Tanpa perlu menyembunyikan jati dirinya, petai tampil berdampingan dengan sambal dan lalapan lainnya. Meski bau, nyatanya tetap diburu. Seolah tak pernah salah gaul, petai justru menjadi primadona di meja makan. Jenis lalapan ini tak hanya digemari di dalam negeri, tetapi juga telah mendunia.
Bagi pencinta lalapan, keputusan untuk singgah di warung makan ditentukan oleh jenis lalapan yang tersedia. Misalnya, keberadaan petai-petai yang digantung berjajar di atas rak etalase aneka lauk menjadi penanda penting untuk bersantap di sana.
Sebaliknya, mereka yang kurang menyukai petai akan mengernyitkan dahi. Tak perlu gundah gulana takut mencium aromanya, petai memiliki rasa yang enak. Namun memang efek bau setelah menyantapnyalah yang sulit dihindari.
Tak jarang petai bisa membuat hubungan pasangan renggang sejenak, lalu semakin harmonis. ”Kamu, kan, makan petai banyak ya tadi, nanti di mobil jangan ngomong terus ya. Takut baunya nempel! Komentar lainnya, ”Nanti kamu pipisnya di toilet tamu ya, jangan di toilet kamar kita.”
Alih-alih tersindir, biasanya salah satu pihak justru sengaja membuat jengkel pasangannya dengan mengembus-embuskan angin dari mulutnya. Oh, indahnya keributan yang disebabkan olehmu, ya, petai.
Oh, indahnya keributan yang disebabkan olehmu, ya, petai.
Petai biasanya hadir dengan ”sopan” atau tidak terbuka, yakni setelah melalui proses goreng atau bakar secara utuh bersama kulitnya. Ada kepuasan tersendiri saat berhasil menguliti petai dari kulitnya.
Di sinilah letak keseruan menyantap petai. Satu waktu kita mendapatkan petai bertekstur renyah dan manis, lain waktu memperoleh petai yang kopong. Sebelum mendarat di mulut, sebaiknya petai dicocol ke sambal agar semakin nikmat.