Logo KompasMenanti Gebrakan Perkeretaapian Indonesia

Menanti Gebrakan Perkeretaapian Indonesia

Menteri Ekonomi Jerman (1935-1937) Hjalmar Schacht, ketika diundang Presiden Soekarno ke Indonesia pada 1965, menyarankan pembangunan jalan untuk memuluskan transportasi. Namun, Bung Karno menegaskan, hadirnya kereta api juga sangat vital.

”Revolusi kita tidak akan gagal karena kita punya kereta api,” kata Bung Karno (Kompas, Rabu, 29 September 1965, di halaman 1). Kata-kata Bung Karno diucapkan di hadapan para buruh dan karyawan Perusahaan Negara Kereta Api saat ulang tahun ke-20 PNKA.

Ketika menyampaikan sambutan, Bung Karno juga terharu saat terkenang hijrah dari Jakarta menuju Yogyakarta dengan kereta luar biasa pada 3-4 Januari 1946. Kepergian Bung Karno, Bung Hatta, dan para menteri dilakukan diam-diam.

"Revolusi kita tidak akan gagal karena kita punya kereta api”

Mereka tidak naik kereta dari stasiun tetapi mengendap-endap dari kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan yang tidak jauh dari lintasan kereta Manggarai-Gambir.

Waktu itu, kondisi serba tidak menentu. Bung Karno, Bung Hatta, dan para anggota kabinet harus diselamatkan ke Yogyakarta supaya tidak ditangkap aparat Pemerintahan Sipil Hindia Belanda.

Para pendiri bangsa ini juga khawatir dibunuh sehingga sebagian perjalanan KLB itu dilakukan tanpa menyalakan lampu kabin. Perjalanan dengan kereta api itulah yang ternyata telah menyelamatkan Republik ini.

Sejarah Republik ini dengan dunia perkeretaapian sejatinya telah dirintis sejak lama. Bahkan kini, lebih dari 150 tahun telah berlalu sejak negeri ini membangun jalur rel untuk pertama kalinya. Tentu saja ada pasang surut dalam pembangunan perkeretaapian di Indonesia, yang sesungguhnya baru terbangun di Jawa dan Sumatera.

IPPHOS
Presiden Soekarno meninjau daerah-daerah di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan Kereta Api Luar Biasa, 19 Februari 1946. Di setiap daerah, rakyat menyambut kedatangannya di stasiun kereta api sambil bersorak sorai dan membawa bendera Merah Putih. Dalam kunjungannya itu, ia bertandang ke sejumlah daerah, seperti Pasuruan, Banyuwangi, Jember, Bondowoso, dan Lumajang. Di setiap daerah rakyat menyambut kedatangannya di stasiun kereta api sambil bersorak sorai dan membawa bendera merah putih. Foto ini nyaris tak pernah muncul dalam berbagai buku sejarah, kecuali buku Lukisan Revolusi 1945-1949 terbitan Kementerian Penerangan Republik Indonesia tahun 1949. Ini adalah foto keenam dari 60 foto yang akan ditampilkan sebagai kerja sama harian Kompas, Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Budaya Visual Oktagon, dan Galeri Foto Jurnalistik Antara dalam rangka festival foto Masa Depan Sebuah Masa Lalu. Riset data dan teks foto ini disiapkan oleh Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo.

Perkeretaapian di negeri ini jujur saja lebih mendapat perhatian di era pemerintahan Hindia Belanda meski menjelang 1930-an, pemerintahan Hindia Belanda juga mengalami kesulitan keuangan sehingga rencana ekspansi jalur rel tinggal menjadi rencana.

Setelah kemerdekaan, sayangnya pemerintah tidak mampu langsung membangun perkeretaapian karena uang kas negara masih kosong. Pemerintah Orde Lama juga lebih banyak disibukkan dengan upaya stabilitas politik.

Pemerintah Orde Baru lebih asyik membangun prasarana jalan daripada memperpanjang atau menghidupkan kembali lintas-lintas kereta yang sudah mati. Sebagai konsekuensinya, industri perkeretaapian, termasuk industri manufaktur kereta api, tak pernah tumbuh lebih baik. Di sisi lain, industri otomotif tumbuh pesat hingga kini menjadi konglomerasi di Indonesia.

Kompas, Kamis, 1 Oktober 1970, tepat di seperempat abad PNKA, mengonfirmasi hal ini. Diperlihatkan data penumpang kereta api pada 1950 yang mencapai 103,6 juta orang. Kemudian, jumlah penumpang kereta naik menjadi 204,5 juta orang pada 1960. Dan, pada 1970 di era Orde Baru jumlah penumpang justru anjlok menjadi 55,1 juta penumpang per tahun.

Laju perkeretaapian Indonesia, selama puluhan tahun, tidak pernah secepat yang diharapkan. Fasilitas dan pelayanannya sering kali tidak prima. Negara-negara lain di dunia kini telah mengoperasikan kereta cepat, sedangkan laju kereta di negara kita tidak pernah lebih cepat.

Salah satu akar persoalan dari tidak makin majunya layanan perkeretaapian di negeri ini selama puluhan tahun adalah terus meruginya Perusahaan Jawatan Kereta Api. Kompas, Selasa, 7 April 1970, di halaman 7 menampilkan berita bahwa PNKA merugi Rp 1 miliar. Mengapa merugi? Kerugian PNKA ternyata disebabkan penumpang tidak membeli karcis.

Kemudian, belasan tahun berselang, tepatnya pada Februari 1985, Kompas mencatat setiap hari PJKA merugi Rp 1,5 juta per hari dari KRL Bogor-Jakarta saja. Pada 1990, kerugian operasi PJKA mencapai Rp 31,5 miliar. Bahkan, pada 2008 KAI masih merugi Rp 83 miliar.

Namun, kondisinya kini berbeda 180 derajat. Sejak era Ignasius Jonan, PT KAI mulai meraih untung. Direksi KAI yang baru meneruskan tradisi untung itu sehingga PT KAI meraup pendapatan Rp 13,94 triliun dan mencetak laba tahun berjalan sebesar Rp 1,39 triliun (2015).

Kondisi keuangan kini tidak lagi menjadi pokok persoalan yang dialami oleh KAI. Terlebih lagi, PT KAI tetap mendapatkan subsidi sebagai bukti dukungan pemerintah terhadap transportasi publik.

Lantas, apa persoalan terpelik yang kini dihadapi penumpang kereta api dan PT KAI dalam pengoperasian kereta api jarak jauh ataupun kereta api perkotaan?

Disandera Manggarai

Ternyata, salah satu tantangan terberat bagi penumpang kereta, terutama di Jabodetabek, adalah padatnya lalu lintas kereta di Stasiun Manggarai yang membuat perjalanan sulit diprediksi. Antrean di Stasiun Manggarai tersebut telah mendera penumpang kereta komuter yang membutuhkan kepastian dalam bepergian.

Ketika waktu tempuh perjalanan kereta komuter tidak jauh lebih unggul daripada sepeda motor, masyarakat tentu memilih sepeda motor. Eko Wardhan, seorang pembaca Kompas beberapa bulan lalu, mengirimkan surat pembaca yang intinya mengeluhkan perjalanan KRL dari Palmerah ke Bekasi dengan waktu tempuh 2,5 jam.

Menurut Eko, waktu tempuh yang lama disebabkan antrean kereta memasuki Stasiun Manggarai. Manggarai kini memang menjadi momok bagi para pelanggan kereta komuter yang harus dikalahkan dengan perjalanan kereta jarak jauh.

Padahal, di Stasiun Manggarai pula, pada Rabu, 27 Oktober 1971, Menteri Perhubungan Frans Seda meresmikan perjalanan Kereta Api Jakarta-Bogor dengan waktu tempuh 42 menit. Sebelumnya, perjalanan dari Jakarta menuju Bogor membutuhkan waktu lebih dari satu jam.

Bayangkan, 45 tahun lalu, PJKA sanggup memangkas perjalanan Jakarta-Bogor menjadi kurang dari satu jam. Tentu ketika itu, setiap hari lintas KA Jakarta-Bogor baru mengangkut tidak kurang dari 2.500 penumpang dengan 11 kereta. Frekuensi perjalanan kereta tidak terlalu banyak.

Kompas/JB Soeratno
Presiden Soeharto hari Senin (5/6/1995) mendengarkan penjelasan dari Ketua Konsorsium Manggarai Ny Siti Hardiyanti Rukmana (kiri) mengenai rencana pembangunan Terminal Transportasi Pusat Terpadu Manggarai di Bina Graha. Kepala Negara didampingi (dari kiri) Menhub Haryanto Dhanutirto, Fadel Muhammad, dan Gubernur DKI Surjadi Soedirdja.

Namun, tidakkah 45 tahun itu waktu yang lama? Mengapa lalu lintas di Manggarai tidak juga lancar? Mengapa penambahan sarana KRL oleh PT Kereta Api Commuter Jabodetabek tidak diantisipasi dengan pembangunan infrastruktur di Manggarai?

Kementerian Perhubungan dan PT Kereta Api Indonesia (Persero) sejauh ini telah menjanjikan pembangunan Manggarai. KAI juga berupaya memindahkan area parkir kereta. ”Kalau sudah beres pemindahan parkir kereta, kereta bisa masuk sekali dua rangkaian. Tidak perlu bergantian,” kata Kepala PT KAI Daop I Jakarta John Robertho (Kompas, Rabu, 27 Juli 2016).

Namun, jujur saja, di Manggarai, kita butuh bukti tidak lagi sekadar janji. Mengapa? Karena sudah sekian puluh tahun, tidak ada realisasi nyata dari rencana apa pun di Stasiun Manggarai.

Jauh sejak April 1974, PJKA Eksploitasi Barat telah berkonsultasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait pendayagunaan sejumlah stasiun. Ketika itu, Stasiun Manggarai dan Jatinegara telah direncanakan menjadi stasiun penampung kereta jarak jauh.

Sementara itu, Stasiun Gambir, Jakarta Kota, dan Tanjung Priok akan diberdayakan untuk penumpang kereta lokal. Langkah-langkah yang waktu itu telah dikerjakan adalah membenahi pasar-pasar di sekitar stasiun.

"Konsep untuk menyulap Manggarai menjadi proyek Terminal Terpadu Manggarai (TTM) disusun perusahaan konsultan AS, Allerbe Becket Inc, pada 1994"

Namun, faktanya, rencana itu tidak terlaksana. Puluhan tahun kemudian, tepatnya pada Juni 1992, Perumka berinisiatif mengundang investor swasta untuk mengembangkan bisnis properti di tanah milik Perumka di sekitar stasiun, khususnya di Stasiun Manggarai.

Sejalan dengan pengembangan Manggarai, akhir 1992 bahkan direncanakan tidak ada lagi kereta antarkota yang melintasi Stasiun Gambir. Kereta-kereta jarak jauh hanya akan berhenti sampai Stasiun Manggarai, atau Jatinegara, atau Pasar Senen dan Jakarta Kota.

”Karena frekuensi KA Jabotabek nantinya tinggi, jalur itu tak bisa digunakan bersama-sama kereta lainnya. Mereka (kereta jarak jauh) harus menyingkir atau berhenti hanya sampai Manggarai,” kata pimpinan proyek KA Jabotabek saat itu, Zulfiar Sani.

Terkait penggunaan jalur KA layang, Zulfiar mengatakan, ”Jika frekuensi KA Jabotabek sudah enam menit sekali, jalur itu tak bisa melayani KA selain KRL.”

Kompas/Lucky Pransisca
Pekerja menyambung baja untuk proyek rel kereta api jalur ganda di kawasan Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (28/10/2014). Jalur ganda Manggarai-Cikarang sepanjang 32 kilometer direncanakan selesai 2016. Jalur ganda nantinya akan memisahkan kereta rel listrik dan kereta jarak jauh.

Konsep untuk menyulap Manggarai menjadi proyek Terminal Terpadu Manggarai (TTM) disusun perusahaan konsultan AS, Allerbe Becket Inc, pada 1994. Konsep itu langsung dipinang oleh Grup Citra pimpinan Siti Hardiyanti Rukmana (Kompas, 20 Agustus 1999).

Grup Citra, ketika itu telah menggandeng beberapa grup usaha yang hebat, seperti Grup Ciputra, Grup Bukaka, Grup Bakrie, serta PT Bandar Mandiri Perkasa milik Tammy Habibie.

Konsep TTM sungguh luar biasa. Stasiun Manggarai direncanakan terdiri dari 22 jalur rel (track). Bandingkan dengan Stasiun Gambir di Jakarta Pusat yang hanya menampung 4 jalur rel.

Dari sisi wilayah saja, TTM sungguh luas. Berbatasan langsung dengan kali (Kali Ciliwung) di sisi utara, Lapangan Roos Raya di sisi selatan, di bagian baratnya dibatasi oleh Jalan Dr Sahardjo, sementara di bagian timur dibatasi oleh Jalan Matraman. Coba Anda buka peta, pasti Anda akan terkagum-kagum dengan luasnya cakupan wilayah TTM.

Tidak kurang dari empat kelurahan akan terkena cakupannya, termasuk Kelurahan Bukit Duri dan Kelurahan Manggarai, dan sebagian Kelurahan Manggarai Selatan yang masuk Kecamatan Tebet, serta sebagian Kelurahan Kampung Melayu yang masuk Kecamatan Jatinegara.

Konsep TTM tak sekadar untuk stasiun, tetapi juga untuk terminal. Direncanakan, stasiun di lantai tiga, jalur bus kota di lantai dasar, dan terminal bus di lantai dua. Terminal bus kotanya memiliki 50 pangkalan keberangkatan dan 10 pangkalan kedatangan di lantai dua, yang mampu menampung 3.600 bus sekaligus per hari.

Di TTM juga akan disediakan terminal taksi, hotel berbintang tiga (10 lantai), dan hotel melati (3 lantai) untuk masyarakat menengah yang akan bepergian dengan menggunakan KA dan bus. Betapa dahsyatnya ketika TTM terbangun.

Namun, krisis kemudian menghantam Indonesia menjelang akhir 1990-an sehingga hampir semua proyek infrastruktur kemudian terhenti. Akhirnya, kita kini merana di Manggarai.

Menanti Inovasi

Menunggu Manggarai terbangun tampaknya merupakan satu-satunya jalan demi perjalanan kereta yang lebih nyaman. Kalaupun hidup kita ingin lebih nyaman, tiada jalan lain selain mempercepat pembangunan Manggarai.

Meski demikian, ada begitu banyak hal yang dapat dan harus dikerjakan. Jonan dan manajemen di bawahnya boleh dibilang meninggalkan legacy yang sulit dilupakan.

Sejak Oktober 2011, misalnya, PT KAI telah meluncurkan rail ticketing system (RTS). Pembelian tiket kereta api jarak jauh dapat dilakukan di masa saja tanpa lagi harus antre di loket-loket di stasiun.

Adapun untuk perjalanan KRL dikenal sistem e-ticketing yang mulai digunakan sejak 1 Juli 2013. Siapa pun tanpa terkecuali harus bertransaksi dengan tiket elektronik sebelum naik KRL.

Tentu saja, ada begitu banyak orang berperan untuk mengegolkan sistem elektronik di perkeretaapian kita. Ada begitu banyak orang berperan untuk menertibkan dan mensterilisasi stasiun. Meski demikian, legacy Jonan sulit untuk dilupakan.

Kompas/Totok Wijayanto
Penumpang KRL melalui pintu tiket elektronik di Stasiun Palmerah, Jakarta, Senin (6/7/2015). Stasiun Palmerah direvitaliasi dengan biaya APBN sekitar Rp 36 miliar diresmikan oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.

Padahal, bicara inovasi ada begitu banyak hal dapat dikerjakan. Pada 1969-1984, misalnya, KA Bima (Biru Malam) rute Jakarta-Surabaya telah menyediakan kamar-kamar tidur. Mengapa inovasi semacam ini tidak dikedepankan lagi?

Bicara soal tarif, kini tarif kereta nyaris semahal tarif pesawat. Di sisi lain, waktu tempuh perjalanan kereta sulit menandingi kecepatan dari angkutan udara. Mengapa inovasi masa silam tidak ditampilkan kembali?

Bukankah dapat dihadirkan sensasi baru? Kini malah angkutan bus yang mulai menghadirkan layanan bus tidur. Perusahaan Otobus Brilian, misalnya, telah menghadirkan sleeper bus dari Jakarta menuju Purwokerto dan Purbalingga.

Dengan janji maksimal waktu tempuh tujuh jam dari Jakarta ke Purbalingga, pelanggan hanya perlu membayar Rp 200.000 per orang. Penumpang bus itu pun dapat beristirahat dengan nyaman selama perjalanan.

Harus diakui, sejauh ini telah dihadirkan inovasi-inovasi terbaru. Mulai Juli 2015, misalnya, dioperasikan Hotel Rail Transit Suite Gambir yang berlokasi di sisi selatan lantai 1 Stasiun Gambir. Pemakaian kamar diatur dengan sistem per 6 jam, 8 jam, 12 jam, hingga maksimal 24 jam.

Penumpang dapat beristirahat di hotel transit ini sebelum melakukan pertemuan dengan rekan bisnis setelah tiba di Stasiun Gambir. Tidak hanya beristirahat, penumpang juga dapat membersihkan diri terlebih dahulu.

Inilah bisnis non-core yang mulai digenjot PT KAI untuk menambah pendapatan bisnisnya. Meski terbilang terlambat, PT KAI belum begitu banyak mengoptimalkan aset untuk menambah pendapatan.

Padahal, bila kita belajar dari Jepang, misalnya, pendapatan dari non-core bisnis dapat mencapai 60 persen dari total pendapatan perusahaan perkeretaapian. Perusahaan kereta api di Jepang mempunyai usaha samping tidak hanya berupa hotel, tetapi juga perusahaan konsultan, restoran, rumah peristirahatan, hingga lapangan golf.

Dari penghasilan tambahan tersebut, perusahaan kereta di Jepang dapat terus memperbarui sarananya.

Saran untuk memanfaatkan seluruh aset PT KAI bukan baru-baru saja. ”Untuk meningkatkan produktivitas perusahaan dapat dimanfaatkan seluruh aset yang dimiliki yang sampai kini masih tidak produktif, seperti aset tanah dan aset-aset Perumka lainnya,” kata Menteri Perhubungan Azwar Anas (Kompas, 3 Januari 1991).

Di Jawa dan Sumatera, aset PT KAI jelas melimpah. Ada aset di pusat kota Bandung, Medan, Semarang, hingga Surabaya. Mungkin, hanya di Kota Yogyakarta aset PT KAI harus diperjelas karena ada ”irisan” dengan tanah milik Keraton Yogyakarta.

Begitu ada kejelasan soal aset, begitu pula dengan rencana bisnis yang hendak dikembangkan, seharusnya PT KAI dapat sesegera mungkin mengoptimalkan asetnya.

Dinanti Masyarakat

Mengapa PT KAI harus ”naik kelas”? Karena kebutuhan masyarakat terhadap transportasi kian kompleks. Ketika PT KAI sudah selesai mendewasakan penumpang dengan penertiban dan penerapan sistem transaksi, kini giliran PT KAI menggenjot pembangunan.

Kebetulan di Jabodetabek, sesuai Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2011, menjadi tugas PT KAI untuk membangun prasarana dan sarana kereta api di jalur Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi dan menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta.

Kita hormati pembenahan Stasiun Gambir, yang terlihat dari makin mengilapnya toilet menjelang arus mudik Lebaran 2016.

Kita hormati pula kehadiran check in Mandiri (CIM) yang laksana sistem boarding di penerbangan. Begitu pula dengan kehadiran Commuterline Vending Machine (C-VIM) di layanan KRL Jabodetabek yang membuat perjalanan kereta komuter kita setara dengan sistem di negara maju.

Kompas/Wisnu Widiantoro
Presiden Joko Widodo bersama rombongan melihat maket kereta cepat saat peletakan batu pertama mega proyek transportasi massal itu dan pengembangan sentra ekonomi koridor Jakarta Bandung di Perkebunan Teh Mandalawangi Bagian Maswati, Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (21/1/2016). Proyek kerjasama Indonesia dan Tiongkok itu untuk meningkatkan efisiensi mobilitas barang dan orang.

Meski demikian, warga menanti ekspansi-ekspansi selanjutnya dari PT KAI. Tidak sekadar berbentuk pengembangan sistem, tetapi juga pembangunan prasarana-sarana. PT KAI tidak boleh berpuas diri dan berhenti berekspansi dalam wujud apa pun.

Direktur Utama PT KAI Edi Sukmoro pernah mengatakan, ”Saat ini, sekitar 50 persen kereta yang beroperasi telah berusia lanjut. Kereta penumpang jarak jauh dan pendek sudah beroperasi di atas 20 tahun” (Kompas, Selasa, 28 Juli 2015). PT KAI punya tekad untuk meremajakan armada meski program itu tentu saja program jangka panjang.

Di sisi lain, pelanggan dalam jangka pendek juga membutuhkan prasarana yang lebih mumpuni, seperti Stasiun Tanah Abang yang dapat lebih baik dalam menampung penumpang transit. Betapa memprihatinkannya nasib penumpang bila terus-menerus harus menanti kereta dalam keterbatasan peron. Tidak hanya memprihatinkan, tetapi juga membahayakan bagi keselamatan penumpang.

"Warga menanti ekspansi-ekspansi selanjutnya dari PT KAI. Tidak sekadar berbentuk pengembangan sistem, tetapi juga pembangunan prasarana-sarana"

Warga juga menanti desain dan implementasi dari pengembangan Stasiun Sudirman yang lebih baik, yang nantinya juga kemungkinan digunakan untuk penumpang menuju Bandara Soekarno-Hatta. transit. Betapa memprihatinkannya nasib penumpang bila terus-menerus harus menanti kereta dalam keterbatasan peron. Tidak hanya memprihatinkan, tetapi juga membahayakan bagi keselamatan penumpang.

Ketika pemerintah pusat berniat membangun jaringan kereta di berbagai pulau, justru para pemimpin PT KAI dari kantor pusat di Bandung harus lebih banyak memperhatikan Jabodetabek karena di kawasan inilah terdapat konsentrasi penumpang dalam jumlah banyak.

Singkat kata, laba PT KAI sebesar Rp 1,39 triliun pada 2015 tidak banyak artinya dan tidak akan memberikan kesan positif bagi siapa pun ketika masih ada keluhan dari penumpang kereta.

Tidak hanya soal keluhan terhadap layanan, tetapi juga keluhan terhadap keterbatasan sarana. Ketika daya angkut kereta api terbatas pada tiap akhir pekan ataupun pada hari-hari besar tertentu, dan hal itu tidak dapat diatasi PT KAI, dengan demikian perkeretaapian belum menghadirkan manfaat maksimal bagi masyarakat.

Kerabat Kerja

Penulis: Haryo Damardono | Fotografer: Rony Ariyanto Nugroho, Wisnu Widiantoro, JB Soeratno, Lucky Pransisca, Totok Wijayanto | Infografik: Luhur Arsiyanto Putra | Desainer & Pengembang: Elga Yuda Pranata | Produser: Prasetyo Eko Prihananto

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.