Perdagangan Satwa dan Ancaman Pandemi Baru

Selama ribuan abad, manusia dan satwa telah hidup bersama. Perburuan satwa semula tak lebih upaya manusia untuk bertahan hidup. Seiring waktu, perburuan satwa bukan sekadar untuk mengisi perut manusia, melainkan urusan komoditas menggiurkan. Tanpa, disadari keserakahan yang merenggut kehidupan satwa bisa menjerumuskan manusia pada jurang pandemi baru.

Keindahan kulit, taring, kuku, dan gading satwa kerap memesona banyak orang. Melihat itu, Fendi (33) memahami keindahan itu dapat memberinya keuntungan besar. Ia kemudian rutin menawarkan berbagai barang dari hasil perburuan. Paling tidak dua pekan sekali ia menggelar lapak.

Media sosial membuat bisnisnya semakin melesat. ”Bagi yang serius minat, inbox aja,” begitu salah satu postingan-nya di Facebook yang menjajakan puluhan lembar kuku, taring, serta kumis harimau dan beruang pada Maret lalu.

Potongan-potongan organ satwa itu ditawarkan dengan harga jutaan hingga belasan juta rupiah. Meskipun mahal, lapak daringnya (online) laris manis dan tentu mendatangkan keuntungan besar.

Belakangan, bisnis hitamnya terendus aparat penegak hukum. Namun, Fendi tak menyadarinya. Akhir April lalu, ia memamerkan koleksi terbaru. ”Sepasang tanduk rusa. Taring masih nempel satu buah, dan dua pasang tanduk kambing hutan,” demikian tertera di laman medsosnya.

Seorang calon pembeli langsung menyatakan minat. Transaksi pun berlanjut. Keduanya sepakat bertemu di sebuah restoran di Kota Jambi. Tak disangka-sangka, aparat gabungan Kepolisian Resor Kota Jambi dan BKSDA Jambi muncul saat transaksi berlangsung.

Dari dalam tas Fendi ditemukan beragam jenis bagian tubuh satwa dilindungi. Di antaranya, 13 lembar kulit harimau sumatera, lengkap dengan kuku dan kumisnya. Ada pula tengkorak kepala macan, kepala kijang, serta lima tanduk kambing hutan. Belum lagi, kuku beruang yang berjumlah 11 buah. Tak ketinggalan gigi taring beruk hingga iga duyung yang telah berukir.