Relief Karmawibhangga menjadi petunjuk bahwa penggunaan jamu di Indonesia sudah ada sekitar abad delapan. Penggunaan jamu juga termuat dalam manuskrip kuno pada daun lontar dalam berbagai bahasa daerah, yakni Bali, Sanskerta, dan Jawa Kuno
Jauh sebelum pandemi Covid-19 datang, jamu sudah akrab digunakan anggota kerajaan dan zaman kolonial. Berbagai racikan resep diyakini ampuh dalam menjaga kesehatan dan menyembuhkan penyakit. Resep warisan leluhur ini terlahir dari budaya dan pengetahuan masyarakat yang masih bertahan hingga sekarang. Lebih dari sekadar tamba atauobat, jamu juga dapat menjadi bagian dari gaya hidup kembali ke alam.
Belakangan, jamu banyak dicari warga untuk memperkuat daya tahan tubuh saat pandemi Covid-19. Mulai dari penjual jamu keliling hingga toko daring, semuanya laris-manis kebanjiran permintaan. Kepopuleran jamu semakin diperkuat oleh testimoni Presiden Joko Widodo dalam video berdurasi satu menit dalam akun resminya. Resep jamunya sederhana, yakni rimpang jahe, kunyit, dan temulawak. Semuanya direbus mendidih hingga didapatkan ekstrak.
Budaya minum jamu dilakukan Presiden Jokowi sejak 17 tahun yang lalu. Kebugaran yang didapatnya sekarang merupakan buah manis perjalanan panjang dalam disiplin mengonsumsi jamu. ”Saya merasakan manfaat baik (jamu) untuk kebugaran tubuh. Ingin mencoba?” ujarnya sambil tersenyum. Resep tersebut rupanya menginspirasi sejumlah pelaku usaha mikro kecil menengah di berbagai daerah. Tak sedikit yang memasarkan produk tersebut melalui situs jual-beli daring. Hal ini terlihat dari hasil penelusuran Kompas pada situs jual-beli daring.
Saat mengetik kata ’jamu Jokowi’ pada laman pencarian sejumlah situs, maka akan muncul lebih dari tujuh penjual yang menawarkan ’jamu Jokowi’ dengan berbagai kemasan. Para penjual mendeskripsikan produk yang djual secara rinci pada kolom deskripsi produk dan harga yang ditawarkan bervariasi. Dalam genggaman tangan, jamu bisa praktis didapat.
Sudahkah minum jamu hari ini? Duh, kok, mbok jamu belum lewat, ya? Minum jamu apa, ya, hari ini? Sejumlah pertanyaan itu sudah tak asing terdengar belakangan ini. Ya, jamu kian menjadi bagian dari gaya hidup yang dicari. Sesungguhnya keberadaan jamu tak serta-merta ada begitu saja, tetapi tak terlepas dari sejarah panjang. Keberadaan jamu di Nusantara terekam dalam sejumlah peninggalan berupa relief candi di Jawa, catatan pribadi, manuskrip, dan buku.
Salah satunya adalah relief Karmawibhangga di Candi Borobudur. Prof Murdijati Gardjito dkk dalam buku Jamu Pusaka Penjaga Kesehatan Bangsa, Asli Indonesia (2018) menjelaskan, relief Karmawibhangga menjadi petunjuk bahwa penggunaan jamu di Indonesia sudah ada sekitar abad delapan. Pada relief ini digambarkan sejumlah orang yang memberikan pertolongan kepada seorang laki-laki yang sedang sakit dengan cara memijat kepalanya, menggosok perut dan dadanya, serta ada yang membawa mangkok obat. Kisah meracik jamu dengan sejumlah tanaman yang masih dimanfaatkan sebagai bahan ramuan pun tergambar di dalamnya, antara lain tanaman semanggen, pandan, maja, dan jamblang. Pembuatan ramuan jamu lebih banyak memanfaatkan tanaman yang tumbuh di sekitar.
Penggunaan jamu sejak dulu juga ditemukan dalam manuskrip kuno pada daun lontar dalam berbagai bahasa daerah, yakni Bali, Sanskerta, dan Jawa Kuno. Dalam koleksi Perpusnas RI, Seri Obat-Obatan Tradisional dalam Naskah Kuno(1993), disebutkan sejumlah naskah yang mencakup resep racikan jamu, misalnya naskah lontar Usada yang ditulis menggunakan aksara Bali, berbahasa Jawa Kuno dan Bali, serta ditulis dalam bentuk prosa. Totalnya ada 67 halaman yang berisi empat baris tulisan per halaman.