Sejak 30 tahun lalu hingga saat ini, produksi beras nasional dapat terganggu oleh anomali iklim yang bersifat tahunan, seperti El Nino, La Nina, dan Dipol Samudra Hindia (Indian Ocean Dipole/IOD).
Misalnya, pada paruh kedua 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan El Nino dan IOD positif terjadi bersamaan. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, produksi beras sepanjang 2023 sebanyak 30,89 juta ton. Angka ini merosot sekitar 2 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
El Nino dan IOD positif menyebabkan berkurangnya curah hujan secara ekstrem di Indonesia. Namun, kedua anomali itu terjadi di dua wilayah berbeda: El Nino di Samudra Pasifik, sedangkan IOD positif di Samudra Hindia.
Pada tahun ini, keduanya terjadi bersamaan. Ada pula tahun-tahun ketika anomali itu tidak terjadi bersama. Ilustrasi di bawah menggambarkan terjadinya anomali iklim di kedua samudra yang mengapit Indonesia.
Anomali iklim tersebut memengaruhi pola curah hujan di Indonesia. Masa tanam padi pun dipengaruhi oleh dinamika curah hujan karena air menjadi komponen penting dalam produksi. Misalnya, untuk padi yang dihasilkan pada panen raya Maret-April, biasanya petani sudah mulai menanam sejak Oktober tahun sebelumnya. Namun, karena curah hujan pada Oktober 2023 menurun drastis dibandingkan dengan tahun lalu, petani saat ini belum dapat menanam padi.
Berdasarkan dampaknya, anomali iklim itu dapat digolongkan menjadi yang bersifat kering (El Nino dan IOD positif) serta bersifat basah (La Nina dan IOD negatif). Kekeringan ataupun banjir dapat menyebabkan gagal panen yang berakibat pada penurunan produksi beras.
KOMPAS/MELATI MEWANGI
Kondisi sungai yang mengering di ruas Jalan Cikamurang - Jangga, Indramayu, Jawa Barat, Senin (13/11/2023). Hujan belum mengguyur wilayah ini. Di daerah Indramayu, pengairan sawahnya mengandalkan air hujan (sawah tadah hujan).
Produksi Beras Menurun
Apa yang dirasakan warga ketika produksi beras menurun? Jumlah nasi yang tersedia di atas piring masyarakat ikut berkurang.
Kompas memproyeksikan penurunan tersebut berdasarkan data produksi beras (1993-2023) dan luas lahan padi (2003-2023). Model proyeksi diperoleh dari regresi linier luas lahan padi terhadap produksi beras pada 2003-2023. Adapun laju penurunan produksi beras saat terjadinya anomali iklim didapatkan dari data historis selama 30 tahun. Laju penurunan produksi pun diproyeksikan dalam tujuh skenario seperti yang tertera pada ilustrasi di bawah ini.
Setelah mendapatkan angka proyeksi penurunan produksi beras, Kompas mengonversinya menjadi piring nasi. Konversi didapatkan dengan asumsi 1 kilogram beras setara dengan 8 piring nasi. Selama 2018-2023, produksi beras menurun 9 persen yang salah satunya dipengaruhi oleh alih fungsi lahan. Tahun 2023, produksi beras menurun menjadi 30,9 juta ton. Produksi tersebut jika dikonversikan menjadi piring nasi, dalam sehari, warga Indonesia hanya bisa menikmati 2,43 piring per hari.
Kompas juga memperkirakan beras yang bisa dikonsumsi masyarakat jika terjadi anomali iklim El Nino, El Nina, ataupun IOD +/IOD- pada tahun 2030. Jika terjadi La Nina, warga Indonesia bisa makan 2,2 piring per orang per hari. Adapun jika terjadi El Nino, jumlah piring nasi yang bisa dinikmati lebih kecil lagi, yakni 2,12 piring per hari.
Impor Meningkat
Saat produksi beras Indonesia menurun, persediaan cadangan beras pemerintah semakin menipis sehingga pemerintah mengambil langkah impor beras.
Data BPS menunjukkan, volume impor beras periode Januari-September 2023 mencapai 1,7 juta ton dengan nilai 980,45 miliar dollar AS. Volume impor tersebut meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yang hanya 288.700 ton.
Tahun ini, Indonesia mengandalkan impor beras dari Vietnam sebanyak 816.730 ton dan Thailand 851.019 ton. Dari India, Indonesia hanya mengimpor 6.539 ton saja.
Ke depan, saat kondisi anomali iklim semakin tidak menentu, diperkirakan Indonesia akan semakin banyak mencukupi kebutuhan beras dengan impor. Badan Pangan Nasional menetapkan tahun 2024 Bulog harus bisa menyediakan cadangan beras pemerintah hingga 3 juta ton.
Hasil proyeksi Kompas, jika terjadi musim kering, seperti anomali iklim El Nino, IOD positif atau jika terjadi keduanya, volume beras yang dibeli dari negara lain akan semakin besar. Misal, jika tahun 2030 terjadi iklim El Nino, diperkirakan Indonesia akan mengimpor beras 2,045 juta ton. Bahkan, jika terjadi IOD positif, volumenya bertambah banyak, hingga 2,145 juta ton.
Konsumsi Nasi Menurun
Nasi amat lekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Ketergantungan terhadap nasi kerap dijadikan guyonan, ”Ah, terasa belum beneran makan, kalau kita belum mengonsumsi nasi deh.” Meski sudah mengonsumsi singkong goreng, nasi tetap dituju sebagai pendamping dengan lauk dan sayur di meja. Padahal, sumber karbohidrat lainnya yang tersedia di sekitar cukup beragam, antara lain singkong, ubi jalar, jagung, kentang, dan talas.
Dihimpun dari data BPS, tren konsumsi nasi mengalami penurunan selama periode 2013-2022. Pada kurun waktu 2013-2015, konsumsi nasi berada di angka 96 kilogram per kapita per tahun. Lalu, melonjak hingga 99,1 kilogram per kapita per tahun di tahun berikutnya. Kemudian, konsumsi nasi berkurang menjadi 93,949 kg per kapita per tahun pada 2022.
Dalam periode yang sama, konsumsi pangan nonberas justru meningkat jika dilihat dari rata-rata laju pertumbuhannya, yakni gaplek (singkong yang dikeringkan) sekitar 27 persen, talas (14 persen), kentang (7 persen), singkong (6 persen), pisang (6 persen), dan ubi jalar (5 persen). Bisa jadi masyarakat bergeser ke sumber karbohidrat lainnya atau memperbanyak porsi sumber protein dibandingkan dengan nasi.
Beban Warga Miskin Meningkat
Produksi beras yang diproyeksikan terus menurun saat terjadi anomali iklim di masa yang akan datang berpotensi meningkatkan harga beras. Penurunan tersebut membuat harga beras medium dari data Badan Pangan Nasional pada November 2023 ini naik 18 persen menjadi Rp 13.170 per kilogram, dibandingkan dengan November 2022.
Tahun ini, Kompas memperkirakan warga miskin desa ataupun kota harus lebih banyak mengeluarkan uang untuk membeli beras.
Pengeluaran beras warga miskin kota tahun 2022, dari olahan data BPS, diketahui Rp 104.836 per kapita per bulan. Tahun 2023, warga miskin kota setiap bulan akan lebih mahal membeli beras hampir 30 persen, yakni Rp 135.721. Juga dengan warga miskin desa. Tahun 2022, pengeluaran warga miskin desa untuk membeli beras Rp 117.824 per kapita per bulan dan meningkat 17 persen menjadi Rp 137.449 per kapita per bulan pada 2023.
Kompas juga memproyeksikan jika tahun 2024 nanti terjadi anomali iklim La Nina, pengeluaran beras warga miskin desa dan kota tidak terlalu tinggi, dibandingkan dengan pengeluaran tahun ini. Hasil prediksi Kompas, warga miskin kota akan mengeluarkan uang untuk membeli beras sebesar Rp 118.524 per kapita per bulan dan warga miskin desa Rp 131.132 per kapita per bulan.
Menjaga Ketahanan Pangan
Perubahan iklim yang berimplikasi pada meningkatnya frekuensi dan intensitas iklim El Nino, La Nina, dan IOD sedikit banyak memengaruhi ketahanan pangan di Indonesia. Saat produksi beras menurun akibat anomali iklim, yang diikuti dengan kenaikan harga beras, akan semakin membebani pengeluaran warga miskin. Negara pun semakin dibebani dengan impor beras untuk menjaga ketahanan pangan.
Ke depan, perubahan iklim akan terus terjadi. Ketahanan pangan harus tetap dijaga dengan mitigasi yang telah disiapkan pemerintah. Masyarakat pun hendaknya mulai meninggalkan ketergantungan pada pangan beras dan berganti pada pangan nonberas, seperti umbi-umbian, jagung, dan kentang.