imphal di perbatasan India-Burma tersebut. Tim aju Inggris Kapten Donald dan Letnan Gordon Smith menemui Gubernur Jatim Soeryo. Mereka mengundang Gubernur Jatim untuk bertemu Brigjen Mallaby di atas kapal perang Inggris di Tanjung Perak. Undangan tidak dapat dipenuhi karena Gubernur Soeryo harus membuka pertemuan para residen se-Jawa Timur.
Gubernur Soeryo mengirim Roeslan Abdul Gani, Dokter Sugiri, Bambang Suparto, dan Kustur untuk membuka kontak dengan pimpinan tentara Sekutu dan meminta agar pihak Inggris tidak langsung masuk ke Kota Surabaya, tetapi terlebih dahulu menyiapkan tempat untuk bermarkas.
Kronik Revolusi Indonesia Jilid I menuliskan, Kolonel Pugh yang mewakili militer Inggris dan Dokter Moestopo yang mewakili pihak Republik menyepakati tentara Inggris malam itu menghentikan gerakan sejauh 800 meter dari Tanjung Perak.
Adapun Letkol AJF Doulton dalam memoar ”The Fighting Cock-Being The History of 23rd Indian Division 1942-1947” mencatat, Batalyon 5/6 Rajput Riffle sudah berada di sisi barat Kali Mas, tepatnya di Jembatan Ferwerda (kini Jalan Jakarta) atau sekitar 3 kilometer di selatan titik pendaratan di Tanjung Perak. Sementara di sisi timur Kali Mas, Batalyon 6/5 Mahratta berjaga.
Doulton menulis, Wakil Komandan Brigade Kolonel Pugh bersama Batalyon Mahratta melakukan komunikasi yang baik dengan Dokter Moestopo dan Atmaji (Komandan TKR Laut). Yang menarik, semasa revolusi fisik, sempat terjadi dualisme kepemimpinan Angkatan Laut, yakni versi Surabaya dan Yogyakarta.
Pada hari-H pendaratan tersebut, Radio San Francisco mewartakan, Pemerintah Indonesia mengingatkan Pemerintah Inggris dan Belanda bahwa perlengkapan militer bantuan Amerika Serikat yang diperoleh dari program Lend Lease tidak boleh digunakan untuk menindas gerakan kemerdekaan Indonesia.
Sementara di London, Inggris, Perdana Menteri Clement Atlee menjelaskan kecaman anggota parlemen dari Partai Buruh bahwa operasi militer Inggris di Indonesia hanya melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang. PM Atlee mengakui, adakalanya terjadi pertempuran dengan pihak Indonesia.
Gerakan kebangsaan Indonesia hanya ditujukan untuk melawan pihak Belanda. Perjuangan rakyat Indonesia sendiri memiliki dasar yang sehat dan memanfaatkan momentum kekalahan Jepang. Dengan demikian, Inggris tidak akan campur tangan membantu Belanda mengembalikan penjajahan di Indonesia.
Malam pertama di Surabaya dilalui dengan tenang meski ada perasaan waswas di pihak Inggris yang menyadari bahwa mereka berada di kota yang dipenuhi kaum revolusioner bersenjata lengkap. Komunikasi Brigjen Mallaby dan Dokter Moestopo berjalan baik sehingga pada 26 Oktober 1945 atau sehari sesudah pendaratan tentara Inggris, mereka sudah bergerak ke selatan, yakni ke Rumah Sakit Darmo atau 12 kilometer dari Tanjung Perak.
Pasukan Sekutu segera mengamankan kamp tawanan perang RAPWI yang tersebar di rumah sakit dan perumahan kawasan Darmo, sekaligus menjaga instalasi pengolahan air. Pasukan yang ditempatkan di sana berasal dari Batalyon Rajput Riffle 5/6, Resimen Lapangan India Ke-3, Kompi Lapangan India Ke-71, dan Ambulans Lapangan India Ke-47.
Dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid I disebutkan, telah terjadi perundingan antara militer Inggris dan pihak Indonesia di Kayoon soal pelepasan tawanan perang laki-laki Belanda yang ditentang pihak Indonesia. Para tawanan diduga kuat akan mempersenjatai diri dan menyerang Indonesia. Para pemuda saat itu menuntut tanggung jawab keamanan dipegang pihak Indonesia dan bukan pihak Inggris.
Perundingan dilanjutkan siang hari dengan kesepakatan bahwa yang akan dilucuti hanya tentara Jepang dan bukan TKR. Tentara Inggris sebagai wakil Sekutu akan membantu memelihara keamanan dan ketertiban. Sesudah dilucuti, tentara Jepang akan diangkut lewat laut. Pihak Inggris diizinkan memasuki lokasi internir tentara Jepang di Darmo, Gubeng, Ketabang, Sawahan, Bubutan, dan lain-lain.
Situasi normal berlangsung hingga pagi hari 27 Oktober, saat Kompi B dari Batalyon 6 Mahratta menduduki bandara di dekat Tanjung Perak. Seorang komandan Indonesia bahkan membawakan beberapa peti minuman limun dan bir untuk pasukan Inggris yang diterima dengan gembira.
Menjelang siang, suasana tiba-tiba berubah sesudah pasukan Sekutu yang terbang dari Jakarta menjatuhkan pamflet dari udara yang meminta rakyat menyerahkan senjata api kepada tentara Inggris. Langkah serupa dilakukan di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Salah satu isi pamflet menyebutkan, orang-orang yang terlihat tetap memegang senjata dan menolak menyerahkan senjata kepada tentara Sekutu dapat ditembak.
Mallaby, dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid I, menyatakan keheranannya dengan penyebaran pamflet dari udara tersebut. Namun, sebagai anggota militer, dia harus mematuhi atasan. Dokter Moestopo segera menghadapi Brigjen Mallaby dan menyatakan rakyat Surabaya sepertinya enggan mematuhi permintaan menyerahkan senjata.
Setelah berunding, disepakati tenggat penyerahan senjata diperpanjang hingga 30 Oktober 1945. Moestopo berjanji akan mengadakan siaran radio untuk meminta rakyat menyerahkan senjata.
Permusuhan dan kekerasan
Dalam catatan Doulton, ketegangan segera menyusul karena Moestopo tidak berhasil meyakinkan massa. Siaran radio yang membakar semangat arek Suroboyo untuk melawan kepada Sekutu-lah yang justru disiarkan ke seantero Surabaya. Doulton menjelaskan, ultimatum untuk menyerahkan senjata bukanlah pemicu utama pertempuran di Surabaya.
Penyebab utama kekerasan di Surabaya adalah kegagalan pihak Jepang menjaga senjata agar tidak jatuh ke tangan pemuda. Faktor lain adalah kuatnya kepemimpinan Soekarno di Jakarta dalam menjaga ketertiban dan mengedepankan diplomasi serta berkembangnya isu di Surabaya bahwa Inggris melapangkan jalan bagi kedatangan tentara Belanda.
Doulton menyebut nama tokoh Soetomo dan Atmaji sebagai pimpinan revolusioner yang radikal. Kota Surabaya dipenuhi kelompok radikal kiri dan kanan, selain terjadi perebutan pengaruh antara kelompok moderat dan kelompok revolusioner di kota ini.
Selanjutnya, sepanjang malam dari tanggal 27 ke 28 Oktober, terdengar pergerakan kendaraan di Kota Surabaya. Suasana masih aman, tetapi perasaan mencekam menjalar ke seluruh kota. Setelah itu, sepanjang pagi 28 Oktober 1945, pasukan Inggris telah tersebar dari utara (di Tanjung Perak) hingga selatan kota, tepatnya di Sekolah Maritim, Kantor Pos Besar, dan kamp tawanan Sekutu di sekitar Rumah Sakit Darmo dan perumahan sekitarnya.
Tiba-tiba, menjelang petang, terjadi gerakan pemuda Surabaya menyerbu berbagai posisi Inggris yang tersebar di pos-pos kecil di Surabaya dalam radius 12 kilometer, dari utara ke selatan kota. Jumlah mereka diperkirakan mencapai 140.000 orang, sebanyak 20.000 orang di antaranya pernah dilatih oleh militer Jepang.
Terjadi insiden mengerikan ketika konvoi 20 truk milik Inggris berbobot masing-masing 3 ton yang mengangkut perempuan dan anak-anak Eropa, terjebak di tengah serbuan massa arek Suroboyo. Konvoi tersebut dikawal 22 serdadu yang dipimpin Lance Havildar atau Sersan Mayor India. Rombongan tersebut dicegat massa dan diberondong tembakan. Perwira yang berada di truk terdepan dan beberapa penumpang warga sipil pun tewas.
Beberapa truk berhasil mundur dan meloloskan diri. Kelompok yang tersisa, sebanyak 400 perempuan dan anak-anak, dilindungi oleh 60 prajurit India yang berbekal dua pucuk senapan mesin Bren dan senapan-senapan Lee Enfield. Mereka melawan dalam pertempuran dua setengah jam yang mengerikan.
Memasuki malam, pertempuran tetap berlanjut. Ketika amunisi habis, dilanjutkan dengan saling menikam pisau, sangkur, golok, dan pedang. Mayat pun bertumpukan di sekitar lokasi barikade yang menghadang truk-truk tersebut.
Sersan Mayor India tersebut menyadari, jika tidak menyingkir, mereka akan ditumpas oleh massa pemuda. Dia pun memerintahkan sopir untuk menabrak tumpukan mayat dan barikade. Mereka berhasil meloloskan diri dan diikuti tiga truk lainnya, lalu mencapai pos penjagaan Batalyon Rajput Riffle. Mereka mengamankan diri ke sebuah rumah dan merawat korban yang luka-luka sambil menunggu bala bantuan yang datang menjelang tengah malam.
Sebagian pasukan lainnya yang terkepung bertahan hingga dua hari di sudut kota. Kekacauan melanda Surabaya, para perwira dan prajurit Inggris yang bepergian dalam kelompok kecil tiba-tiba menghilang dan mayatnya kemudian ditemukan mengambang di Kali Mas atau di tepi jalan. Sebagian besar jenazah dimutilasi ataupun wajahnya dikuliti.
Pasukan Inggris nyaris hancur. Persediaan amunisi dan pangan terdapat di utara di pelabuhan. Markas Brigade 49 terdapat di tengah kota, sedangkan pos-pos pasukan tersebar sehingga kekuatan mereka tidak terkonsentrasi. Bahkan Rumah Sakit Darmo pun menjadi sasaran kemarahan massa.
Kolonel Pugh menghimpun sebagian pasukan infanteri Rajput, regu senapan mesin, dan pasukan kesehatan demi mempertahankan rumah sakit dari gelombang demi gelombang serangan. Para pejuang Indonesia pun tidak undur. Semakin malam hingga menjelang subuh, serangan terus dilancarkan terhadap pos-pos Inggris.
Di sebuah pos peleton Rajput Riffle, para pejuang Indonesia menyerang dengan dua tank ringan buatan Jepang. Seorang prajurit India nekat mendatangi tank tersebut. Dengan senapan mesin yang ditancapkan ke lubang intai di kubah tank, dia menyemburkan tembakan untuk melumpuhkan tank tersebut.
Sebuah pos lain terkepung, seorang juru senapan mesin Bren dari Kompi Lapangan India Ke-71 terus bertempur meski mulut, leher, dan kedua kakinya terluka tembak. Di dekat tempat instalasi air minum Surabaya, tiga peleton pasukan Rajput Riffle bertempur dengan bayonet karena kehabisan amunisi. Mereka berhasil meloloskan diri dari kepungan, lalu menempuh jarak beberapa ratus meter ke posisi pos pasukan Inggris lainnya.
Sepanjang malam tanggal 28 hingga siang hari tanggal 29 Oktober 1945, Brigade 49 dari Divisi Infanteri India 23 nyaris musnah jika tidak terjadi gencatan senjata! Akhirnya, pihak Inggris meminta Presiden Soekarno datang ke Surabaya pada 29 Oktober 1945 untuk menenangkan massa.
Pesawat RAF menerbangkan Presiden Soekarno yang kemudian langsung mendatangi Markas Batalyon Mahratta untuk bertemu Brigjen Mallaby guna membahas gencatan senjata. Perundingan berlangsung di tengah pertempuran yang terus berkecamuk. Pola pertempuran berdarah seperti inilah yang terjadi di Surabaya dan semakin dipicu setelah Brigjen Mallaby tewas sore hari pada 30 Oktober 1945.
Inggris pun mendatangkan Divisi India 5 untuk menggantikan Divisi India 23 yang kewalahan dihajar pemuda Surabaya. Berbagai elemen seperti TKR Laut, Polisi Istimewa, Lasykar Pesindo, kelompok kiri, Barisan Hizbullah, Barisan Sabilillah, Palang Biru, para pemuda Tionghoa dari Malang dan Kapasan, Surabaya, pasukan BPRI, dan lain-lain berperang dengan penuh keberanian di Surabaya.
Puncak pertempuran Surabaya selanjutnya terjadi pada 10 November 1945 yang berlarut-larut hingga 31 November. Kecaman dunia internasional terhadap Inggris dan seruan solidaritas dari sejumlah negara mengalir untuk mendukung perjuangan dan penderitaan rakyat Surabaya.
Pramoedya Ananta Toer mengutip karangan Mayor RB Houston dalam What Happened in Java mencatat, orang Surabaya baru dapat digusur dari Surabaya setelah Inggris mengerahkan artileri dan meriam kapal perang dalam 21 hari pertempuran.
Arsip Inggris mencatat, setidaknya terdapat 6.135 korban jiwa warga Indonesia dalam pertempuran Surabaya. Inggris pun kehilangan dua jenderalnya, yakni Brigjen Mallaby dan Brigjen Symonds, yang kini dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta, bersama para prajurit Sekutu lainnya. Surabaya… Surabaya… Kota Pahlawan…!