Seperti moda industri budaya lainnya, industri musik mengalami perubahan dramatik seiring dengan disrupsi digital yang kian menjadi-jadi. Produser dan label musik di era konvensional, yang dulu menjadi aktor paling dominan dan menentukan, kini beringsut ke pinggiran. Kekuasaan mereka diambil alih oleh para pemilik platform digital. Lantas bagaimana nasib musisi yang sejatinya jantung industri musik itu?
Tanpa perlu hijrah ke Jakarta yang dulu dianggap sebagai episentrum industri musik Indonesia, Jonathan ”Tian” Dorongpangalo dan Everly Salikara dari Bitung, Sulawesi Utara, berhasil menarik perhatian khalayak di banyak negara berkat lagu ”Ampun Bang Jago”.
Lantas bagaimana nasib musisi yang sejatinya jantung industri musik itu?
Sejak dirilis pada 12 September 2020, lagu berirama disko itu telah mengiringi lebih dari 2,7 juta video orang berjoget di aplikasi Tiktok. Nama Tian dan Everly yang sebelumnya nyaris tak terdengar secara luas tiba-tiba menyeruak dan dibicarakan orang.
Hal yang sama terjadi pada Alif Ba Ta. Teknik bermain gitarnya yang ajaib, yang ia pertontonkan melalui kanal Youtube, dikagumi jutaan orang dari banyak negara. Berkisar dua-tiga tahun yang lalu, musik dan goyang Gemu Famire juga viral. Musik dan goyang yang bertumpu pada tradisi pesta di kampung-kampung Maumere dan Ende itu tiba-tiba dipraktikkan bersama-sama oleh banyak orang di banyak negara dalam gerakan flash mob.
Pada kurun waktu yang hampir bersamaan, lagu ”Lagi Syantik” yang dibawakan Siti Badriah juga menarik perhatian penonton Youtube, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di Kamboja, Hong Kong, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan beberapa negara lainnya.
Tahun 2018, lagu beraroma disko dangdut itu bahkan bertengger di posisi keempat tangga lagu Billboard Youtube dan posisi keenam chart Youtube global top song lantaran ditonton lebih dari 340 juta kali. Februari 2021, lagu tersebut telah ditonton lebih dari 630 juta kali.
Keberhasilan ”Ampun Bang Jago”, ”Gemu Famire”, Alif Ba Ta, dan ”Lagi Syantik” menembus audiens global adalah bagian dari fenomena dunia digital dan masyarakat kontemporer yang berkarakter narsistik. Kanal sosial seperti Youtube dan sekarang Tiktok menyediakan akses bagi siapa pun untuk memamerkan karyanya kepada audiens global dan meraih popularitas secara kilat.
Hal ini sulit dibayangkan terjadi pada industri musik sebelum era digital. Dulu, popularitas musisi/band dan ”selera pasar” ditentukan oleh pemain-pemain besar yang menguasai nyaris semua lini industri musik, mulai dari produksi, distribusi, hingga pertunjukan (ekshibisi).
Di era digital, dominasi mereka dipereteli oleh pemilik teknologi digital. Lewat kekuatan algoritma dan distribusi tanpa batas, pemilik teknologi tampil sebagai kekuatan baru yang mengontrol industri budaya, termasuk musik era digital.
Tulisan ini selanjutnya akan mencuplik dinamika industri musik Indonesia pada era industri konvensional dan era industri musik digital. Siapa aktor-aktor dominan dan hegemonik pada setiap era?