Perjalanan Jakarta-Bogor pada Pertengahan Abad ke-19

Sejak dulu Nusantara telah menarik kedatangan orang asing, baik untuk berdagang, mencari rempah-rempah, hingga akhirnya berubah menjadi kolonialisme. Pada abad ke-19, antarkota semakin saling terhubung, terutama di Pulau Jawa dengan selesainya Jalan Raya Pos. Mobilitas meningkat dengan dukungan moda transportasi kereta kuda dan kereta api.

Suasana perjalanan darat di Pulau Jawa saat itu diungkapkan beberapa pejalan (traveler) asing, antara lain Charles Walter Kinloch dan Eliza Ruhamah Scidmore, dalam bukunya masing-masing. Salah satunya, pengalaman perjalanan dari Batavia (Jakarta) ke Buitenzorg (Bogor), termasuk pernak-pernik kehidupan yang mereka saksikan.

Pada 170 tahun silam, untuk menempuh jarak Jakarta-Bogor sejauh 50 kilometer, diperlukan waktu sedikitnya 4 jam dengan empat kali berganti kuda penarik kereta kuda ekspres. Ini yang dialami Charles Walter Kinloch, pegawai Kompeni Inggris (East India Company-EIC) di India. Ia bersama keluarganya pergi ke Pulau Jawa untuk berobat dan tetirah.

Selain mengunjungi Batavia, ia juga pergi ke kota-kota lain di Jawa. Perjalanannya di Pulau Jawa ia catat yang kemudian dibukukan menjadi De Zieke Reiziger atau Rambles in Java and The Straits in 1852. Setelah beberapa hari di Batavia, Kinloch melanjutkan perjalanan ke Bogor atau Buitenzorg. Sebelumnya, ia harus mengurus izin perjalanan atau semacam paspor kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan biaya 2,5 gulden yang berlaku untuk jangka waktu 12 bulan.

Ongkos perjalanan disebutnya sangat mahal, yakni dua rupiah hingga dua gulden per mil. Kecepatan kereta kuda rata-rata 10 mil atau 16 kilometer per jam. Perjalanan ditempuh melewati Jalan Raya Pos yang dibangun Marsekal Herman Willem Daendels tahun 1808 yang membentang dari Anyer di Banten hingga ke Panarukan di Jawa Timur sejauh 1.000 kilometer. Kinloch mencatat, pembangunan Jalan Raya Pos menelan nyawa 20.000 pekerja!

Sebelum ada Jalan Raya Pos, perjalanan dari Batavia ke arah timur pulau Jawa dilakukan lewat laut dan memakan waktu berhari-hari, bergantung kondisi cuaca. Jika menempuh jalan darat, bisa memakan waktu satu bulan. Setelah ada Jalan Raya Pos, perjalanan dari Batavia ke ujung timur Jawa bisa dilakukan dalam tiga atau empat hari saja.

Sebelum ada Jalan Raya Pos, perjalanan dari Batavia ke arah timur pulau Jawa dilakukan lewat laut dan memakan waktu berhari-hari, bergantung kondisi cuaca.

Jalan tersebut disediakan khusus bagi kereta-kereta kuda milik pemerintah kolonial. Adapun gerobak milik rakyat diarahkan menyusuri pinggiran jalan karena dikhawatirkan berat muatan gerobak akan merusak badan Jalan Raya Pos.

Setiap 10 paal atau 10 mil (kurang lebih 16 kilometer) terdapat pos untuk mengganti kuda yang dilengkapi bangunan dan tempat beristirahat. Tempat ini dikenal sebagai pesanggrahan milik Pemerintah Kolonial atau Pesanggrahan Gubernemen. Pesanggrahan ini dapat digunakan untuk bermalam jika kemalaman di Jalan Raya Pos. Tersedia kuda pengganti, kandang kuda, dan kereta pos, serta perlengkapan lain.

Di kota-kota besar, Kantor Pos dibangun di pusat stasiun kereta kuda Jalan Raya Pos sekaligus menjadi titik nol kilometer, seperti di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Di Batavia, titik nol di Kantor Pos Pusat Batavia yang bersebelahan dengan Schouwburg kini Gedung Kesenian Jakarta.

Dalam buku Ekspedisi Anjer-Panaroekan Laporan Jurnalistik Kompas terbitan Penerbit Buku Kompas (PBK), disebutkan di Jalur Batavia-Buitenzorg terdapat lima stasiun pos yang dilewati, yakni Gambir, Jatinegara, Tanjung Timur, Cimanggis, Cibinong, dan Bogor yang lokasinya di dekat Istana Bogor (kini dekat Kantor Pos Bogor).

Sementara dari Bogor ke Karangsambung di Preanger atau dataran tinggi Priangan di dekat Kota Bandung terdapat 24 stasiun pos. Jalurnya membentang dari Bogor ke Megamendung, Puncak—kini Puncak Pass—dengan ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut.

Perjalanan Bogor-Puncak Pass memakan waktu 4  jam, kereta kuda yang dihela empat kuda harus dibantu 4-8 ekor kerbau untuk melintasi jalur Puncak Megamendung tersebut.

Pembangunan Jalan Pos di Puncak Pass atau Puncak Megamendung tersebut sangat monumental sebagai prestasi konstruksi infrastruktur di awal abad ke-19. Tidak heran jika kelak pelukis Raden Saleh Syarif Bustaman menggambar potret Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels dengan seragam militer lengkap. Tangannya menunjuk peta Jawa dengan tulisan richting van den weg ober Megamendoeng atau arah Jalan Raya Pos di atas puncak gunung Megamendung.