Destinasi kedua Kompas pada Kamis (17/3/2022) siang itu adalah pabrik ikan Koperasi Maria Bintang Laut di kompleks Keuskupan Timika. Selama lima tahun terakhir, pabrik itu menjadi muara bagi ikan hasil tangkapan masyarakat suku Kamoro yang tinggal di pesisir Mimika. Dari sana, ikan yang terkumpul akan dipasarkan.
Demikianlah perwujudan program pendampingan masyarakat pesisir Koperasi Maria Bintang Laut (KMBL), yang dikelola Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Keuskupan Timika, dengan pendanaan PTFI. Kini, koperasi itu memiliki 129 anggota aktif dari total 600 anggota yang tersebar di delapan kampung yang terdampak tailing PTFI.
Kampung-kampung itu adalah Koperapoka dan Nayaro (Distrik Mimika Baru), Nawaripi (Wania), Tipuka (Mimika Timur), serta Ayuka, Fanamo, Omawita, dan Otakwa (Mimika Timur Jauh).
Sophia Tapilatu, penanggung jawab program perikanan Community Affairs PTFI, mengatakan, KMBL membeli ikan jenis apa pun dari masyarakat dengan harga bagus.
Ikan primadona Mimika, kakap barramundi, dibeli seharga Rp 35.000 per kilogram oleh KMBL, jauh di atas tawaran para pengepul di Timika. Ikan lain seperti bobara, bandeng laut, dan kerapu tikus dibeli senilai Rp 17.000 per kg, sedangkan lele laut Rp 5.000-Rp 7.000 per kg.
Setiap bulan, KMBL menargetkan pasokan bahan baku dari masyarakat minimal 3 ton. ”Tetapi tergantung cuaca, kalau bagus bisa 10-11 ton. Masyarakat pesisir tidak perlu ke Timika untuk membawa hasil tangkapan mereka karena sudah ada petugas pengumpul ikan yang kami tempatkan di beberapa kampung,” kata Sophia.
Ikan yang terkumpul kemudian disimpan dalam gudang pendingin (cold room) berkapasitas 40 ton di pabrik. Kemudian, ikan-ikan tersebut akan dipotong dan diolah menjadi steik atau fillet, lalu dikirim kepada PT Pangansari Utama (PSU), kontraktor jasa boga PTFI. ”Kewajiban per bulan kami saat ini 20 ton, sesuai purchase order (pesanan) dari PSU tiga bulan terakhir,” kata Sophia.
Sepanjang 2021, misalnya, total pesanan ikan PSU pada KMBL mencapai 234 ton. Kehadiran KMBL pun berhasil membuka akses pasar dan pendapatan yang stabil bagi para nelayan Kamoro. Sebab, konsumen PT PSU setiap hari bisa mencakup 6.329 karyawan langsung PTFI dan 25.875 karyawan perusahaan mitra.
Bernardus Irahewa (32), Kepala Kampung Otakwa, menyebut KMBL mampu membawa perubahan pola hidup masyarakat. Warga yang sebelumnya mencari ikan hanya sesekali untuk konsumsi sendiri, perlahan mulai bisa beralih menjadi nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.
Pola kenelayanan warga pun diperkuat dengan pelatihan, seperti pembuatan perahu fiber dan jaring serta perbaikan motor tempel. Dengan demikian, masyarakat bisa memiliki pendapatan sendiri. Mereka bisa membeli kebutuhan sehari-hari, seperti sembako dan barang-barang lainnya di toko grosir yang dibuka KMBL di Otakwa. ”KMBL juga menyediakan kotak penampungan ikan yang bisa dipakai warga bersama-sama tanpa biaya,” kata Bernardus.
Kendati demikian, capaian program pengembangan perikanan tangkap ini masih jauh dari harapan. Agus Suryanata, koordinator lapangan KMBL, mengatakan, ikan dari masyarakat Kamoro yang masuk ke pabrik masih sangat sedikit. Sepanjang 2021, kontribusinya hanya 21 ton dari total produksi 234 ton.
”Dari masyarakat pesisir di delapan kampung, sebenarnya ditarget 3 ton per bulan atau 36 ton setahun. Itu saja belum tercapai selama 2021, padahal permintaan PT PSU jauh lebih besar. Karena itu, Freeport membentuk dua divisi di KMBL, yaitu divisi pemberdayaan dan divisi bisnis,” kata Agus.
Demi memenuhi pesanan PT PSU, KMBL harus membeli ikan dari para pedagang ikan di sekitar Timika ataupun kapal-kapal ikan dari Jawa yang merapat ke Pelabuhan Pomako. KMBL bahkan sedang menjajaki pembelian ikan dari pesisir Kaimana dan Fakfak di Papua Barat untuk menjaga pasokan ikan ke pabrik.
Faktor yang menyebabkan kondisi itu, antara lain, cuaca buruk yang menghalangi nelayan melaut. Menurut Sophia, pesisir Mimika hanya bebas dari angin kencang dan hujan selama empat bulan dalam setahun.
Di samping itu, kata Agus, proyek fisik dana desa sering kali membuat warga enggan mencari ikan yang pada gilirannya membuat pabrik kekurangan pasokan bahan baku.
Meskipun kemudian telah memiliki sumber bahan baku dari tempat lain, produksi pabrik ikan KMBL masih di bawah permintaan sebesar 20 ton per bulan atau 240 ton per tahun dari satu-satunya pelanggan tetap, yaitu PT PSU. Jika keadaan ini tak berubah hingga 2041 ketika IUPK Freeport berakhir, masyarakat akan kehilangan sumber pendapatan.
Karena itu, kata Agus, keuskupan kini tengah berusaha keras membangun jejaring kemitraan baru, dimulai dari pemerintah kabupaten. ”Di tahun 2023, kami harus sudah memiliki jalan keluar untuk penjualan selain kepada PT PSU. Gereja (keuskupan) akan tetap berusaha mempertahankan kesinambungan program ini demi masa depan masyarakat, katanya.