Pertumpahan Darah di Balik Manisnya Gula Batavia

Deretan puluhan batu granit bulat tersusun rapi di pelataran taman sebuah rumah di kompleks Villa Nusa Indah, Tangerang Selatan, Banten. Ketebalan batu-batu tersebut mencapai satu meter, demikian pula diameternya. Batu-batu gilingan tersebut merupakan bukti kaitan Kota Batavia dengan krisis ekonomi politik yang berakhir dengan kerusuhan rasial yang memicu perang koalisi Tionghoa-Mataram melawan penguasa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tahun 1740-1743. Peristiwa ini juga berujung pada pecahnya Kerajaan Mataram menjadi wilayah Surakarta dan Yogyakarta.

Subianto Rustandi, sang pemilik batu, menunjukkan identitas batu-batu bulat tersebut. Pada era 1600-1740, batu-batu itu menjadi mesin penggiling tebu di pabrik-pabrik gula yang tersebar di seantero Batavia. Pabrik-pabrik itu menjadi sumber ekonomi utama. Ketika Kompeni Belanda dan Inggris menggantikan hegemoni Spanyol dan Portugis dalam penguasaan perdagangan rempah dunia, perekonomian di pelabuhan utama di Batavia dimotori industri gula pasir dan produk olahannya.

”Masyarakat keliru mengenalinya sebagai gilingan tahu atau biji kedelai. Padahal, ini batu gilingan dari Suiker Molen atau pabrik pembuat gula tebu yang ada di Batavia yang digunakan sejak 1600-an hingga 1850. Gilingan tebu ini ada yang berupa sepasang batu gilingan dengan alas batu atau tiga canai, yaitu tiga batu penggiling,” tutur Subianto yang sedang meneliti riwayat pabrik gula di Batavia untuk riset doktoral di Universitas Indonesia.

Batu-batu gilingan dengan bobot hingga setengah ton itu ditemukan berserak di sepanjang aliran Sungai Bekasi, Cisadane, Pesanggrahan, dan lain-lain di wilayah Ommelanden—luar tembok Benteng Batavia—yang kini mencakup wilayah Jakarta, Tangerang, dan Bekasi.

Batu gilingan itu semula berada di pabrik gula yang ditemukan di sepanjang aliran sungai-sungai di Bandar Batavia. Ada yang digunakan sebagai batu pengasah pisau atau tempat membilas pakaian di Sungai Cisadane dan sekitarnya karena ditemukan teronggok begitu saja di tepian sungai.

Batu-batu gilingan yang digerakkan oleh tenaga hewan (kerbau) ini didatangkan dari wilayah selatan China, terutama Provinsi Guangdong.

Batu-batu gilingan yang digerakkan oleh tenaga hewan (kerbau) ini didatangkan dari wilayah selatan China, terutama Provinsi Guangdong. Batu gilingan serupa juga didatangkan dari Vietnam dan Taiwan. Industri gula berkembang di wilayah China Selatan, tempat tumbuhnya tebu. Artefak asli instalasi penggilingan tebu beserta panel keterangan proses penggilingan tebu yang menjadi salah satu industri penting di China Selatan dapat dilihat di Museum Sejarah Hongkong.

Sebelum berkembang di China, industri gula mula-mula tumbuh di wilayah Persia pada tahun 600 Masehi. Kebutuhan gula sebagai teman minum teh dan kopi, menurut sejarawan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Mona Lohanda, membuat gula pasir menjadi komoditas penting di dunia.