Begitu pukulan back hand Park Joo-bong melebar ke kiri bidang Eddy Hartono/Verawaty Fajrin, Indonesia merebut kemenangan 3-2 atas Korsel di final Kejuaraan Dunia Beregu Campuran Piala Sudirman di Istora Senayan, hari Minggu malam. (Kompas, Senin 29 Mei 1989)
Kepala berita utama Kompas 28 tahun lalu itu, menjadi tonggak optimisme, bahwa bulu tangkis di negeri ini akan berkembang pesat. Gelar juara Piala Sudirman edisi perdana di Istora Senayan, Jakarta itu, menghapus dahaga prestasi. Apalagi, tiga tahun sebelumnya, di gelanggang yang sama, publik Indonesia menyaksikan Icuk Sugiarto, Verawaty Fajrin, dan kawan-kawan dikandaskan oleh para pemain China di final Piala Thomas dan Uber.
Namun, optimisme itu kemudian menjadi khayalan semata. Indonesia tidak pernah lagi menjuarai turnamen bergengsi untuk mengenang jasa “Dick” Soedirman, tokoh kunci yang menyatukan IBF dan WBF, itu.
Generasi berganti, namun asa juara tak pernah terpenuhi. Setelah juara 1989, enam kali Indonesia menembus final Piala Sudirman, hasilnya selalu runner-up. Di final, Indonesia dua kali kandas dari Korsel, dan empat kali tak berdaya meruntuhkan ”tembok” China.
Piala Sudirman merupakan kebanggan sekaligus hantu bagi bulu tangkis Indonesia. Kejuaraan ini merupakan warisan dari para tokoh bulu tangkis nasional yang merawat dan membesarkan olahraga ini. Piala Sudirman identik dengan Indonesia, namun justru China yang merajai hingga 10 kali juara dari 14 edisi, disusul Korsel tiga kali juara.
Kerinduan merengkuh kembali Piala Sudirman telah menggunung selama 28 tahun. Penantian panjang itu, sekali lagi, ingin diakhiri di Gold Coast, Australia, pada 21-28 Mei. Namun, ini tidak akan mudah. Kekuatan tim Indonesia saat ini tidak merata di lima nomor. Apalagi, ganda campuran kehilangan Liliyana Natsir yang harus menjalani pemulihan cedera lutut.
Padahal, Liliyana dan pasangannya, Tontowi Ahmad, yang meraih medali emas di Olimpiade Rio de Janeiro 2016, adalah tumpuan Indonesia untuk memetik poin. Tanpa Butet, sapaan Liliyana, Tontowi coba dipasangkan dengan Gloria Emanuelle Widjaja. Bersama pasangan barunya ini, Owi, sapaan Tontowi, masih belum bisa tampil solid.
Situasi semakin kurang menguntungkan karena performa Praveen Jordan/Debby Susanto tak kunjung membaik. Padahal, juara All England 2016 itu, diharapkan menjadi solusi bagi ganda campuran, setelah Liliyana dipastikan absen untuk pertama kali di Piala Sudirman sejak debutnya pada 2003.
“Ganda campuran diminta memastikan menyumbang poin. Sebelumnya kan ada Butet dan Owi, sekarang Owi gak sama pasangannya, saya juga belum tenti sama pasangan saya. Peluang tetap ada, dengan (pasangan baru) ada plus minus, pasangan baru lawan juga belum tau permainan kita seperti apa,” ujar Debby seusai simulasi Piala Sudirman 2017, Sabtu (13/5).
Jika Preveen/Debby menjadi andalan utama, mereka akan bertemu dengan pasangan Denmark yang mereka kalahkan di final All England 2016, Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen. Indonesia, Denmark, dan India berada di Sub Grup 1D.
Nielsen/Pedersen adalah lawan yang sangat kuat. Mereka kini di peringkat kelima dunia, sedangkan Praveen/Debby di posisi delapan. Tantangan ini membutuhkan kembalinya performa Praveen/Debby, yang diakui oleh Chef de Mission tim bulu tangkis Indonesia Achmad Budiharto, masih belum stabil.
Achmad dalam diskusi Kekuatan dan Peluang Tim Indonesia di Piala Sudirman yang digelar oleh Tabloid Bola, Selasa (16/5) mengatakan, untuk melawan Denmark perlu strategi yang matang. Dia menyebutkan, mungkin juga menerapkan strategi psikologis, seperti saat melawan China di perempatfinal Piala Sudirman 2013 di Kuala Lumpur, Malaysia. Ini pertemuan kedua setelah bertemu pada babak penyisihan grup.
Di Sub-Grup 1A, 20 Mei 2013, dengan formasi dan urutan pertandingan ganda putra, tunggal putri, tunggal putra, ganda putri, dan ganda campuran, Indonesia kalah telak 0-5.
Tiga hari berikutnya, di perempat final, tim ”Merah Putih” mengubah formasi pemain. Liliyana ”Butet” Natsir didaftarkan untuk berlaga di dua nomor, yaitu ganda campuran dan putri. Ini dilakukan agar ganda campuran, salah satu nomor andalan Indonesia untuk meraih angka selain ganda putra, dimainkan pada urutan pertama.
Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) memiliki tujuh skenario urutan laga untuk Piala Sudirman. Satu skenario digunakan jika semua pemain hanya bertanding sekali. Enam lainnya menjadi pilihan saat ada pemain dari salah satu atau kedua tim harus tampil dua kali. Setiap pemain dibatasi maksimal bertanding dua kali di Piala Sudirman.
Saat Butet didaftarkan bermain rangkap, urutan yang dipakai adalah ganda campuran, tunggal putra, ganda putra, tunggal putri, dan ganda putri. Urutan itu sempat menghasilkan keunggulan Indonesia, 2-1, dari ganda campuran dan putra meski akhirnya kehilangan dua nomor terakhir.
China berbalik unggul, 3-2. Meski kalah, Indonesia telah membuat repot kubu China, tim yang biasanya selalu menang dengan dominan.
”Itu (menurunkan Butet dalam dua nomor) menjadi bagian dari strategi demi kepentingan tim. Sudah lumrah dilakukan dalam kejuaraan beregu,” kata pelatih ganda campuran pelatnas Richard Mainaky.
Mantan pemain, pelatih ganda putra, serta manajer tim Indonesia dalam beberapa kejuaraan beregu, Christian Hadinata, mengistilahkan apa yang terjadi di Piala Sudirman 2013 sebagai ”memukul lawan secara psikologis”.
”Biasanya, saat satu tim unggul karena strategi tepat, itu berdampak secara psikologis pada lawan,” kata Christian.
Christian menilai, tahun ini Denmark memiliki keunggulan di empat nomor dibandingkan Indonesia yaitu, tunggal putra, ganda putri, ganda campuran, dan ganda putra. Sedangkan di tunggal putri tidak telalu bagus, sehingga Indonesia bisa ambil poin. Tunggal putri Denmark, Line Kjaersfeldt di peringkat 26 dunia, diyakini bisa diatasi oleh Fitriani yang kini di posisi 23 dunia.
Di ganda putra, Indonesia juga tidak bisa terlalu optimistis karena paangan Denmark, Mathias Boe/Carsten Mogensen di posisi dua dunia. Mereka setingkat di bawah andalan Indonesia, Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon.
“Peringkat satu dan dua itu tipis, jadi kita tidak bisa bilang lebih unggul,” ujar Achmad Budiharto.
Ganda putri dan campuran juga sangat berat, dengan Christinna Pedersen tampil di dua nomor itu. Di ganda putri Pedersen akan berpasangan dengan Kamilla Rytter Juhl. Mereka kini di peringkat dua dunia. Ini tantangan berat bagi Indonesia karena di nomor ini Greysia Polii tidak bersama pasangannya Nitya Krishinda Maheswari yang masih pemulihan cedera.
Greysia beberapa kali dipasangkan dengan Anggia Shitta dan Rosyita Eka Putri. Namun, mereka belum solid, meskipun menjanjikan. Greysia/Rosyita menunjukan performa yang menjanjikan di Thailand Masters, namun mereka dihentikan oleh pasangan China, Chen Qingchen/Jia Yifan, di semifinal.
”Memang, saya tahu, dengan tidak berpasangan dengan Nitya, ada ketimpangan, tetapi itu tidak mengurangi kepercayaan diri kami. Kami sebagai atlet siap ke sana siap bertanding,” ucap Greysia.
Sedangkan saat melawan India, tim Indonesia bisa lebih diunggulkan. Kekuatan terbesar India hanya di tunggal putri yang memiliki Pusarla V Sindhu. Jika tidak ada perubahan formasi, Sindhu akan menjadi lawan Fitriani.
Mereka pernah dua kali bertemu di kejuaraan Syed Modi International pada Januari, dan Super Series Singapura Terbuka pada April. Fitriani kalah dua gim langsung di Syed Modi. Di Singapura, Fitriani memberikan perlawanan sengit meskipun akhirnya kalah, 21-19, 17-21, 8-21.
“Lawan Sindhu sudah dua kali bertemu. Sudah evaluasi sama pelatih, mudah-mudahan saat main nanti bisa mengeluarkan permaian terbaik saya. Perbaikannya pada kecepatan, fokus konsisten dari awal sampai akhir, pukulan, dan gak buru-buru mematikan (lawan), harus lebih sabar,” ujar Fitriani.
Achmad Budiharto menilai, peluang India menang di tunggal putri 60:40. “Sedangkan di ganda putri kita percaya diri lebih baik dari mereka, peluangnya 55:45 untuk kita. Ganda putra dan campuran kita juga lebih baik. Kita bisa menang 3-2, kecuali kita bisa mencuri poin di tunggal putra, hasilnya bisa lain,” ujarnya.
Tunggal putra India juga kuat dengan andalan Ajay Jayaram yang berada di peringkat 13 dunia. Dia tampil bagus di Super Series Premier Malaysia Terbuka dengan mengalahkan andalan Denmark Victor Axelsen yang waktu itu di peringkat 4 dunia. Kini Axelsen di posisi tiga dunia, setingkat di atas rekan senegaranya Jan O Jorgensen.
Indonesia membawa tiga pemain tunggal putra yaitu Anthony Sinisuka Ginting di peringkat 23 dunia, Jonatan Christie (28), dan Ihsan Maulana Mustofa (32).
“Peluang kita di tunggal putra melawan India 50:50,” ujar Achmad Budiharto.
Indonesia akan menjalani laga pertama grup melawan India pada 23 Mei, dan melawan Denmark pada 24 Mei. Laga melawan India merupakan kunci melangkah ke perempat final. Kemenangan akan menjadi modal melawan Denmark untuk memperebutkan juara grup.
“Kita realistis, targetnya runner-up grup, karena peluangnya di atas 50 persen. Kalau juara grup peluangnya di bawah 50 persen, tapi peluang 1 persen pun akankita perjuangkan,” ujar Achmad.
Di kejuaraan beregu, selain meracik strategi secara teknis, faktor non-teknis juga berperan besar. Kekompakan tim, motivasi setiap atlet untuk menang, dan mental baja akan berperan besar menjadi penentu.
Pelatih gand putra Indonesia, Herry Iman Pierngadi menegaskan, atmosfer di kejuaraan beregu berbeda dengan perseorangan. Jika pemain tidak memiliki mental yang kuat, performa mereka bisa terpengaruh.
”Setiap pemain yang diturunkan (di kejuaraan beregu) harus menang, itu yang menjadi tekanan. Ada beban dia ke pemain yang lainnya, tanggung jawabnya besar. Jadi, itu kembali lagi ke pemain, bisa mengatasi apa enggak,” ujar Herry.
”Nomor satu memilih pemain di beregu, biasanya para pelatih memilih pemain yang karakternya fighter (petarung). Mentalnya harus kuat,” ucap Herry.
Tanggung jawab menang dan meraih poin itu diakui Debby Susanto, pemain ganda campuran. ”Kalau tekanan, enggak. Kalau tanggung jawab menjadi lebih besar, iya; karena ganda campuran diminta memastikan menyumbang poin,” ujarnya.
Tanggung jawab lebih besar pun dirasakan pemain tunggal putra Anthony Sinisuka Ginting. Dia merasa harus lebih profesional, menjaga fokus dan mental, supaya tim tidak rugi.
”Saya justru lebih semangat kalau main beregu karena ada teman yang menjadi suporter di belakang, jadi lebih mau menujukan (kemampuan). Memang, kalau menjadi penentu (kemenangan), akan ada rasa tegang yang lebih dari pertandingan-pertandingan biasa, tetapi bukan takut,” tutur Anthony menegaskan.
Mengasah mental dan kekompakan tim, merupakan salah satu target dari simulasi Piala Sudirman. Kekompakan adalah kunci dalam kejuaraan bulu tangkis beregu, seperti Piala Sudirman. Berbagai cara dilakukan untuk membangunnya, seperti dengan menggelar simulasi pertandingan. Namun, yang terpenting, seperti dikatakan Greysia Polii, adalah mendukung tim dengan sepenuh hati.
Suasana di Pelatnas Cipayung, Jakarta, Sabtu (13/5), berbeda dari biasanya. Satu dari 21 lapangan yang terletak di bagian tengah dilengkapi kursi wasit, hakim garis, hakim servis, dan alat mengukur ketinggian servis. Jajaran kursi untuk Tim Elang dan Tim Garuda diletakkan di salah satu sisi lapangan. Sabtu pagi hingga siang, Pelatnas Cipayung menjadi tempat penyelenggaraan simulasi pertandingan Tim Piala Sudirman Indonesia yang akan bertanding di Gold Coast.
Simulasi digelar dengan membagi pemain dalam dua tim, Elang dan Garuda. Tim Elang terdiri dari Anthony Sinisuka Ginting, Dinar Dyah Ayustine, Angga Pratama/Mohammad Ahsan, Greysia Polii/Apriani Rahayu, dan Tontowi Ahmad/Gloria Emanuelle Widjaja.
Adapun Garuda diperkuat Jonatan Christie, Fitriani, Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon, Della Destiara Haris/Rosyita Eka Putri Sari, dan Ronald Alexander/Debby Susanto. Ronald, satu-satunya pemain yang tidak masuk Tim Sudirman, menggantikan Praveen Jordan yang belum fit karena sakit.
Tim Garuda menang 5-0, tetapi semua pertandingan berjalan ketat. Ini memperlihatkan keseriusan atlet dalam menjalani setiap laga meskipun penyelenggaraan simulasi tidak terlalu ideal, seperti yang selama ini dilakukan menjelang kejuaraan beregu, Piala Sudirman dan Piala Thomas-Uber.
Biasanya, simulasi digelar di luar pelatnas, disaksikan penonton umum. Menjelang Piala Sudirman 2015, misalnya, simulasi diselenggarakan di GOR Asia Afrika, Senayan, Jakarta. Berdasarkan pemberitaan Kompas, simulasi Piala Sudirman 1995 digelar di Istora Jakarta, disaksikan 2.000 penonton. Program itu juga beberapa kali diselenggarakan di luar Jakarta.
”Simulasi dilakukan untuk menciptakan suasana seperti pertandingan sebenarnya. Atlet, apalagi yang baru masuk dalam tim, berlatih tampil dalam kejuaraan beregu di hadapan penonton. Tahun ini, mungkin karena jadwal turnamen terlalu padat, simulasi digelar di Cipayung,” kata Christian Hadinata.
Ketua Bidang Pembinaan Prestasi PP PBSI Susy Susanti mengatakan, simulasi yang digelar pada Sabtu tak terlalu ideal karena tidak disaksikan banyak penonton umum. Namun, dia memuji semua pemain yang tampil serius. Tiga dari lima pertandingan (tunggal putra-putri dan ganda putra) berlangsung dalam tiga gim. Adapun ganda putri dan campuran dalam dua gim dengan skor ketat.
”Setiap atlet ngotot untuk menang karena hasil yang diperoleh berpengaruh untuk tim. Meski tak banyak penonton, mereka mendapat sorotan karena menjadi pusat perhatian yang hadir di sini,” kata Susy.
Untuk menciptakan suasana yang mendekati pertandingan, susunan laga dibuat seperti peraturan untuk Piala Sudirman. Saat tak ada pemain yang tampil di lebih dari satu pertandingan, urutan nomor yang berlaku adalah ganda putra, tunggal putri, tunggal putra, ganda putri, dan ganda campuran.
Anthony, untuk pertama kali akan tampil di Piala Sudirman, mengatakan, tampil dalam kejuaraan beregu tak bisa memikirkan diri sendiri. ”Apa yang kita dapat adalah hasil untuk tim. Namun, saya senang tampil dalam kejuaraan beregu. Ini membuat saya tampil lebih semangat,” kata Anthony yang membela tim putra Indonesia dalam SEA Games Singapura 2015 dan Piala Thomas 2016.
Greysia, anggota Tim Sudirman sejak 2007 dan Tim Uber sejak 2004, mengatakan, simulasi bisa menciptakan kekompakan. Cara lain yang biasanya dilakukan adalah makan bersama atau menggelar latihan khusus di luar Jakarta.
”Dalam keseharian, kami sudah melakukan semua bersama- sama, seperti latihan dan makan bersama. Kami saling menghormati. Sekarang waktunya membawa suasana keseharian itu ke pertandingan. Yang lebih penting, kami harus mendukung tim dengan sepenuh hati,” kata Greysia.
Mental baja menjadi salah satu modal krusial tim Indonesia di Piala Sudirman 2017. Kekuatan psikologis atlet sering kali menjadi kunci meraih prestasi di kejuaraan beregu, seperti saat Indonesia juara Piala Sudirman 1989.
Christian Hadinata, menilai, atmosfer pertandingan Piala Sudirman berbeda dengan kejuaraan perorangan. Kemampuan teknis yang dimiliki atlet akan percuma jika tidak memiliki mental baja untuk memenangi setiap pertandingan.
”Tahun lalu pemain-pemain muda kita mampu melaju ke final Piala Thomas karena mereka memiliki mental baja untuk bertanding secara beregu. Kekompakan tim juga menjadi syarat khusus,” kata Christian di Manado, Sulawesi Utara, Minggu (7/5).
Tim Indonesia di Piala Thomas 2016 diperkuat sejumlah pemain muda, seperti Jonatan Christie, Anthony Sinisuka Ginting, dan Ihsan Maulana Mustofa. Indonesia jadi unggulan keempat turnamen, tetapi justru mampu melaju hingga final meski akhirnya kalah 2-3 dari Denmark. Jonatan dan Anthony menjadi andalan tunggal putra Indonesia di Piala Sudirman 2017.
Kekompakan, mental, dan motivasi pula yang menjadi kunci Indonesia menjuarai Piala Sudirman 1989. Kisah epik itu berada di halaman utama Kompas edisi Senin 29 Mei 1989
Gelar juara 28 tahun lalu itu menjadi kisah heroik yang terus dikenang. Di final, peluang Indonesia juara seolah sudah pupus karena tertinggal 0-2 dari Korea Selatan. Dalam situasi kritis itu, Susy Susanti yang menjadi pemain ketiga Indonesia menjadi kunci membalikkan kedudukan.
Susy, yang waktu itu berusia 18 tahun, kalah 10-12 di gim pertama dari lawannya, tunggal putri Korsel, Lee Young-suk. Susy juga tertinggal 7-10 di gim kedua, tetapi dia mampu mengejar hingga menyamakan kedudukan 10-10 dan secara mengejutkan menang 12-10.
Susy kemudian menang 11-0 di gim ketiga. Padahal, Susy mengaku tidak pernah memberikan nilai 0 kepada lawannya, sebagai wujud penghormatan pada sesama atlet.
Namun, waktu itu dia tidak ingin membuang kesempatan karena situasi Indonesia sangat kritis. Kemenangan ini menghidupkan peluang Indonesia juara karena kedudukan menjadi 1-2. Dua nomor berikutnya, tunggal putra dan ganda campuran, disapu bersih oleh Indonesia untuk menjadi juara.
”Waktu itu saya pemain muda yang tidak ditargetkan menang. Kalau saat ini, seperti Fitriani atau Jonatan, yang muda dan sedang naik daun. Saat itu, kita tertinggal 0-2, dan jika saya tidak menang, Indonesia lewat (gagal juara),” ujar Susy seusai pengukuhan tim Piala Sudirman di Cipayung, Jakarta Timur, akhir pekan lalu.
”Jika kita memiliki kemauan, kita akan kerja keras hingga titik darah penghabisan. Selama pertandingan belum berakhir, kita belum tahu siapa menang dan kalah. Kita bisa mengubah sesuatu yang nothing menjadi something,” tegas Susy yang menjadi manajer tim Indonesia di Piala Sudirman 2017.
Perjuangan di final 1989 yang penuh dengan motivasi, kerja keras, dan keberanian itu, semoga terulang di Gold Coast, sehingga Piala Sudirman pulang ke rumah asalnya.
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.