Cikal bakal bantal sudah muncul sejak zaman Mesir Kuno. Bantal pun diasosiasikan dengan kenyamanan tidur. Namun, apa benar tidur harus pakai bantal?
Saat bermalam di hotel atau penginapan, pernahkah Anda komplain tentang bantal yang ada di kamar? Bantal yang seharusnya terasa nyaman, tetapi malah membuat tengkuk dan leher sakit keesokan harinya. Alih-alih bangun dengan perasaan segar malah sebaliknya. Keluhan demi keluhan muncul, mulai dari pundak hingga menjalar ke kepala. Tengeng!
Kondisi demikian pernah dirasakan Ana (27), mahasiswi di Yogyakarta. Bantal tebal dan besar yang terlihat menggoda, tetapi ternyata tidak nyaman saat digunakan. Alhasil, ia harus ”menipiskan” bagian pinggir bantal dengan cara menggoyang-goyangnya dengan harapan isinya bergeser dan ganti menggembung ke bagian lainnya.
Pengalaman tersebut menuntutnya beradaptasi lebih cepat dengan bantal. ”Setelah bangun tidur, leher aku pernah tengeng karena faktor bantal yang terlalu tebal. Bikin mood seharian berantakan, tidak nyaman. Mau tiduran lagi juga gak akan sembuh,” ujarnya.
Baginya, bantal merupakan elemen penting yang menunjang kualitas tidur. Bantal yang terlalu tebal bisa membuat lehernya sakit. Begitu pula jika terlalu kempes atau tipis akan bikin tidur tak nyaman. Ia senang dengan bantal berbahan dakron dengan ketebalan yang cukup.
Untuk urusan bantal, Ana adalah sosok yang setia. Ia tak pernah berpaling dari merek bantal favoritnya, produksi pabrik di dekat tempat tinggalnya.
Bantal tersebut bahkan ikut dibawa ketika berpindah studi ke suatu daerah. Selain parameter empuk dan tebal yang pas, sarung bantal yang bersih dan wangi juga berkontribusi pada kenyamanannya di tempat tidur.
Ah, rasanya tak karuan hanya karena sebuah bantal. Tak mengherankan jika sering dijumpai, orang-orang yang membawa bantal leher atau bantal berukuran besar dalam perjalanan. Kenyamanan sebuah bantal adalah hal mutlak bagi mereka yang fanatik dengan kondisi tidur tertentu.