Cukup dengan Merebus Air

Kendati sumur tersebut dimiliki keluarga Kakek Abeh Riau dan Kakek Tilo Radung, anugerah air asin itu tak semata dikuasai dua keluarga itu. Keturunannya membolehkan siapa saja ikut memanfaatkan sumur air asin itu secara bergiliran.

Saat ini, warga dari empat desa mengelola sumur garam Long Midang secara bergantian, yakni  Desa Liang Tuer, Desa Pa Nado, Desa Buduk Kinangan, dan Desa Pa’ Rupai.

Total, ada lebih dari 100 keluarga yang secara bergiliran memproses air asin menjadi garam dari kedua sumur tersebut. Di desa tempat Robert tinggal saja, Liang Tuer, terdapat 48 keluarga yang ikut membuat garam.

Setiap keluarga kebagian jatah mengolah air asin menjadi garam selama seminggu dalam setahun. Saat giliran tiba, mereka akan membawa perbekalan dan pakaian sebagai bekal menginap di bilik pengolahan garam gunung tersebut.

”Kita bayar 10 kilogram garam ke yang punya sumur, tidak pakai uang. Dalam seminggu, kami bisa menghasilkan sekitar 100 kilogram garam,” kata Robert.

Pembuat garam biasanya akan menyisihkan sebagian hasil garam untuk konsumsi keluarga. Sisanya dijual ke Malaysia. Di Pasar Krayan, garam gunung dijual Rp 50.000 per kilogram. Sementara garam yang dijual ke Malaysia dihargai 30 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 100.000 per kilogram (kurs Rp 3.300 per ringgit Malaysia).

Pengolahan garam di Long Midang berlangsung sepanjang tahun. Mereka bekerja siang malam memasak air asin hingga menghasilkan butiran garam halus. Mula-mula, mereka menimba air asin dari sumur yang berada di belakang bilik pengolahan. Air kemudian dituang ke dalam wadah yang dibuat dari drum yang dibelah dua.

Wadah drum ditempatkan berjajar di atas tungku. Setelah wadah terisi penuh, kayu ditata di dalam lubang tungku lalu dibakar. Kondisi api harus stabil 24 jam untuk mendapatkan hasil garam yang maksimal. Air asin yang dimasak pun harus diaduk berkala.